Karma Kerumunan Orang

By , Kamis, 28 Agustus 2014 | 11:40 WIB

Pada 10 Februari 2013, warga yang ber­jejalan di stasiun kereta api Allahabad, sebuah kota di India utara, menyebabkan kepanikan yang menewaskan 36 orang. Kota tersebut menjadi tuan rumah pertemuan keagamaan terbesar di dunia, Maha Kumbh Mela. Pihak berwenang memperkirakan, jumlah peziarah pada hari itu mencapai puncaknya, 30 juta orang. Malapetaka itu menjadi berita utama di seluruh dunia. Namun, ada cerita lain tentang Maha Kumbh Mela yang belum diungkapkan.

Semuanya dimulai dua minggu sebelumnya, sekitar enam setengah kilometer dari stasiun, di bantaran Sungai Gangga. Hari itu adalah hari kedua acara permandian akbar pada festival itu. Saat itu, ribuan orang telah hadir di tempat ini, tetapi mereka tampak tenang, menyatu. Tidak ada yang mendorong atau mendesak, apa lagi panik—yang terasa hanyalah kesamaan tujuan saat mereka beringsut ke dalam sungai, membenamkan diri di dalam air sedingin es, dan beringsut keluar lagi.

Orang-orang saling memberi jalan, meng­ulur­kan tangan menawarkan bantuan. Ritual sudah selesai dilakukan, tujuan berubah menjadi sukacita. "Bagaimana perasaanmu?" tanya saya kepada seorang pria yang mengenakan cawat basah. "Segar kembali," jawabnya, saat dua, lalu tiga, kemudian empat, pendatang baru mengambil tempatnya.

Di tengah semua itu, tampak seorang polisi yang tugasnya mendorong kerumunan orang agar terus bergerak, karena tidak kurang dari tujuh juta orang diperkirakan akan mandi di tempat itu pada hari ini. "Semua orang, jika dibiarkan sendiri, tidak akan mampu me­laku­kannya," katanya. "Mereka saling mem­beri­kan kekuatan." Energi terasa terpancar dari kerumunan ini.

Sosiolog Prancis dari abad ke-19, Emile Durkheim, menciptakan sebuah ungkapan untuk hal itu: kegairahan bersama. Dia yakin hal itu berdampak positif pada kesehatan individu. Gagasannya tersebut digebah saat ter­jadi kekerasan massa terdahsyat pada abad ke-20. Tetapi, mungkin gagasan itu ada benarnya. Apakah kerumunan orang telah disalahpahami?!break!

Di barat, terdapat gagasan yang sudah men­­darah daging, yakni ketika orang banyak berkumpul, mereka kehilangan identitas individualnya, juga kemampuan untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan moral.

"Penelitian kami membuktikan bahwa ke­rumunan orang sesungguhnya penting untuk masyarakat," ujar psikolog Stephen Reicher. "Mereka ikut membentuk perasaan kita tentang siapa diri kita, mereka ikut membentuk hubungan kita dengan orang lain, mereka bahkan ikut menentukan kesehatan fisik kita."

Untuk menguji gagasan itu, Reicher dan rekan-rekannya datang ke lokasi itu, yang bernilai sangat penting bagi umat Hindu. Di tempat inilah, Sungai Gangga yang suci menyatu dengan Yamuna, dan sungai mitos ketiga yang bernama Saraswati. Di sini, seperti ditorehkan dalam kitab suci, terjadi pergumulan antara para dewa dan iblis pada zaman dahulu yang menumpahkan nektar keabadian atau amrit. Dan di tempat inilah, penganut Hindu yang mandi akan terbasuh semua dosanya dan se­langkah lebih dekat ke surga.

Setiap tahun, jutaan orang berziarah ke Alla­habad untuk melakukan ritual pada per­temuan yang disebut mela. Setiap 12 tahun, ketika keselarasan bintang-bintang dianggap sangat menguntungkan, pertemuan tersebut me­miliki nilai kepentingan yang jauh lebih besar. Kota tenda raksasa pun muncul di dataran rawan banjir Gangga untuk menjadi tuan rumah Maha Kumbh Mela atau Kumbh. Pada 2013, Kumbh menarik sekitar 70 juta orang selama 56 hari. Mela selalu membangkitkan rasa penasaran orang luar, terutama karena prosesi eksotis orang suci telanjang yang menggeram dan ber­tabur debu. Namun, Reicher dan rekan-rekannya tertarik pada orang-orang yang datang untuk berbaur dengan ke­rumunan, bukan sosok yang menonjol sendirian.

Setelah melakukan perjalanan dengan jip selama setengah jam dari pertemuan Sungai Gangga dan Yamuna, tetapi masih di dalam "kota" Kumbh, Bishamber Nath Pandey, 70 tahun, dan istrinya, Bimla, 65 tahun, meng­undang saya ke tenda mereka.!break!

Keluarga Pandey adalah kalpwasis, peziarah yang datang ke mela setidaknya selama satu bulan dan menjalani gaya hidup sederhana saat berada di sini. Mereka menceritakan rutinitas sehari-hari kepada saya: berendam sebelum fajar, makan apa adanya sekali sehari, melakukan pekerjaan rutin, berdoa, melantunkan kidung.

"Pernahkah Anda jatuh sakit selama tinggal di sini?" tanya saya. Menurut pengukuran pe­merintah setempat, Sungai Gangga sedemikian tercemar dengan limbah dan menjadi saluran pembuangan industri, sehingga tidak aman untuk diminum dan dijadikan tempat mandi (para kalpwasis melakukan keduanya).

Sistem audio yang menyiarkan musik, khot­bah keagamaan, dan pengumuman praktis sehari 24 jam, membuat tingkat kebisingan di perkemahan itu selalu berkisar pada 76-95 desibel, cukup tinggi sehingga dapat menyebab­kan gangguan pendengaran permanen pada jangka waktu yang cukup panjang.