Berburu Kehidupan di Luar Bumi

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:08 WIB

Sinyal elektronik memancar dari Jet Propulsion Lab milik NASA di California, ke penjelajah robot yang menempel pada sisi bawah es setebal 30 sentimeter di permukaan danau di Alaska. Lampu sorot penjelajah itu mulai menyala. “Berhasil!” seru John Leichty, insinyur JPL muda yang mendekam di dalam tenda di atas es danau di dekat situ. Peristiwa ini memang tidak terkesan seperti prestasi teknologi besar, tetapi sebenarnya ini mungkin langkah kecil pertama ke arah penjelajahan suatu bulan nun jauh.

Lebih dari 7.000 kilometer di sebelah selatan, ahli geomikrobiologi Penelope Boston meng­arungi air keruh sedalam betis di gua gelap gulita di Meksiko, lebih dari 15 meter di bawah tanah. Seperti para ilmuwan lain ber­samanya, Boston memakai alat pernapasan kelas industri. Mereka juga membawa tabung udara cadangan, untuk mengatasi gas hidrogen sulfida dan karbon monoksida beracun yang sering memenuhi gua itu. Tiba-tiba, lampu di kepalanya menerangi setetes panjang cairan kental semi-bening yang meleleh dari dinding berkapur yang rapuh. “Imut ya?” serunya.

Kedua tempat ini—danau Arktika beku dan gua tropis beracun—dapat memberi petunjuk tentang salah satu misteri tertua yang paling menarik di Bumi: Adakah kehidupan di luar planet kita? Makhluk di dunia lain, baik di tata surya kita atau mengorbit bintang jauh, mungkin harus hidup di samudra berlapis es, seperti di bulan Yupiter bernama Europa, atau di gua tertutup berisi gas, yang mungkin banyak terdapat di Mars. Jika kita mampu memisahkan dan mengenali bentuk kehidupan yang tinggal di lingkungan ekstrem di Bumi, kita sudah maju selangkah dalam pencarian kehidupan di tempat lain, di luar planet yang kita pijak.

Sulit dipastikan kapan pencarian kehidupan di tengah bintang-gemintang bergeser dari fiksi ilmiah menjadi ilmu pengetahuan. Tetapi, salah satu tonggak utamanya adalah pertemuan astronomi pada November 1961. Pertemuan itu diselenggarakan oleh Frank Drake, astronom radio muda yang penasaran dengan ide mencari transmisi radio dari makhluk luar angkasa.

Ketika dia mengadakan pertemuan itu, pen­carian kecerdasan luar bumi, atau SETI, “boleh dibilang masih tabu dalam astronomi,” kenang Drake, yang kini berusia 84 tahun. Dia mengundang sejumlah astronom, ahli kimia, ahli biologi, dan insinyur, termasuk ilmuwan planet muda bernama Carl Sagan, untuk membahas bidang yang kini dinamai astrobiologi, yakni ilmu tentang kehidupan di luar Bumi. Khususnya, Drake ingin bantuan para pakar untuk memutuskan, apakah bijak jika kita mencurahkan sejumlah besar waktu teleskop radio untuk mencari siaran dari makhluk luar angkasa, serta apa kira-kira cara yang paling menjanjikan untuk mencarinya. Berapa banyak peradaban yang mungkin ada di luar sana? dia bertanya-tanya. Jadi, sebelum para tamu tiba, dia menulis sebuah persamaan.

Tulisan itu, yang kini terkenal sebagai per­samaan Drake, menyediakan proses untuk men­jawab pertanyaannya. Kita memulai dengan laju pembentukan bintang mirip-Matahari di Bima Sakti, lalu mengalikan itu dengan persentase bintang seperti itu yang memiliki sistem planet. Kalikan hasilnya dengan rata-rata jumlah planet ramah-kehidupan di setiap sistem tersebut—yakni planet yang kira-kira sebesar Bumi dan mengorbit pada jarak yang tepat dari bintangnya, agar dapat dihuni ke­hidupan. Kalikan itu dengan persentase planet yang dihuni makhluk hidup, lalu dengan per­sentase planet yang memiliki makhluk hidup cerdas, lalu dengan persentase planet yang dapat mengembangkan teknologi untuk memancarkan sinyal radio yang dapat kita deteksi.

