Kapal Selam Nazi di Laut Jawa

By , Senin, 28 April 2014 | 10:07 WIB

“Aktivitas mereka dalam Monsoon Group memang masih diselimuti misi-misi rahasia,” demikian tutur Adhityatama sembari membuka pemaparan mengapa armada kapal selam Jerman bisa sampai ke Indonesia. “Sepanjang sejarah yang saya ketahui, kontak kita dengan Jerman memang tidak terlihat nyata. Bahkan, di buku sejarah kita pun tidak ada yang menyebutkan adanya kontak itu. Padahal, menurut saya peranan mereka cukup berarti. Mereka sedang membangun jaringan.”

Jerman, Italia, dan Jepang berkolaborasi membentuk Blok Poros pada September 1940. Blok Poros ini dipimpin oleh Adolf Hitler di Jerman, Benito Mussolini di Italia, dan Kaisar Hirohito dan Hideki Tojo di Jepang. Sejatinya, menurut Adhityatama, hubungan Jerman-Jepang lebih erat ketimbang Jerman-Italia. Bahkan, hubungan Jerman dan Jepang sudah terjalin sejak masa Restorasi Meiji—paruh kedua abad ke-19—ungkapnya. “Mereka mempunyai idealisme yang seragam,” ungkapnya. “Mereka berdua sama-sama menganut bahwa mereka merupakan ras tertinggi—fasisme.”

Dia mengatakan, jika invasi Jerman ke Rusia dalam Operasi Barbarosa membuahkan hasil, hubungan komunikasi antara Jerman dan Jepang dapat dilakukan dengan lebih mudah. Namun, kenyataannya Rusia sulit dirambah. Satu-satunya tempat yang masih aman untuk pertemuan antara armada Jerman dan Jepang adalah di Samudra Hindia karena Jepang sudah menguasai Asia Tenggara, termasuk Indonesia. “Akhirnya, dibentuklah Gruppe Monsun ini.”!break!

Armada tersebut mulai menjalani misinya pada Juli 1943. Gelombang pertama terdiri atas sebelas U-Boot, sebagian besar Type IXC, yang bertolak dari pelabuhan di Prancis dan Norwegia menuju Samudra Hindia. Mereka berencana untuk menenggelamkan kapal-kapal dagang dan logistik di Laut Arab, Teluk Suez, Teluk Oman, dan Teluk Persia. Armada ini sampai di tengah Samudra Hindia pada awal September jelang musim hujan, sehingga dijuluki Gruppe Monsun. Namun, dari sebelas kapal selam itu, hanya lima yang mampu mencapai jantung Samudra Hindia.

Tujuan pertama Gruppe Monsun, menurut Adhityatama, adalah untuk memotong pasok­an sumber daya Sekutu. Kawasan Asia merupakan pendukung pasokan logistik bagi Sekutu—khususnya Inggris yang mempunyai koloni di India. Kemudian, Jerman dan Jepang membentuk operasi militer bersama di Samudra Hindia untuk menguasai kawasan Asia-Pasifik, sekaligus memutus pasokan logistik Sekutu dari Australia dan Selandia Baru.

Sebelum kedatangan Gruppe Monsun gelombang pertama, kerja sama dua ne­gara digdaya itu telah diwujudkan dalam pem­bangunan pangkalan utama untuk kapal selam di Penang dan pangkalan kedua di Kobe, Jepang. Mereka juga membangun pangkalan semacam bengkel kecil di Singapura, Jakarta, dan Surabaya. Jerman menempatkan Wilhelm Dommes sebagai Panglima Armada Jerman di Asia pada masa Perang Dunia II yang berpusat di Penang. Tujuan selanjutnya kerja sama ini adalah pertukaran berbagai riset, senjata purwarupa, dan teknologi militer.

“Namun, kapal selam Jerman ini gunanya tak hanya untuk perang,” ungkapnya, “tetapi juga untuk membawa logistik sebagai kapal kargo. Mereka dipersenjatai, namun misi-misi mereka tidak selalu operasi militer. Dan, ini cukup aman karena dia di bawah laut.” Jepang membutuhkan baja, merkuri, dan kaca optik dari Jerman. Sebaliknya, Jerman membutuhkan bahan karet, tembaga dan bismut, juga obat-obatan.

