Kerajaan yang Terbelah

By , Rabu, 27 Agustus 2014 | 14:51 WIB

Daya pikat uang dapat me­longgarkan ikatan tradisi, dan gejala inilah yang mulai meng­guncang tatanan so­sial Thailand sekitar tiga dekade yang lalu. Saat terjadi kemajuan pesat eko­nomi yang dimulai pada 1980-an, kekayaan me­ngalir begitu deras ke dalam negeri sehingga pendapatan per kapita naik tiga kali lipat dalam satu generasi.

Bangkok, ibu kota negara, berubah menjadi metropolitan yang dipenuhi gedung tinggi dan pusat perbelanjaan yang bersaing dengan kuil Buddha untuk memperebutkan ruang. Rakyat pedesaan berbondong-bondong pindah ke kota besar untuk mencari pekerjaan, mencerai-beraikan struktur keluarga  tradisional.

Sekitar 10 persen dari 67 juta penduduk Thailand kini tinggal di Bangkok, angka yang menjadi lebih besar lagi jika jutaan pekerja migran dari daerah pedesaan ikut dihitung. Dengan jalanan beraspal, listrik, sepeda motor, dan televisi, warga desa Thailand telah menjadi warga miskin paling kaya di dunia, dan memperoleh label akademis "petani berpendapatan menengah".

Meningkatnya kesejahteraan ini juga me­nimbul­kan ketidakpuasan karena terbentang jurang perbedaan yang mencolok antara warga kaya dan miskin. Akibatnya, masyarakat Thailand mengalami pergeseran bersejarah tatkala kaum miskin, dengan dorongan politisi yang ambisius, berusaha mendapatkan porsi kemakmuran dan pengaruh. Kolusi antara lembaga politik tradisional muncul dan ber­usaha membela hak-hak istimewa dari sistem hierarkis, yang mengatur masyarakat dan kehidupan pribadi.!break!

Dinamika ini mencapai klimaksnya pada 22 Mei, ketika pihak militer berhasil merebut kekuasaan melalui kudeta, setelah tujuh bulan terjadi ketegangan yang semakin memanas. Pihak berwenang memberlakukan jam malam, dan sangat membatasi kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Pemimpin pemerintahan yang terguling ditangkap atau bersembunyi. Wartawan, politisi, dan akademisi yang vokal diperintahkan untuk menyerahkan diri.

Di antara mereka yang ditangkap adalah Chaturon Chaisang, menteri pendidikan yang ter­singkir. "Jika ada yang mengira bahwa kudeta akan berhasil mengakhiri semua konflik dan kekacauan, atau kekerasan, perkiraan itu keliru," katanya, sebelum digiring tentara bersenjata.

Saat saya menulis artikel ini, hanya beberapa hari setelah kudeta, mustahil memperkirakan nasib Thailand atau bahkan bagaimana situasi­nya saat majalah ini naik cetak.

Warga kelas bawah yang semakin me­ningkat jumlahnya merupakan kelompok politik terbesar. Calon mereka memenangi setiap pemilihan nasional sejak 2001, tetapi digulingkan melalui kudeta ataupun putusan pengadilan yang sarat kepentingan politik. Suasana baru, permusuhan, dan intoleransi meracuni budaya yang biasanya menepis konfrontasi dengan pengalihan persoalan, kata-kata lembut, dan senyuman Thailand.!break!

Selama bulan-bulan awal tahun ini, dalam kampanye yang disebut Tutup Bangkok, puluhan ribu pengunjuk rasa melumpuhkan beberapa bagian kota. Mereka memblokade persimpangan jalan, dan memenuhi udara dengan lengkingan suara peluit. Dalam perjalanan menuju pe­milihan umum nasional pada 2 Februari, para demonstran ini berusaha agar para calon tidak bisa mendaftar dan mereka juga menghalangi pengiriman kotak suara. Pada hari pemilihan, mereka memblokade TPS, bertikai dengan orang-orang yang mencoba melanggar bari­kade untuk memilih. Banyak TPS dipaksa tutup sehingga Mahkamah Konstitusi secara kontroversial menganulir suara, menyebabkan negara itu terpuruk dalam keadaan tak menentu yang berbahaya dan bergolak.

Kudeta itu muncul setelah Yingluck Shina­watra, perdana menteri yang terpilih se­cara demokratis, dipaksa turun dari jabatannya oleh Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bersalah atas penyalahgunaan kekuasaan. Klimaks terjadi setelah bermunculan kabar akan adanya aksi militer di negara yang sistem demokrasinya dikoyak-koyak 20 kali kudeta militer atau percobaan kudeta sejak 1932.

Dapat dikatakan bahwa rakyat Thailand yang kehilangan hak, umumnya dikenal sebagai "kaos merah", menginginkan pemilu karena mereka tahu akan menang. Pihak lain, yang awalnya bersatu sebagai "kaos kuning", ber­usaha me­ngubah sistem pemilu karena tahu mereka tidak memiliki cukup banyak suara untuk mempertahankan kekuasaan. Gerakan antipemilu bersikeras bahwa mereka tidak antidemokrasi, hanya memiliki definisi yang berbeda untuk demokrasi. "Anda tidak bisa mengatakan bahwa strategi Inggris atau Amerika merupakan satu-satunya strategi demokrasi," demikian kata Danuch Tanterdtid, anggota kaos kuning. "Demokrasi adalah budaya dan pola pikir. Di Thailand, kami memiliki raja sebelum muncul demokrasi. Di­butuhkan waktu untuk menyesuaikan diri."

Raja Bhumibol Adulyadej telah lama men­jadi jati diri dan kebangsaan Thailand. Sekarang, pada usia 86—beliau bertakhta sejak 1946—sang raja sudah hidup lebih lama daripada kebanyakan rakyat Thailand. Dia pernah menggunakan otoritas moralnya untuk meredakan krisis parah di masa lalu. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, raja yang sudah sakit-sakitan itu memutuskan untuk tidak ikut campur. Sebagai lambang monarki konstitusional, raja tidak memiliki kekuasaan politik langsung, tetapi memiliki pengaruh besar. Boleh dikatakan, tidak mungkin ada ahli warisnya yang dapat mewarisi penghormatan dan sosok moral yang selama ini melekat pada Raja Bhumibol.!break!

Pada saat yang sama, dengan semakin kokoh­nya kekuatan globalisasi dan modernisasi, Thailand telah berkembang meninggalkan dunia terstruktur yang diwakili oleh monarki. Meskipun hampir 95 persen rakyat Thailand me­nyatakan diri sebagai penganut Buddha, agama tidak lagi penting dalam kehidupan mereka. Kehidupan para biksu dinodai oleh skandal dan konsumerisme. Semakin sedikit pemuda yang bersedia menggunduli kepala dan memasuki kehidupan biksu selama beberapa minggu atau bulan.