Agar terus mampu menyediakan pangan bagi dunia antara saat ini dan 2050, kita memerlukan revolusi hijau lagi. Ada dua visi bersaing tentang cara mewujudkannya. Salah satunya berteknologi tinggi, dengan sangat menekankan kelanjutan pekerjaan Borlaug untuk membiakkan tanaman dengan lebih baik, tetapi dengan teknik genetika modern.Teknologi ciri khas dalam pendekatan ini—adalah tanaman GM (Genetically Modified, di Indonesia dikenal dengan istilah GMO—Genetically Modified Organism), atau hasil modifikasi genetis. Tanaman GMO, yang pertama diperkenalkan pada 1990-an, telah digunakan oleh 28 negara dan ditanam di 11 persen lahan tani dunia, termasuk setengah lahan tani di AS. Sekitar 90 persen jagung, kapas, dan kacang kedelai yang tumbuh di AS adalah tanaman GMO. Warga Amerika sudah hampir 20 tahun menyantap produk GMO.
Tetapi, di Eropa dan sebagian besar Afrika, perdebatan tentang keamanan dan efek lingkungan tanaman GMO praktis menghalangi penggunaannya.
Tanaman GMO yang dirintis oleh Fraley sendiri di Monsanto menguntungkan perusahaan dan banyak petani, tetapi tidak membantu meyakinkan masyarakat untuk mendukung pertanian teknologi tinggi. Tanaman Roundup Ready dari Monsanto dimodifikasi secara genetis agar kebal terhadap herbisida Roundup, yang juga diproduksi oleh Monsanto. Itu berarti petani bebas menyemprotkan herbisida untuk membasmi rumput liar tanpa merusak jagung, kapas, atau kacang kedelai GMO. Kontrak dengan Monsanto tidak memperbolehkan mereka menyimpan benih untuk ditanam; mereka harus membeli benih berpaten itu setiap tahun.
Meskipun tidak ada bukti jelas bahwa Roundup atau tanaman Roundup Ready tidak aman, para pendukung visi alternatif pertanian menganggap benih GMO yang berharga tinggi itu adalah input mahal bagi sistem yang rusak. Menurut mereka, pertanian modern sudah terlalu bergantung pada pestisida dan pupuk sintetis. Bukan hanya tidak terjangkau oleh petani kecil seperti Juma; pupuk ini juga mencemari tanah, air, dan udara. Pupuk sintetis dibuat dengan bahan bakar fosil, dan menghasilkan gas rumah kaca yang kuat ketika digunakan di ladang.
!break!Monsanto bukan satu-satunya organisasi yang meyakini bahwa genetika tumbuhan modern dapat membantu menyediakan pangan bagi dunia. Pada senja Februari yang hangat, Glenn Gregorio, ahli genetika tumbuhan di International Rice Research Institute, menunjukkan padi yang mengawali revolusi hijau di Asia. Kami sedang berada di Los Baños, kota sekitar 60 kilometer di tenggara Manila, menyusuri pematang di sawah yang sangat istimewa, yang bertebaran di tanah 200 hektare milik lembaga itu.
"Inilah padi ajaib—IR8," kata Gregorio, saat kami berhenti di tepi petak berwarna seperti zamrud yang dipadati oleh padi setinggi paha. Seorang ahli patologi tumbuhan bernama Peter Jennings mengawali serangkaian eksperimen kawin silang. Ada 10.000 varietas benih padi yang dapat digarapnya. Kawin silangnya yang kedelapan—antara galur kerdil dari Taiwan dan varietas lebih jangkung dari Indonesia—menghasilkan galur yang cepat tumbuh dan tinggi hasil panennya. Hasilnya ini kemudian dinamai India Rice 8 karena perannya dalam mencegah kelaparan di negara itu. "Ini merevolusi produksi beras di Asia," kata Gregorio. "Ada orang tua di India yang menamai putranya IR8."
Sambil menyusuri sawah, kami melewati beberapa hasil pembiakan lain yang penting, masing-masing ditandai dengan plang kayu yang dicat rapi. Institut ini merilis puluhan varietas baru setiap tahun; sekitar seribu telah ditanam di seluruh dunia sejak 1960-an.
Selama puluhan tahun IRRI berfokus pada meningkatkan mutu varietas tradisional padi, yang tumbuh di sawah yang digenangi air pada saat tanam. Belakangan, institut ini mulai memperhatikan masalah perubahan iklim. IRRI kini menawarkan varietas gaga rancah yang toleran-kekeringan, termasuk yang dapat ditanam di huma dan kebutuhan airnya cukup dari hujan saja, seperti jagung dan gandum. Ada padi toleran-garam untuk negara seperti Bangladesh, karena laut yang naik di sana meracuni sawah.
Hanya sedikit varietas padi di IRRI merupakan tanaman GMO, dalam arti mengandung gen yang dipindahkan dari spesies lain, dan belum ada yang tersedia bagi umum. Salah satunya adalah Golden Rice, yang mengandung gen dari jagung agar dapat memproduksi beta-karotena. Tujuannya adalah memerangi defisiensi vitamin A, momok di seluruh dunia. Musim panas lalu, lahan uji IRRI untuk Golden Rice diinjak-injak aktivis anti-GMO. IRRI menciptakan varietas GMO hanya sebagai upaya terakhir, kata direktur Robert Zeigler, bila tidak berhasil menemukan sifat yang diinginkan pada padi itu sendiri.
Namun, seluruh operasi pembiakan institut ini telah dipercepat oleh genetika modern. Selama puluhan tahun para pemulia IRRI dengan sabar mengikuti resep kuno: Pilih tanaman yang memiliki sifat yang diinginkan, lakukan penyerbukan silang, tunggu sampai keturunannya besar, pilih yang terbaik, ulangi. Kini, ada alternatif bagi proses yang melelahkan itu. Pada 2004 konsorsium peneliti internasional memetakan seluruh genom padi, yang terdiri atas sekitar 40.000 gen individu. Sejak saat itu, peneliti di seluruh dunia sudah berhasil menentukan beberapa gen yang mengontrol sifat bermanfaat dan dapat dipilih langsung.
Pada 2006, misalnya, ahli patologi tumbuhan Pamela Ronald dari University of California, Davis, mengisolasi gen bernama Sub1 dari varietas padi India Timur. Kini jarang ditanam karena hasil panennya rendah, padi India Timur ini memiliki satu ciri yang istimewa: Masih hidup setelah dua minggu terendam air. Sebagian besar varietas mati setelah tiga hari.
!break!Peneliti di IRRI melakukan penyerbukan silang padi Sub1 dengan varietas yang enak rasanya dan hasil panen tinggi bernama Swarna, yang populer di India dan Banglades. Lalu, mereka memeriksa DNA-nya untuk menentukan bibit mana yang mewarisi gen Sub1.