Karma Kerumunan Orang

By , Kamis, 28 Agustus 2014 | 11:40 WIB

Tidak ada yang meramalkan kepanikan di sta­siun kereta api pada 10 Februari. Ketika hal itu terjadi, Reicher sudah pulang. Tetapi, saya ingat wawancara yang dilakukan olehnya dan rekan-rekannya ketika seorang kalpwasi diminta menggambarkan perasaan orang-orang di stasiun. "Semua merasa lebih kuat dari­pada Anda, mereka dapat mendorong se­enaknya," katanya. Dia kemudian diminta meng­gambarkan perasaan dalam mela yang sesungguhnya: "Semua orang mengkhawatirkan Anda. Mereka memperlakukan Anda dengan sopan: 'Silakan, Ibu, [kata mereka] silakan pergi dengan nyaman'."!break!

Dalam sepucuk surel dari St Andrews, Reicher menulis bahwa salah satu kemungkinan pe­nyebab kepanikan itu adalah para peziarah tidak lagi membentuk kerumunan psikologis. Orang-orang di sekeliling mereka tidak lagi menjadi bagian dari keseluruhan yang lebih besar, tetapi menjadi pesaing untuk mendapatkan kursi di dalam kereta menuju ke rumah.

Para psikolog tidak menyangkal bahwa hal buruk dapat terjadi pada kerumunan orang. Jika tujuan kerumunan itu adalah untuk me­rusak, tujuan itulah yang akan diwujudkan. Namun, mereka berpendapat bahwa kegairahan bersama dapat menjadi kekuatan besar untuk me­wujudkan kebaikan, dan hal itu telah diabaikan. Pada 2009, ketika saya pertama kali bertemu dengan Levine, dia baru saja menyelesaikan analisis rekaman CCTV atas konflik di tempat umum di sebuah kota di Inggris yang dipicu alkohol. Kesimpulannya adalah, orang yang me­nonton berperan besar dalam menentukan apakah sebuah konfrontasi akan berubah men­jadi kekerasan atau tidak.

Dengan kata lain, ketika ada potensi ke­keras­an, kerumunan orang dapat memiliki pengaruh menenangkan—temuan yang menepiskan penelitian sebelumnya tentang hal yang disebut sebagai "efek penonton", yang menunjukkan bahwa beberapa orang menghilangkan tang­gung jawab individu di tengah kerumunan, berdiri tak berdaya saat peristiwa yang mengerikan terjadi di depan mata mereka. Reicher dan rekan-rekannya mempelajari sejumlah kerumunan orang dalam acara keagamaan, pertandingan sepak bola, parade politik, dan festival musik.

"Mempraktikkan keyakinan kita ternyata ber­beda dalam kerumunan kalpwasis jika dibandingkan dengan kerumunan orang di se­buah konser musik rock," kata Reicher. "Namun, proses yang mendasarinya tetap sama." Saat melaporkan hari pembukaan festival Woodstock pada 1969, majalah Life mengutip seorang petugas yang baru saja menyadari penonton yang datang akan jauh lebih banyak daripada yang diantisipasinya. "Banyak sekali orang di sini," katanya. "Jika semuanya ingin berjalan lancar, Anda sebaiknya ingat bahwa orang yang berada di samping Anda adalah saudara Anda." Mereka memperhatikan peringatan itu, dan festival tiga hari itu kini dikenang sebagai peristiwa penuh kedamaian dan cinta selain masalah lumpur, kekurangan makanan, dan kemacetan lalu lintasnya.

"Kumbh berlangsung sukses berkat kom­bi­nasi infrastruktur yang baik dan kerja sama psikologis," kata Reicher. Namun, pada masyarakat industri yang lebih maju, kekuatan kerja sama diabaikan.

Di AS, misalnya, harapan hidup meningkat selama 50 tahun terakhir, tetapi peningkatannya tidak secepat seperti di negara-negara maju lainnya. Hasilnya, harapan hidup di AS me­nurun dalam peringkat dunia, sehingga AS kini setara dengan Cili dan Polandia, yang menghabiskan anggaran jauh lebih sedikit untuk kesehatan. Penjelasannya, duga Lisa Berkman, ahli epidemiologi sosial, adalah warga Amerika telah menjadi semakin terisolasi dari segi sosial. "Kita melupakan kenyataan bahwa kita adalah makhluk sosial," katanya.!break!

Justru di situlah tantangannya: Bergabung dengan kerumunan psikologis tidaklah semudah keinginan untuk menjadi bagian darinya. Saat melihat sungai kecokelatan yang mengalir deras, dan terutama karena mengetahui kandungan bakteri coli dari tinja di sungai itu, saya tidak bisa meyakinkan diri bahwa saya sedang me­natap nektar keabadian. Apakah itu berarti kita harus dilahirkan dalam identitas tertentu agar mampu ikut merasakan suasana itu? Tidak: Perubahan bisa saja terjadi.

Jauh di dalam kota dadakan itu, saya bertemu dengan Geeta Ahuja, yang menceritakan pe­ng­alamannya kepada saya. Dia seorang "skeptis sejati yang sarat dosa" sampai mendengar se­orang pendeta Hindu berbicara di Dallas, Texas, pada 2007. "Dia berbicara tentang ke­tidak-kekalan hubungan dalam dunia materi," katanya. "Hal itu membangkitkan emosi saya yang terpendam." Dia menjadi muridnya dan hidupnya mulai terasa bermakna.

Namun, kita dapat mengagumi kekuatan kegairahan bersama tanpa harus turut berubah bersamanya—seperti yang dilakukan seorang pria pada mela 1896. "Sungguh indah," tulisnya, "kekuatan iman seperti itu, yang dapat membuat sekian banyak orang, tua dan lemah, muda dan ringkih, tanpa ragu atau mengeluh sedikit pun mengikuti perjalanan yang luar biasa dan menanggung penderitaan." Pria itu adalah warga Amerika bernama Mark Twain.

Potret Laura Spinney tentang sebuah kota di Eropa dalam 70 suara, Rue Centrale, diterbitkan tahun lalu. Buku fotografi kesepuluh Alex Webb, Memory City, ditulis bersama fotografer Rebecca Norris Webb, akan terbit tahun ini.