Kerajaan yang Terbelah

By , Rabu, 27 Agustus 2014 | 14:51 WIB

Sosok politisi yang dominan di Thailand kini adalah seorang lelaki, yang tidak berada di negara itu. Thaksin Shinawatra digulingkan sebagai perdana menteri dalam kudeta 2006 saat sedang berada di luar negeri, tetapi terus didukung konstituen pemilu terbesar. Pemilu terakhir, pada 2011, dimenangi oleh adik bungsunya, Yingluck, yang tanpa malu-malu dipromosikan sebagai "kembaran" dirinya. Kampanye menutup Bangkok muncul setelah ada upaya pemerintahannya untuk me­loloskan undang-undang amnesti yang akan mem­bebaskan Thaksin dari hukuman atas tindak pidana korupsi dan memungkinkannya kembali pulang ke tanah airnya.

Thaksin memang cerdik. Dia mengenali potensi pengaruh kelas bawah yang kurang terwakili di negara itu. Setelah memenangi pemilihan umum pada 2001, dia terpilih lagi dengan suara mayoritas besar pada 2005.

Meskipun berlangsung pemilu demokratis, Thaksin sendiri bukan sosok demokrat. Dia memperluas kekuasaannya dengan mem­bungkam lembaga independen supaya dapat mengawasi kekuasaan eksekutif, menginjak-injak kebebasan pers, dan menggunakan ke­kuasaannya untuk memperkaya diri.!break!

Dengan sikap tanpa basa-basi yang telah membuat sebagian rakyat Thailand terpesona, dia menyulut kembali pemberontakan Muslim Melayu yang selama ini sudah tenang di provinsi paling selatan dengan kebijakan militer yang ganas, termasuk pembantaian sipil. Dalam dekade terakhir, sekitar 6.000 orang tewas. Kudeta 2006 gagal meruntuhkan pengaruh Thaksin. Ketika pengadilan dan militer bertindak untuk kesekian kalinya meng­gulingkan pemerintah pro-Thaksin, secara sporadis berlangsung demonstrasi sengit yang dilancarkan secara bergantian oleh kaos kuning dan kaos merah.

Pada 2010, puluhan ribu kaos merah meng­ambil alih pusat distrik perbelanjaan utama Bangkok selama dua bulan. "Hal yang membuat saya ikut dalam demonstrasi ini adalah kurang­nya kesetaraan dan keadilan," demikian kata seorang petani dari kawasan timur laut. "Kami tidak memiliki demokrasi, dan kami tahu bahwa kami harus memperjuangkannya.." Setelah upaya negosiasi gagal, militer masuk dan membubarkan demonstrasi dalam hari-hari yang dihiasi tembakan dan kekacauan. Lebih dari 90 orang, kebanyakan sipil, tewas. Sejak itu, kian banyak korban tewas, ketika kekerasan juga digunakan dalam perjuangan politik.

Tidak ada pihak yang mau mengakui ke­kalah­an. Reaksi keras terhadap kudeta muncul segera setelah para jenderal merebut kekuasaan. Mengingat sejarah pemilu baru-baru ini di Thailand, peluang pemungutan suara yang adil, dengan pihak yang kalah bersedia menerima kekalahan, tampak­nya nyaris mustahil.

—Seth Mydans menulis tentang Thailand untuk New York Times lebih dari satu dekade. James Nachtwey dianugerahi Hadiah Perdamaian Internasional Dresden untuk laporan tentang korban perang.