Berburu Kehidupan di Luar Bumi

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:08 WIB

Bukan hanya itu: Ternyata rentang suhu dan lingkungan kimiawi yang dapat menunjang kehidupan organisme ekstremofil juga lebih besar daripada yang dapat dibayangkan orang-orang di pertemuan Drake. Pada 1970-an, para ahli oseanografi menemukan cerobong hidrotermal, yang menyediakan nutrisi bagi ekosistem bakteri yang kaya. Mikrob tersebut, yang makan hidrogen sulfida dan zat kimia lain yang larut dalam air, kemudian menjadi makanan organisme lebih tinggi. Para ilmuwan juga menemukan bentuk kehidupan yang tumbuh subur di mata air panas, di danau beku ratusan meter di bawah permukaan lembar es Antartika, di lokasi yang sangat asam atau sangat basa atau sangat asin atau radioaktif, dan bahkan di retak kecil pada batu padat satu kilometer di bawah tanah atau lebih. “Di Bumi, kondisi-kondisi seperti itu merupakan lingkungan khusus,” kata Lisa Kaltenegger, yang merangkap jabatan di Harvard dan di Max-Planck-Institut für Astronomie di Jerman. “Tetapi, di planet lain, lingkungan seperti ini justru bisa menjadi skenario dominan.”!break!

Satu faktor yang diyakini para ahli biologi penting bagi kehidupan yang kita kenal adalah air dalam bentuk cair—pelarut dahsyat yang mampu mengangkut zat hara larut ke semua bagian tubuh suatu organisme. Di tata surya kita, kita sudah tahu sejak misi pengorbit Mariner 9 Mars pada 1971, bahwa air mungkin pernah mengalir bebas di planet merah itu. Jadi, mungkin dulu di sana pernah ada kehidupan, setidaknya dalam bentuk mikrob—dan bisa saja sisa-sisa kehidupan itu masih bertahan.

Bulan Yupiter, Europa, juga menampakkan retak-retak pada permukaan es yang relatif muda—bukti bahwa di balik es itu terdapat lautan air cair. Pada jarak sekitar 800 juta kilometer dari Matahari, air Europa semestinya beku padat. Tetapi, bulan ini senantiasa ber­kontraksi akibat tarik-ulur pasang dari Yupiter dan beberapa bulan yang lain, menghasilkan panas yang dapat menjaga wujud air di bawahnya tetap cair. Secara teori, di dalam air itu bisa saja terdapat kehidupan.

Pada 2005, wahana antariksa Cassini milik NASA melihat semburan air meletus dari bulan Saturnus, Enceladus. Pengukuran se­lanjutnya oleh wahana itu, yang dilaporkan pada April tahun ini, juga mengonfirmasi bahwa air itu bersumber dari dalam tanah bulan itu. Permukaan Titan, bulan terbesar Saturnus, memiliki sungai, danau, dan hujan. Namun, daur meteorologi Titan didasari oleh hidrokarbon cair seperti metana dan etana, bukan air. Bisa saja ada yang hidup di sana, tetapi bentuknya sulit ditebak.

Mars jauh lebih mirip Bumi, dan jauh lebih dekat, daripada bulan-bulan jauh ini. Penjelajah NASA, Curiosity, sekarang sedang men­jelajahi kawah Gale, yang miliaran tahun silam ditempati danau besar. Kini jelas bahwa lingkungan kimiawi danau itu semestinya dapat dihuni mikrob, kalau memang ada.

Gua di Meksiko bukanlah Mars, tentu saja, dan danau di Alaska utara bukanlah Europa. Tetapi, pencarian kehidupan luar Bumi-lah yang membawa ahli astrobiologi JPL Kevin Hand dan anggota timnya, termasuk John Leichty, ke Danau Sukok, Alaska. Pencarian seperti itu pula yang menyebabkan Penelope Boston dan para koleganya datang berkali-kali ke Cueva de Villa Luz yang beracun, gua di dekat Tapijulapa di Meksiko. Di kedua tempat itu, para peneliti dapat menguji teknik-teknik baru untuk mencari kehidupan di lingkungan yang setidaknya agak mirip dengan yang mungkin ditemui oleh probe antariksa. Khususnya, mereka mencari ciri kehidupan—petunjuk visual atau kimiawi yang menandakan keberadaan kehidupan, dulu atau sekarang.

Misalkan saja gua Meksiko itu. Pesawat anta­riksa yang mengorbit menunjukkan bahwa di Mars memang ada gua, dan di gua seperti itulah mikrob mungkin berlindung saat planet itu kehilangan atmosfer dan air permukaan, sekitar tiga miliar tahun yang lalu. Penghuni gua Mars seperti itu tentu harus hidup dari sumber energi selain sinar matahari—seperti cairan menetes yang begitu memukau Boston. Para ilmuwan menyebut tetes menjijikkan ini ‘snotit’. Salah satu di antara ribuan di gua, tetes-tetes snotit dengan panjang mulai satu sentimeter hingga setengah meter itu memang mirip sekali lendir. Padahal, tetes itu se­benarnya biofilm, suatu komunitas mikrob yang terikat dalam gumpal kental dan lengket.

Boston menjelaskan, “Mikrob ini meng­oksidasi hidrogen sulfida—itu satu-satunya sumber energinya—dan menghasilkan lendir ini sebagai bagian gaya hidupnya.”

Snotit ini baru satu contoh di antara sekian komunitas mikrob yang ada di sini. Boston ber­kata bahwa total ada belasan komunitas mikrob di gua itu. “Semua memiliki penampilan fisik yang sangat khas. Semua memanfaatkan sistem zat hara yang berbeda-beda.”

Salah satu komunitas ini sangat menarik. Komunitas tersebut tidak membentuk tetes atau gumpal, tetapi membuat pola pada dinding gua, termasuk bintik, garis, dan bahkan jaringan garis. Para ahli astrobiologi kini menyebut pola-pola ini biovermikulasi, atau singkatnya bioverm, dari kata ‘vermiculation’, yang berarti ‘pola garis tak beraturan, yang seakan dibuat oleh jejak cacing’.

Ternyata, pola seperti ini bukan hanya dibuat oleh mikroorganisme yang tumbuh di dinding gua. “Ini terjadi pada berbagai skala, biasanya di tempat yang kekurangan sumber daya ter­tentu,” kata Keith Schubert, insinyur Baylor University yang berspesialisasi dalam sistem pen­citraan, dan datang ke Cueva de Villa Luz untuk memasang kamera pemantau. Rumput dan pohon di daerah kering juga membentuk pola bioverm, kata Schubert. Demikian pula kerak tanah, yaitu komunitas bakteri, lumut, dan lumut kerak yang meliputi tanah di gurun pasir.

Jika hipotesis ini terbukti, ilmuwan yang men­dokumentasikan bioverm mungkin telah me­nemukan sesuatu yang sangat penting. Hingga kini, sebagian besar tanda kehidupan yang dicari ahli astrobiologi adalah beberapa macam gas, seperti oksigen, yang biasa dilepaskan oleh organisme di Bumi. Namun, makhluk hidup yang menghasilkan ciri kehidupan berupa oksigen mungkin hanya satu jenis di antara sekian banyak.