Karma Kerumunan Orang

By , Kamis, 28 Agustus 2014 | 11:40 WIB

Pandey menggelengkan kepala. Ini adalah mela-nya yang ke-12, dan dia selalu pulang ke rumah dalam suasana pikiran yang lebih baik daripada saat tiba di tempat itu. "Hidup di antara para dewa," itulah yang dikatakannya, mem­bantunya untuk melupakan kesulitan duniawi yang dihadapinya.

Sebelum dimulainya mela 2011, seorang rekan Stephen Reicher, Shruti Tewari dari Allahabad University, membentuk tim lapangan untuk pergi ke pedesaan dan menanyai 416 calon kalpwasis tentang kesehatan mental dan fisik mereka. Mereka melakukan hal yang sama pada 127 tetangga kalpwasis tersebut, dan kembali mengajukan rangkaian pertanyaan yang sama untuk kedua kelompok itu sebulan setelah mela usai. Mereka juga mewawancarai para kalpwasis selama festival, untuk merekam pengalaman mereka.

Temuan mereka pasti membuat Durkheim (sang sosiolog Prancis terkenal) bersemangat. Orang-orang yang tinggal di desanya me­lapor­kan tidak ada perubahan yang nyata selama perio­de penelitian. Sebaliknya, para kalpwasis melaporkan peningkatan kesehatan sebesar 10 persen, termasuk berkurangnya rasa sakit dan sesak napas, menurunnya tingkat kecemasan, dan lebih tingginya tingkat energi. Selain itu, efek baik itu berlangsung lama—selama ber­minggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.!break!

Mengapa perasaan menjadi bagian ke­rumun­an orang mampu meningkatkan kesehatan Anda? Para psikolog menduga alasan utamanya adalah kesamaan identitas. "Anda berpikir dalam sudut pandang 'kita' , bukan 'aku,'" ujar Nick Hopkins, rekan Reicher. Hal itu akhirnya meng­ubah hubungan Anda dengan orang lain. "Yang terjadi adalah perubahan mendasar dari melihat seseorang sebagai orang lain, menjadi me­lihat mereka sebagai orang yang dekat dengan kita." Dukungan diberikan dan diterima, persaingan berubah menjadi kerja sama, dan orang mampu mewujudkan tujuannya dengan cara yang tidak akan mampu dicapai jika dilaku­kan sendirian. Hal itu membangkitkan emosi positif yang membuat mereka bukan saja lebih tahan mengatasi kesulitan hidup, melainkan juga lebih sehat secara fisik.

Menjadi bagian dari kerumunan orang—setidaknya kerumunan orang yang tepat—mungkin memberikan manfaat kepada se­se­orang dengan cara yang sama seperti in­terak­si sosial yang lebih pribadi. Kita tahu bahwa mekanisme ketahanan mengatasi stres dapat diaktifkan oleh interaksi sosial, yang ber­pengaruh positif pada sistem kekebalan tubuh dan kardiovaskular.

Reicher menarik garis yang jelas antara ke­rumunan orang secara fisik dan psikologis. Sebuah kerumunan fisik—misalnya penumpang kereta yang berdesakan—tidak memiliki iden­titas kelompok. Walaupun memiliki kehidupan sosial yang luas tidak sama dengan dikelilingi orang lain secara fisik, ia memiliki banyak kesamaan dengan kerumunan psiko­logis—memiliki identitas kelompok. Dan bukan hanya sistem fisik saja yang diubah."Menjadi bagian dari kerumunan orang bisa mengubah cara kita melihat dunia," kata rekan Reicher, psikolog Mark Levine. "Hal ini dapat mengubah persepsi kita." Dalam wawancara, para kalpwasis sering menggambarkan ke­bisingan di mela sebagai sesuatu yang mem­bahagiakan. "Seolah-olah nama Tuhan sedang ber­kumandang di telinga kita," kata salah seorang di antara mereka. "Kebisingan itu?" ujar yang lainnya. "Oh, itu adalah Saraswati sejati."!break!

Penelitian ini berlangsung pada waktu yang tepat. Sejak Kumbh yang terakhir, pada 2001, kemanusiaan telah memasuki babak sejarah baru: Untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari setengah populasi dunia tinggal di perkotaan. Meskipun tingkat kejahatan, polusi, dan kerumunan orang di dalam kota semakin meningkat, para ilmuwan berbicara tentang "keuntungan hidup di kota" ketika dikaitkan dengan kesehatan. Dan bukan hanya kesehatan.

Pada 2007, sebuah tulisan dalam jurnal  Proceedings of the National Academy of Sciences menyimpulkan bahwa semakin meningkatnya penduduk sebuah kota, semakin meningkat pula interaksi sosial di kota itu, bahkan pe­ningkatannya lebih cepat. Hal ini berdampak positif pada pertumbuhan kreativitas, mulai dari seni, pengetahuan, sampai kekayaan. "Rata-rata tercipta 10 sampai 15 persen manfaat tambahan," kata sosiolog Dirk Helbing, salah satu anggota tim penelitian tersebut. "Jadi, ada kekuatan sosial yang luar biasa, yang mendorong kita ke arah hidup bersama."

Syaratnya? Infrastruktur kota itu harus mampu meng­akomodasikannya. Gairah ber­sama saja tidak akan membuat seseorang lebih sehat jika air minumnya terkontaminasi.

Pada 2013, tidak ada wabah penyakit menular yang serius di Allahabad. "Kota" Kumbh men­cakup lokasi lebih dari 25 kilometer persegi—kira-kira seukuran Bukittinggi, Sumatra Barat. Daerah itu dibagi menjadi 14 sektor, masing-masing dilengkapi rumah sakit, kantor polisi, jalan, toko makanan, pasokan listrik dan air minum sendiri. "Terorganisasi dengan sangat baik, sangat bersih, dijalankan dengan sangat efisien," itulah kesimpulan Rahul Mehrotra, seorang profesor desain perkotaan dan perencanaan di Harvard University, yang mengamati festival tersebut.

Pihak berwenang Kumbh merencanakan tata ruang dengan mempertimbangkan manajemen kerumunan orang. Misalnya, rute keluar dari tempat permandian rata-rata dua kali lebih lebar daripada rute masuk. Tahun ini, tugas me­ngelola kerumunan orang dilimpahkan kepada Alok Sharma, inspektur jenderal polisi untuk zona Allahabad, yang membawahkan 14.000 polisi dan pasukan paramiliter. Ketika saya bertemu dengannya pada awal Februari, dia menjelaskan bahwa strategi dasarnya ada­lah kegiatan menggerakkan dan membagi ke­rumunan orang dengan menggunakan jalan me­mutar untuk menghindari penumpukan di tempat-tempat kritis.

Salah satu tempat kritis adalah stasiun kereta api utama, sehingga polisi selalu memantau ke­datangan kereta. "Kerumunan yang berjumlah lebih dari 500 orang harus segera dilaporkan karena saya perlu menyediakan tempat untuk mereka," kata Sharma. "Kami dapat meng­identi­fikasi titik kritis," katanya, "tetapi tidak bisa mem­prediksi kapan atau di mana kemungkinan terjadinya insiden."