Langkah terakhir: Kalikan jumlah peradaban yang menguasai teknologi radio dengan rata-rata lama waktu mereka mampu menyiarkan sinyal atau bahkan bertahan hidup.!break!

Tetapi ada satu masalah. Tidak ada yang tahu persentase atau angkanya, kecuali variabel paling pertama dalam persamaan itu: laju pem­bentukan bintang mirip-Matahari. Jika para ilmuwan SETI berhasil menangkap sinyal radio dari luar Bumi, tentu saja ketidakpastian angka-angka ini tidak penting lagi. Namun, sampai itu terjadi, pakar dalam setiap butir persamaan Drake harus berusaha mengisinya dengan me­nentukan angkanya—dengan mencari jumlah rata-rata planet di sekeliling bintang mirip-matahari atau mencoba memecahkan misteri bagaimana kehidupan mengakar di Bumi.

Untuk memasukkan perkiraan kasar ke dalam persamaan itu pun, para ilmuwan baru mampu melakukannya sepertiga abad kemudian. Pada 1995, Michel Mayor dan Didier Queloz mendeteksi planet pertama yang mengorbit bintang mirip-Matahari di luar tata surya kita. Dunia itu, yang dinamai 51 Pegasi b, sekitar 50 tahun-cahaya dari Bumi, adalah gumpal gas besar sebesar setengah Yupiter, dengan orbit begitu rapat sehingga satu “tahun” di sana hanya empat hari, dan suhu permukaannya lebih dari 1.000 derajat Celsius.

Tak ada yang berpikir sedetik pun bahwa ke­hidupan dapat muncul dalam kondisi bagai neraka itu. Namun, penemuan satu planet pun sudah terobosan besar. Awal tahun berikutnya, Geoffrey Marcy memimpin timnya menemukan planet kedua di luar tata surya, lalu ketiga. Hingga kini, astronom telah memastikan hampir dua ribu eksoplanet, demikian sebutannya, dari yang berukuran lebih kecil daripada Bumi hingga lebih besar daripada Yupiter. Masih ada ribuan lagi yang menunggu konfirmasi.

Tidak ada yang persis sama dengan Bumi, tetapi para ilmuwan yakin akan menemukannya tak lama lagi. Berdasarkan penemuan planet-planet yang agak lebih besar sejauh ini, para astronom baru-baru ini menghitung bahwa lebih dari seperlima bintang mirip-Matahari me­miliki planet mirip-Bumi yang dapat dihuni. Secara statistik, yang terdekat mungkin hanya berjarak 12 tahun-cahaya, yang praktis bertetangga dengan kita dalam skala kosmis.

Namun, tahun-tahun belakangan, para pemburu planet menyadari bahwa tidak ada alasan untuk membatasi pencarian pada bintang yang persis sama seperti Matahari. “Sewaktu saya masih SMA,” kata David Charbonneau, astronom di Harvard, “kami diajari bahwa Matahari yang dikitari Bumi adalah bintang standar. Tetapi itu keliru.” Bahkan, sekitar 80 persen bintang di Bima Sakti adalah benda kemerahan yang kecil, sejuk, redup, yang disebut bintang katai M. Jika ada planet mirip-Bumi yang mengitari bintang katai M pada jarak yang tepat—harus lebih dekat ke bintangnya daripada Bumi ke Matahari, agar tidak terlalu dingin—planet itu juga bisa dihuni makhluk hidup.

Selain itu, para ilmuwan kini meyakini bahwa planet tidak perlu berukuran sama dengan Bumi agar dapat dihuni. “Kalau Anda tanya saya,” kata Dimitar Sasselov, astronom lain dari Harvard, “antara satu hingga lima kali massa Bumi masih ideal.” Singkat kata, keragaman planet layak-huni dan bintang yang dikelilinginya mungkin jauh lebih besar daripada yang diasumsikan oleh Drake dan rekan-rekannya.

