Masa Depan Budi Daya Ikan

By , Senin, 19 Mei 2014 | 10:30 WIB

Dalam gudang yang gelap dan lembap di kaki Pegunungan Blue Ridge di Virginia, Bill Martin mengambil seember pelet cokelat dan melemparkannya ke dalam bak panjang yang terbuat dari semen.

Ikan nila putih yang gemuk-gemuk dengan panjang sejengkal riuh berkecipak di per­­mukaan. Martin, presiden Blue Ridge Aqua­culture, salah satu budi daya ikan dalam ruangan terbesar di dunia, tersenyum melihat kehebohan acara makan itu.

“Ini ikan Santo Petrus, ikan yang digunakan Yesus untuk memberi makan orang banyak,” ujarnya bak seorang pendeta dengan suara seraknya. Namun, berbeda dengan Yesus, Martin tidak membagikan ikannya secara gratis. Setiap hari, dia menjual 5.000 kilogram ikan nila hidup ke pasar makanan Asia mulai dari Washington, DC, hingga Toronto, dan dia berencana membuka usaha budi daya baru di Pantai Barat. “Saya meniru industri unggas,” katanya. “Bedanya, ikan kami hidup bahagia.”

“Bagaimana Anda tahu ikan tersebut bahagia?” tanya saya, setelah memperhatikan bahwa kumpulan ikan nila di dalam kolam tersebut terlihat sangat padat sehingga Joko Tingkir pun dapat berjalan di atasnya.

“Biasanya ikan yang tidak bahagia akan mati,” ujar Martin. “Belum pernah ada satu kolam pun yang membuat saya rugi.”

Kawasan industri di Appalachia mungkin tampak seperti tempat yang aneh untuk me­melihara beberapa juta ikan yang berasal dari Sungai Nil tersebut. Akan tetapi, peternakan ikan skala industri bermunculan di mana-mana dewasa ini. Budi daya perairan telah ber­kembang sekitar 14 kali lipat sejak 1980. Pada 2012 produksi global, mulai dari ikan salem keperakan hingga teripang jelek yang hanya disukai juru masak Asia, mencapai lebih dari 70 juta ton—melampaui produksi daging sapi untuk pertama kalinya dan mencakup hampir setengah dari semua ikan dan hewan bercangkang yang dikonsumsi di bumi. !break!

Pertambahan penduduk, peningkatan pen­dapatan, dan reputasi makanan laut yang baik bagi jantung diperkirakan akan meningkatkan permintaan sebesar 35 persen atau lebih hanya dalam 20 tahun ke depan. Dengan stagnannya hasil perikanan tangkap global, para pakar berpendapat bahwa hampir semua makanan laut yang baru harus dihasilkan melalui perikanan budi daya.

“Tidak mungkin kita dapat memperoleh semua protein yang kita butuhkan dari perikanan tangkap,” kata Rosamond Naylor, seorang ahli kebijakan tentang makanan di Stanford University yang telah meneliti sistem budi daya perairan.

“Tetapi, masyarakat khawatir nasibnya akan serupa dengan industri penggemukan, hanya pindah tempat ke laut. Jadi mereka ingin melakukannya secara benar dari awal.”

Memang ada alasan yang kuat agar kita sebaiknya waspada. !break!

“Revolusi Biru”, yang menghasilkan ikan sa­­lem, nila, dan udang murah dalam kemasan vakum untuk mengisi kulkas supermarket, diwarnai banyak masalah serupa yang disebabkan pertanian di darat: kerusakan habitat, pencemaran air, dan kekhawatiran terhadap keamanan makanan. Pencemaran akibat budi daya perikanan—campuran nitrogen, fosfor, dan bangkai ikan—kini menjadi bahaya yang meluas di Asia, tempat 90 persen perikanan budi daya dunia. Supaya ikan tetap hidup dalam bak padat, sebagian peternak di Asia menggunakan anti­biotik dan pestisida yang terlarang digunakan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.

Industri ikan salem modern, yang selama tiga dasawarsa terakhir menempatkan keramba yang padat berisi ikan salem Atlantik ke banyak fyord dari Norwegia hingga Patagonia, juga dirun­dung masalah parasit, polusi, dan penyakit. Peternak ikan salem di Skotlandia merugi hampir 10 persen ikannya pada 2012 akibat penyakit insang; di Cili anemia yang menular membunuh ikan salem senilai 20 triliun rupiah sejak 2007. Pada 2011 wabah penyakit nyaris menghancurkan industri udang di Mozambik.

Masalahnya bukan pada budi daya perairan yang telah dilakukan nenek moyang sejak dahulu kala; melainkan pada intensifikasi yang terjadi sangat cepat. Petani Tiongkok mulai memelihara ikan emas di sawah sejak setidaknya 2.500 tahun silam. Namun, produksi budi daya perairan negara itu yang sekarang mencapai 42 juta ton per tahun dihasilkan oleh tambak ikan yang berderet di sepanjang tepi sungai, danau, dan laut.