Berburu Kehidupan di Luar Bumi

By , Jumat, 27 Juni 2014 | 13:08 WIB

“Saya bersemangat soal bioverm,” kata Boston, “karena kita sudah melihatnya pada skala berbeda-beda, dan di berbagai macam lingkungan. Namun, ciri-ciri polanya sangat mirip.” Dia dan Schubert meyakini bahwa pola-pola ini, yang didasari oleh aturan sederhana pertumbuhan dan perebutan sumber daya, sangat mungkin merupakan ciri kehidupan uni­versal secara harfiah. Selain itu, di dalam gua, komunitas mikrob meninggalkan pola, bahkan setelah mati. Jika penjelajah melihat sesuatu seperti ini pada dinding gua Mars, kata Schubert, “pola itu dapat mengarahkan ke tempat yang layak diteliti.”!break!

Para ilmuwan dan insinyur yang menggigil di Danau Sukok sedang mengemban misi serupa. Mereka bekerja di dua lokasi di danau itu, satu di sebelah kumpulan tiga tenda kecil yang dijuluki para ilmuwan “Nasaville”, dan satu lagi, hanya satu tenda, berjarak lurus sekitar satu kilometer. Karena gelembung gas metana yang naik dari dasar danau mengaduk air, es sulit terbentuk di beberapa tempat. Untuk mengendarai mobil salju dari kemah ke kemah, ilmuwan harus meng­ambil jalur memutar agar tidak tercebur ke danau, yang bisa berakibat fatal.

Metana-lah yang pertama memancing para ilmuwan datang ke Sukok dan danau-danau Alaska lain di dekatnya pada 2009. Gas hidrokarbon umum ini dihasilkan oleh mikrob—dinamai metanogen—yang mem­busuk­kan bahan organik, sehingga metana men­jadi satu lagi ciri kehidupan potensial yang dapat dicari ahli astrobiologi di dunia-dunia lain. Namun, metana juga dihasilkan oleh letus­an gunung berapi dan sumber nonbiologi lain, dan terbentuk secara alami di atmosfer planet raksasa seperti Yupiter maupun di bulan Saturnus, Titan. Jadi, sangat penting ilmuwan mampu membedakan metana biologis dan metana nonbiologis. Jika kita berfokus pada Europa yang diliputi es, seperti Kevin Hand, Danau Sukok yang kaya-metana dan diliputi es masih cukup memadai untuk diteliti.  

Hand lebih menyukai Europa daripada Mars sebagai tempat untuk mendalami astro­biologi. Misalkan kita jadi ke Mars, katanya, dan menemukan organisme hidup di bawah permukaan yang berbasis DNA, seperti ke­hidupan di Bumi. Itu bisa berarti bahwa DNA adalah molekul kehidupan universal, hal yang memang mungkin. Tetapi, itu juga bisa berarti bahwa kehidupan di Bumi dan kehidupan di Mars memiliki asal-usul yang sama.

Kita sudah tahu pasti bahwa batu-batu yang terpecah dari permukaan Mars akibat ditabrak asteroid memang sampai ke Bumi. Batuan Bumi juga mungkin pernah sampai ke Mars. Jika di dalam batu yang melintasi antariksa itu ada mikrob hidup yang terperangkap lalu selamat dalam perjalanan, mikrob itu bisa saja mengawali kehidupan di planet mana pun yang dicapainya. “Jika kehidupan di Mars ternyata berbasis DNA,” kata Hand, “saya rasa kita akan bingung apakah asal-usul DNA itu sama atau tidak.” Tetapi, Europa terletak lebih jauh. Jika di sana ditemukan kehidupan, itu menyiratkan asal-usul lain yang terpisah—sekalipun ke­hidupan itu berbasis DNA.

Europa memang sepertinya memiliki bahan-bahan dasar kehidupan. Air cair melimpah, dan di dasar lautnya juga mungkin ada cerobong hidro­termal, mirip dengan di Bumi, yang dapat memberi zat hara bagi kehidupan yang mungkin ada di sana. Di permukaan, Europa sekali-sekali ditabrak komet, yang menyisakan zat kimia organik yang juga dapat menjadi balok penyusun kehidupan. Partikel dari sabuk radiasi Yupiter menguraikan hidrogen dan oksigen pe­nyusun es, membentuk beragam molekul yang dapat digunakan organisme hidup untuk melakukan metabolisme zat hara dari cerobong.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana zat kimia itu dapat menembus seluruh es, yang mungkin setebal 15-25 kilometer, sampai bawah. Namun, jelas bahwa es itu penuh retak-retak. Pada awal 2013, Hand dan astronom Caltech, Mike Brown, menggunakan teleskop Keck II untuk menunjukkan bahwa garam dari samudra Europa mungkin sedang menuju permukaan, barangkali melalui retak-retak tersebut. Dan pada akhir 2013, tim pengamat lain, yang menggunakan Teleskop Luar Angkasa Hubble, melaporkan adanya awan air cair menyembur dari kutub selatan Europa. Es Europa rupanya masih dapat ditembus.