Bukan hanya itu: Ternyata rentang suhu dan lingkungan kimiawi yang dapat menunjang kehidupan organisme ekstremofil juga lebih besar daripada yang dapat dibayangkan orang-orang di pertemuan Drake. Pada 1970-an, para ahli oseanografi menemukan cerobong hidrotermal, yang menyediakan nutrisi bagi ekosistem bakteri yang kaya. Mikrob tersebut, yang makan hidrogen sulfida dan zat kimia lain yang larut dalam air, kemudian menjadi makanan organisme lebih tinggi. Para ilmuwan juga menemukan bentuk kehidupan yang tumbuh subur di mata air panas, di danau beku ratusan meter di bawah permukaan lembar es Antartika, di lokasi yang sangat asam atau sangat basa atau sangat asin atau radioaktif, dan bahkan di retak kecil pada batu padat satu kilometer di bawah tanah atau lebih. “Di Bumi, kondisi-kondisi seperti itu merupakan lingkungan khusus,” kata Lisa Kaltenegger, yang merangkap jabatan di Harvard dan di Max-Planck-Institut für Astronomie di Jerman. “Tetapi, di planet lain, lingkungan seperti ini justru bisa menjadi skenario dominan.”!break!

Satu faktor yang diyakini para ahli biologi penting bagi kehidupan yang kita kenal adalah air dalam bentuk cair—pelarut dahsyat yang mampu mengangkut zat hara larut ke semua bagian tubuh suatu organisme. Di tata surya kita, kita sudah tahu sejak misi pengorbit Mariner 9 Mars pada 1971, bahwa air mungkin pernah mengalir bebas di planet merah itu. Jadi, mungkin dulu di sana pernah ada kehidupan, setidaknya dalam bentuk mikrob—dan bisa saja sisa-sisa kehidupan itu masih bertahan.

Bulan Yupiter, Europa, juga menampakkan retak-retak pada permukaan es yang relatif muda—bukti bahwa di balik es itu terdapat lautan air cair. Pada jarak sekitar 800 juta kilometer dari Matahari, air Europa semestinya beku padat. Tetapi, bulan ini senantiasa ber­kontraksi akibat tarik-ulur pasang dari Yupiter dan beberapa bulan yang lain, menghasilkan panas yang dapat menjaga wujud air di bawahnya tetap cair. Secara teori, di dalam air itu bisa saja terdapat kehidupan.

Pada 2005, wahana antariksa Cassini milik NASA melihat semburan air meletus dari bulan Saturnus, Enceladus. Pengukuran se­lanjutnya oleh wahana itu, yang dilaporkan pada April tahun ini, juga mengonfirmasi bahwa air itu bersumber dari dalam tanah bulan itu. Permukaan Titan, bulan terbesar Saturnus, memiliki sungai, danau, dan hujan. Namun, daur meteorologi Titan didasari oleh hidrokarbon cair seperti metana dan etana, bukan air. Bisa saja ada yang hidup di sana, tetapi bentuknya sulit ditebak.

Mars jauh lebih mirip Bumi, dan jauh lebih dekat, daripada bulan-bulan jauh ini. Penjelajah NASA, Curiosity, sekarang sedang men­jelajahi kawah Gale, yang miliaran tahun silam ditempati danau besar. Kini jelas bahwa lingkungan kimiawi danau itu semestinya dapat dihuni mikrob, kalau memang ada.

Gua di Meksiko bukanlah Mars, tentu saja, dan danau di Alaska utara bukanlah Europa. Tetapi, pencarian kehidupan luar Bumi-lah yang membawa ahli astrobiologi JPL Kevin Hand dan anggota timnya, termasuk John Leichty, ke Danau Sukok, Alaska. Pencarian seperti itu pula yang menyebabkan Penelope Boston dan para koleganya datang berkali-kali ke Cueva de Villa Luz yang beracun, gua di dekat Tapijulapa di Meksiko. Di kedua tempat itu, para peneliti dapat menguji teknik-teknik baru untuk mencari kehidupan di lingkungan yang setidaknya agak mirip dengan yang mungkin ditemui oleh probe antariksa. Khususnya, mereka mencari ciri kehidupan—petunjuk visual atau kimiawi yang menandakan keberadaan kehidupan, dulu atau sekarang.

