Selain alat selam, dalam debris kabin tersingkap juga sebuah harmonika, botol-botol bir, sisa torpedo di bawah tempat tidur, aneka panel listrik. Juga, beberapa barang yang kerap melekat di tubuh awaknya: sol sepatu ukuran 41-42 dan 39-40, binokular, kaca mata pelindung, dan selang pernapasan. Juga, peralatan bersantap seperti cangkir, cawan, dan piring.
“Sasaran kita adalah dapur. Banyak penelitian tentang kapal selam melakukan identifikasi kapal melalui piring,” ujar Adhityatama. “Di kapal selam itu kami menemukan piring bercap Nazi!”
Mereka berhasil mengangkat dua piring porselen putih dengan bercak noda-noda karat bercampur endapan biota laut. Satu piring berukuran besar bermerek “Jager” yang diproduksi Porzellanfabrik Wilhelm Jager di Eisenberg pada 1939. Lainnya, piring cawan bermerk “Rieber Mitterteich” buatan 1941, yang diproduksi oleh Porzellanfabrik Joseph Rieber & Co. A.G di Bavaria.
Keduanya diproduksi pabrikan Jerman. Bersimbol elang dengan sayap merentang yang bertengger pada lingkaran bersimbol swastika—lambang armada militer Jerman pada masa Hitler—dan huruf “M” yang berarti “Marine” atau laut. Semua simbol-simbol dicap sebelum proses pengglasiran.!break!
Hasil pengindraan lainnya yang bisa dikaitkan dengan identitas awak kapal selam itu adalah sebuah kancing kemeja. Kancing itu berlambang jangkar berlilit tali dengan latar belakang garis-garis horizontal. Inilah salah satu peranti dalam seragam perwira Kriegsmarine, angkatan laut Jerman yang merupakan bagian dari Wehrmacht, tentara perang milik Nazi Jerman. “Kancing tidak berlambang swastika, meski mereka angkatan laut,” ujar Adhityatama. “Tidak semua militer Jerman pada saat itu berpaham Nazi, tetapi mereka berperan dalam rezimnya Nazi.”
Temuan tersebut menguatkan dugaan Pusat Arkeologi Nasional bahwa bangkai kapal itu merupakan kapal selam Jerman atau U-Boot (Unterseeboot) yang menemui takdir akhirnya di Laut Jawa. Di kawasan Atlantik dan Pasifik banyak temuan kapal selam serupa, demikian ungkapnya, tetapi selama ini belum ada temuan di Asia. “Mungkin kapal selam Jerman ini merupakan temuan pertama di Asia Tenggara.”
“Kapal selam itu diduga merupakan U-Boot tipe IXC/40,” ujar Adhityatama. Menurut data sejarah, demikian menurutnya, U-Boot yang memasuki perairan Indonesia umumnya bertipe IXC. Temuan lekuk desain haluan juga mengacu pada tipe tersebut. “Tipe IXC adalah tipe jarak jauh yang bisa menjelajahi samudra.”
Jerman mulai membangun U-Boot bertipe ini pada 1940-1944. Jumlah awaknya sekitar 44-56 orang, dengan 4 orang perwira sebagai pemimpin mereka. Kapal selam ini biasanya dipersenjatai dengan senapan anjungan dan mampu membawa 22 buah torpedo. Peluru torpedo ditembakkan ke arah musuh melalui enam lubang peluncuran, empat buah di haluan dan dua lainnya di buritan. Dalam sekali pengisian bahan bakar kembali di tengah laut, U-Boot dapat melaju lebih dari 200 hari. Itu pun konsumsi bahan bakarnya masih dianggap tinggi karena beroperasi hampir seluruhnya di permukaan.
Itulah sebabnya U-Boot memiliki bentuk geladak haluan dan buritan yang menyerupai bentuk geladak kapal laut.
“Karena dia cuma mampu di bawah air selama 20 jam maksimal,” ujar Adhityatama sembari menunjuk foto bentuk dek kapal selam Jerman di monitor komputer jinjingnya. Desain seperti kapal masih diperlukan, karena pengisian sistem baterai bersumber dari tenaga diesel, dan itu dilakukan ketika kapal selam berada di permukaan. “Dia butuh bergerak juga saat di permukaan, makanya bentuknya seperti kapal. Kalau kapal selam sekarang bentuknya sudah bulat-bulat.”!break!
Kapal selam Jerman memiliki karakter nama kapal yang diawali huruf “U” dan diikuti nomor urut pembuatan di belakangnya. Armada kapal selam pertama mereka bernomor U-1, yang diluncurkan pada 1935. Pimpinan pertama armada ini adalah Karl Dönitz, saat itu pangkatnya masih letnan kolonel. Pada 1943, dia bertugas sebagai Laksamana Besar dan Panglima Tertinggi Angkatan Laut Jerman. Para awak dan perwira U-Boot memberikan sapaan terhormat baginya, ‘Der Löwe’ atau ‘Sang Singa’. Sementara sang panglima itu menjuluki mereka dengan sebutan ‘Graue Wölfe’ atau ‘Serigala Kelabu’. Julukan itu barangkali karena kapal selam mereka berwarna abu-abu, atau bisa juga mengacu seragam khusus awak U-boot yang terbuat dari kulit dengan warna senada.
Sebagian kawanan itu berjulukan ‘Gruppe Monsun’ yang merupakan armada Jerman yang beroperasi di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia sekitar 1943-1945. “Kita berangkat dari sebuah teori bahwa armada Jerman itu ada di Indonesia saat Perang Dunia II,” ujarnya. “Mereka tidak cuma lewat atau mengisi bahan bakar, melainkan juga punya aktivitas yang cukup penting.”