“Ketangguhan U-Boot diakui karena punya strategi yang luar biasa,” ujarnya. “Banyak kapal perang Sekutu yang ditenggelamkan oleh U-Boot.” Sejarah mencatat bahwa se­lama kecamuk 1939-1945, U-Boot telah me­nenggelamkan lebih dari 2.700 kapal, lebih dari separuhnya merupakan kapal perang Sekutu. “U-Boot ini sangar sekali.”!break!

Kelemahan armada U-Boot terletak pada Enigma—alat komunikasi berkode untuk pesan rahasia. Ketika alat itu berhasil dicuri Sekutu, keberadaan U-Boot mudah diketahui. “Akhirnya, mereka menjadi pemburu yang diburu.”

Laut yang tampak tenang tak selalu me­nentramkan. Dari sekian kesatuan armada militer Jerman, risiko tewas paling besar justru meng­hadang para awak U-Boot. Tiga perempat dari mereka telah menjadikan laut nan dingin sebagai peristirahatan terakhir. Bahkan, se­banyak 41 unit U-Boot yang dikirim ke Asia dan Timur Jauh dalam Gruppe Monsun, hanya sebagian kecil yang bisa pulang ke pelabuhan asalnya—empat kapal selam saja.

Pusat Arkeologi Nasional mencatat dari beberapa sumber Jerman, bahwa terdapat dua unit U-Boot yang putus kontak dengan Berlin ketika mereka berada di laut utara Jawa. Kapal selam malang itu adalah U-168 yang ditorpedo kapal selam Belanda Hr.Ms. Zwaardvisch pada 6 Oktober 1944. Sebanyak 23 awaknya tewas, 27 selamat. Bencana  berikutnya, U-183 ditorpedo kapal selam Amerika Serikat USS Besugo pada 23 April 1945, dua minggu jelang Jerman menyerah. Sebanyak 54 awaknya tewas, hanya satu yang selamat. Fritz Schneewind, Sang Kapten yang kelahiran Padang, turut tewas di lautan kampung halamannya. Kedua U-Boot itu bertipe IXC/40 dan merupakan bagian gelombang pertama Gruppe Monsun yang sukses menderum di Samudra Hindia pada 1943.

Namun, titik dugaan lokasi tenggelamnya dua kapal selam tersebut berbeda dengan titik lokasi temuan tim ahli arkeologi. Kenyataan ini membuat mereka kesulitan menentukan identitas secara pasti kapal selam yang kini masih bersemayam di Laut Jawa itu. “Temuan ini masih U-who.”

Penelitian berbagai situs arkeologi bawah air di kawasan Kepulauan Karimunjawa sejatinya telah dirintis oleh Priyatno Hadi sejak beberapa tahun silam. Dia merupakan ahli arkeologi senior Pusat Arkeologi Nasional yang turut mengidentifikasi temuan U-Boot di Laut Jawa pada November silam. Priyatno mengatakan bahwa pada tahun ini timnya akan kembali melanjutkan penelitian temuan kapal selam tinggalan kedigdayaan Jerman itu. “Kalau kita bisa menemukan buritannya, kita akan tahu apakah itu U-183 atau U-168.” ujarnya. “Atau mungkin malah kapal selam Jerman lainnya.”!break!

Dalam pengamanan situs arkeologi bawah air tersebut, lanjut Priyatno, timnya telah bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut dan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tampaknya kerja sama antarlembaga sangat penting dilakukan di masa mendatang terkait dengan melimpahnya potensi arkeologi bawah laut di Indonesia. Setidaknya terdapat 463 kapal tenggelam pada zaman kolonial di perairan Nusantara, namun hanya sekitar sepuluh persen yang diketahui lokasinya—termasuk temuan kapal selam Jerman ini.

Para ahli arkeologi mengakui bahwa Laut Jawa merupakan panggung pertempuran besar, termasuk juga perairan Karimunjawa. Dia dan timnya menduga bahwa kawasan ini menyimpan potensi arkeologi tinggalan Perang Dunia II.

“Ini hanya serpihan. Kita belum dapat me­rekonstruksi dengan lengkap.” Adhityatama me­nambahkan bahwa masih banyak pertanyaan yang barangkali akan tersingkap lewat penelitian mendatang. Dia pun ingin mencari sebaran kapal selam Jerman lainnya di laut Nusantara untuk memperkuat teori—sejarah yang hilang—bahwa Gruppe Monsun cukup tangguh dan berpengaruh di Indonesia.

Namun, sambil menyeringai getir dia ber­seloroh, “Saya perlu menekankan bahwa masih terlalu jauh untuk menyimpulkan kalau Hitler meninggal di sini!”