Misalkan saja gua Meksiko itu. Pesawat anta­riksa yang mengorbit menunjukkan bahwa di Mars memang ada gua, dan di gua seperti itulah mikrob mungkin berlindung saat planet itu kehilangan atmosfer dan air permukaan, sekitar tiga miliar tahun yang lalu. Penghuni gua Mars seperti itu tentu harus hidup dari sumber energi selain sinar matahari—seperti cairan menetes yang begitu memukau Boston. Para ilmuwan menyebut tetes menjijikkan ini ‘snotit’. Salah satu di antara ribuan di gua, tetes-tetes snotit dengan panjang mulai satu sentimeter hingga setengah meter itu memang mirip sekali lendir. Padahal, tetes itu se­benarnya biofilm, suatu komunitas mikrob yang terikat dalam gumpal kental dan lengket.

Boston menjelaskan, “Mikrob ini meng­oksidasi hidrogen sulfida—itu satu-satunya sumber energinya—dan menghasilkan lendir ini sebagai bagian gaya hidupnya.”

Snotit ini baru satu contoh di antara sekian komunitas mikrob yang ada di sini. Boston ber­kata bahwa total ada belasan komunitas mikrob di gua itu. “Semua memiliki penampilan fisik yang sangat khas. Semua memanfaatkan sistem zat hara yang berbeda-beda.”

Salah satu komunitas ini sangat menarik. Komunitas tersebut tidak membentuk tetes atau gumpal, tetapi membuat pola pada dinding gua, termasuk bintik, garis, dan bahkan jaringan garis. Para ahli astrobiologi kini menyebut pola-pola ini biovermikulasi, atau singkatnya bioverm, dari kata ‘vermiculation’, yang berarti ‘pola garis tak beraturan, yang seakan dibuat oleh jejak cacing’.

Ternyata, pola seperti ini bukan hanya dibuat oleh mikroorganisme yang tumbuh di dinding gua. “Ini terjadi pada berbagai skala, biasanya di tempat yang kekurangan sumber daya ter­tentu,” kata Keith Schubert, insinyur Baylor University yang berspesialisasi dalam sistem pen­citraan, dan datang ke Cueva de Villa Luz untuk memasang kamera pemantau. Rumput dan pohon di daerah kering juga membentuk pola bioverm, kata Schubert. Demikian pula kerak tanah, yaitu komunitas bakteri, lumut, dan lumut kerak yang meliputi tanah di gurun pasir.

Jika hipotesis ini terbukti, ilmuwan yang men­dokumentasikan bioverm mungkin telah me­nemukan sesuatu yang sangat penting. Hingga kini, sebagian besar tanda kehidupan yang dicari ahli astrobiologi adalah beberapa macam gas, seperti oksigen, yang biasa dilepaskan oleh organisme di Bumi. Namun, makhluk hidup yang menghasilkan ciri kehidupan berupa oksigen mungkin hanya satu jenis di antara sekian banyak.

“Saya bersemangat soal bioverm,” kata Boston, “karena kita sudah melihatnya pada skala berbeda-beda, dan di berbagai macam lingkungan. Namun, ciri-ciri polanya sangat mirip.” Dia dan Schubert meyakini bahwa pola-pola ini, yang didasari oleh aturan sederhana pertumbuhan dan perebutan sumber daya, sangat mungkin merupakan ciri kehidupan uni­versal secara harfiah. Selain itu, di dalam gua, komunitas mikrob meninggalkan pola, bahkan setelah mati. Jika penjelajah melihat sesuatu seperti ini pada dinding gua Mars, kata Schubert, “pola itu dapat mengarahkan ke tempat yang layak diteliti.”!break!

Para ilmuwan dan insinyur yang menggigil di Danau Sukok sedang mengemban misi serupa. Mereka bekerja di dua lokasi di danau itu, satu di sebelah kumpulan tiga tenda kecil yang dijuluki para ilmuwan “Nasaville”, dan satu lagi, hanya satu tenda, berjarak lurus sekitar satu kilometer. Karena gelembung gas metana yang naik dari dasar danau mengaduk air, es sulit terbentuk di beberapa tempat. Untuk mengendarai mobil salju dari kemah ke kemah, ilmuwan harus meng­ambil jalur memutar agar tidak tercebur ke danau, yang bisa berakibat fatal.