Ide mengirim wahana penelitian untuk mengorbit Europa pun terasa semakin memikat. Sayangnya, misi pengorbit yang dievaluasi oleh National Research Council dalam laporan 2011 dinilai layak, tetapi dengan biaya 53 triliun rupiah, terlalu mahal. Tim JPL yang dipimpin Robert Pappalardo terpaksa merombak desain misi itu. Probe Europa Clipper mereka akan mengorbit Yupiter saja, bukan Europa, yang mengurangi kebutuhan bahan bakar dan menghemat uang. Misi ini bisa lewat di dekat bulan itu sekitar 45 kali, untuk memahami kimia permukaan dan atmosfernya. Dan, secara tidak langsung, kimia lautnya.

Total biaya misi desain ulang itu tidak sampai 23 triliun rupiah. Jika konsep misi ini disetujui, katanya, “kami memperkirakan peluncurannya kira-kira awal hingga pertengahan 2020-an.” Jika peluncuran itu dilakukan dari roket Atlas V, perjalanan ke Europa akan memakan waktu sekitar enam tahun. “Tapi mungkin juga,” katanya, “kami dapat meluncur dari Space Launch System, yang sedang dikembangkan NASA. Roketnya besar, dan dengan itu kami bisa sampai ke sana dalam 2,7 tahun.”

Kemungkinan, Clipper tidak akan mampu menemukan kehidupan di Europa. Tetapi, ia mungkin bisa memberi bukti tentang perlunya pendarat lanjutan untuk menggali permukaan bulan itu, mempelajari kimiawinya. Clipper juga dapat mencari tempat pendaratan terbaik bagi pesawat pendarat. Langkah logis berikutnya setelah pendarat—yaitu mengirim probe untuk turun dan menjelajahi samudra Europa—mungkin jauh lebih sulit, tergantung pada ketebalan es. “Ketika penjelajah bawah laut itu kelak terwujud,” kata Hand, “dalam kerangka evolusi, ini ibarat Homo sapiens dibanding Australopithecus yang kami uji di Alaska.”

Penjelajah relatif kasar yang diuji Hand dan kru di Danau Sukok merayap di bawah es 30 sentimeter, menekan sisi bawah permukaan beku itu berkat daya apung bawaannya. Sementara sensornya mengukur suhu, salinitas, pH, dan ciri-ciri air lain. Namun, penjelajah itu tidak mencari organisme secara langsung; itu tugas para ilmuwan yang menggarap aspek lain dalam proyek Hand di seberang danau, termasuk John Priscu dari Montana State University, yang tahun lalu mengambil bakteri hidup dari Danau Whillans, 800 meter di bawah lembar es Antartika Barat. Bersama ahli geobiologi Alison Murray, dan mahasiswa pascasarjana bimbingannya Paula Matheus-Carnevali, Priscu menyelidiki ciri-ciri apa yang diperlukan lingkungan dingin agar dapat menunjang kehidupan, dan jenis organisme apa yang memang hidup di situ.!break!

Meskipun bermanfaat untuk merenungkan sifat kehidupan di luar planet kita, penelitian tentang ekstremofil hanya menghasilkan petunjuk membumi untuk misteri luar angkasa. Namun, tak lama lagi akan muncul sarana lain untuk mengisi komponen-komponen kosong dalam persamaan Drake. NASA telah menyetujui teleskop pemburu-planet baru yang disebut Transiting Exoplanet Survey Satellite. Dijadwalkan untuk diluncurkan pada 2017, TESS akan mencari planet di sekitar bintang-bintang tetangga terdekat kita, sebagai target bagi para ahli astrofisika yang mencari gas ciri kehidupan dalam atmosfer planet. James Webb Space Telescope, yang dijadwalkan diluncurkan pada 2018, akan jauh mempermudah pencarian itu dibanding sekarang.

Semua fokus pada ciri kehidupan dan eks­tremo­fil berasumsi bahwa kehidupan di dunia lain, seperti kehidupan di Bumi, disusun dari molekul-molekul kompleks yang menggunakan karbon sebagai unsur penting strukturnya—dan menggunakan air sebagai pelarut. Salah satu alasannya adalah karbon dan air melimpah di seluruh Bima Sakti. “Jika kita membatasi pencarian seperti ini, kita bisa gagal,” kata Sasselov. “Kita perlu ber­upaya memahami setidaknya beberapa alternatif dan seperti apa kira-kira ciri atmosfernya.” Jadi, kelompok Sasselov mencari biologi alternatif yang, misalnya, memiliki daur sulfur sebagai ganti daur karbon yang mendominasi biologi Bumi.

Sementara itu, Frank Drake masih mencari sinyal dari luar Bumi. “Mencoba semua pendekatan adalah sikap yang bijak,” katanya, “karena kita tidak terlalu pandai menebak, apa sebenarnya yang dilakukan oleh makhluk luar angkasa.”