Metana-lah yang pertama memancing para ilmuwan datang ke Sukok dan danau-danau Alaska lain di dekatnya pada 2009. Gas hidrokarbon umum ini dihasilkan oleh mikrob—dinamai metanogen—yang mem­busuk­kan bahan organik, sehingga metana men­jadi satu lagi ciri kehidupan potensial yang dapat dicari ahli astrobiologi di dunia-dunia lain. Namun, metana juga dihasilkan oleh letus­an gunung berapi dan sumber nonbiologi lain, dan terbentuk secara alami di atmosfer planet raksasa seperti Yupiter maupun di bulan Saturnus, Titan. Jadi, sangat penting ilmuwan mampu membedakan metana biologis dan metana nonbiologis. Jika kita berfokus pada Europa yang diliputi es, seperti Kevin Hand, Danau Sukok yang kaya-metana dan diliputi es masih cukup memadai untuk diteliti.  

Hand lebih menyukai Europa daripada Mars sebagai tempat untuk mendalami astro­biologi. Misalkan kita jadi ke Mars, katanya, dan menemukan organisme hidup di bawah permukaan yang berbasis DNA, seperti ke­hidupan di Bumi. Itu bisa berarti bahwa DNA adalah molekul kehidupan universal, hal yang memang mungkin. Tetapi, itu juga bisa berarti bahwa kehidupan di Bumi dan kehidupan di Mars memiliki asal-usul yang sama.

Kita sudah tahu pasti bahwa batu-batu yang terpecah dari permukaan Mars akibat ditabrak asteroid memang sampai ke Bumi. Batuan Bumi juga mungkin pernah sampai ke Mars. Jika di dalam batu yang melintasi antariksa itu ada mikrob hidup yang terperangkap lalu selamat dalam perjalanan, mikrob itu bisa saja mengawali kehidupan di planet mana pun yang dicapainya. “Jika kehidupan di Mars ternyata berbasis DNA,” kata Hand, “saya rasa kita akan bingung apakah asal-usul DNA itu sama atau tidak.” Tetapi, Europa terletak lebih jauh. Jika di sana ditemukan kehidupan, itu menyiratkan asal-usul lain yang terpisah—sekalipun ke­hidupan itu berbasis DNA.

Europa memang sepertinya memiliki bahan-bahan dasar kehidupan. Air cair melimpah, dan di dasar lautnya juga mungkin ada cerobong hidro­termal, mirip dengan di Bumi, yang dapat memberi zat hara bagi kehidupan yang mungkin ada di sana. Di permukaan, Europa sekali-sekali ditabrak komet, yang menyisakan zat kimia organik yang juga dapat menjadi balok penyusun kehidupan. Partikel dari sabuk radiasi Yupiter menguraikan hidrogen dan oksigen pe­nyusun es, membentuk beragam molekul yang dapat digunakan organisme hidup untuk melakukan metabolisme zat hara dari cerobong.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana zat kimia itu dapat menembus seluruh es, yang mungkin setebal 15-25 kilometer, sampai bawah. Namun, jelas bahwa es itu penuh retak-retak. Pada awal 2013, Hand dan astronom Caltech, Mike Brown, menggunakan teleskop Keck II untuk menunjukkan bahwa garam dari samudra Europa mungkin sedang menuju permukaan, barangkali melalui retak-retak tersebut. Dan pada akhir 2013, tim pengamat lain, yang menggunakan Teleskop Luar Angkasa Hubble, melaporkan adanya awan air cair menyembur dari kutub selatan Europa. Es Europa rupanya masih dapat ditembus.

Ide mengirim wahana penelitian untuk mengorbit Europa pun terasa semakin memikat. Sayangnya, misi pengorbit yang dievaluasi oleh National Research Council dalam laporan 2011 dinilai layak, tetapi dengan biaya 53 triliun rupiah, terlalu mahal. Tim JPL yang dipimpin Robert Pappalardo terpaksa merombak desain misi itu. Probe Europa Clipper mereka akan mengorbit Yupiter saja, bukan Europa, yang mengurangi kebutuhan bahan bakar dan menghemat uang. Misi ini bisa lewat di dekat bulan itu sekitar 45 kali, untuk memahami kimia permukaan dan atmosfernya. Dan, secara tidak langsung, kimia lautnya.

Total biaya misi desain ulang itu tidak sampai 23 triliun rupiah. Jika konsep misi ini disetujui, katanya, “kami memperkirakan peluncurannya kira-kira awal hingga pertengahan 2020-an.” Jika peluncuran itu dilakukan dari roket Atlas V, perjalanan ke Europa akan memakan waktu sekitar enam tahun. “Tapi mungkin juga,” katanya, “kami dapat meluncur dari Space Launch System, yang sedang dikembangkan NASA. Roketnya besar, dan dengan itu kami bisa sampai ke sana dalam 2,7 tahun.”

Kemungkinan, Clipper tidak akan mampu menemukan kehidupan di Europa. Tetapi, ia mungkin bisa memberi bukti tentang perlunya pendarat lanjutan untuk menggali permukaan bulan itu, mempelajari kimiawinya. Clipper juga dapat mencari tempat pendaratan terbaik bagi pesawat pendarat. Langkah logis berikutnya setelah pendarat—yaitu mengirim probe untuk turun dan menjelajahi samudra Europa—mungkin jauh lebih sulit, tergantung pada ketebalan es. “Ketika penjelajah bawah laut itu kelak terwujud,” kata Hand, “dalam kerangka evolusi, ini ibarat Homo sapiens dibanding Australopithecus yang kami uji di Alaska.”

Penjelajah relatif kasar yang diuji Hand dan kru di Danau Sukok merayap di bawah es 30 sentimeter, menekan sisi bawah permukaan beku itu berkat daya apung bawaannya. Sementara sensornya mengukur suhu, salinitas, pH, dan ciri-ciri air lain. Namun, penjelajah itu tidak mencari organisme secara langsung; itu tugas para ilmuwan yang menggarap aspek lain dalam proyek Hand di seberang danau, termasuk John Priscu dari Montana State University, yang tahun lalu mengambil bakteri hidup dari Danau Whillans, 800 meter di bawah lembar es Antartika Barat. Bersama ahli geobiologi Alison Murray, dan mahasiswa pascasarjana bimbingannya Paula Matheus-Carnevali, Priscu menyelidiki ciri-ciri apa yang diperlukan lingkungan dingin agar dapat menunjang kehidupan, dan jenis organisme apa yang memang hidup di situ.!break!

Meskipun bermanfaat untuk merenungkan sifat kehidupan di luar planet kita, penelitian tentang ekstremofil hanya menghasilkan petunjuk membumi untuk misteri luar angkasa. Namun, tak lama lagi akan muncul sarana lain untuk mengisi komponen-komponen kosong dalam persamaan Drake. NASA telah menyetujui teleskop pemburu-planet baru yang disebut Transiting Exoplanet Survey Satellite. Dijadwalkan untuk diluncurkan pada 2017, TESS akan mencari planet di sekitar bintang-bintang tetangga terdekat kita, sebagai target bagi para ahli astrofisika yang mencari gas ciri kehidupan dalam atmosfer planet. James Webb Space Telescope, yang dijadwalkan diluncurkan pada 2018, akan jauh mempermudah pencarian itu dibanding sekarang.

Semua fokus pada ciri kehidupan dan eks­tremo­fil berasumsi bahwa kehidupan di dunia lain, seperti kehidupan di Bumi, disusun dari molekul-molekul kompleks yang menggunakan karbon sebagai unsur penting strukturnya—dan menggunakan air sebagai pelarut. Salah satu alasannya adalah karbon dan air melimpah di seluruh Bima Sakti. “Jika kita membatasi pencarian seperti ini, kita bisa gagal,” kata Sasselov. “Kita perlu ber­upaya memahami setidaknya beberapa alternatif dan seperti apa kira-kira ciri atmosfernya.” Jadi, kelompok Sasselov mencari biologi alternatif yang, misalnya, memiliki daur sulfur sebagai ganti daur karbon yang mendominasi biologi Bumi.

Sementara itu, Frank Drake masih mencari sinyal dari luar Bumi. “Mencoba semua pendekatan adalah sikap yang bijak,” katanya, “karena kita tidak terlalu pandai menebak, apa sebenarnya yang dilakukan oleh makhluk luar angkasa.”