Babak Baru Revolusi Hijau

By , Jumat, 19 September 2014 | 14:05 WIB

Makalah yang terbit Maret lalu, misalnya, men­dokumentasikan tren yang meresahkan: Cacing akar jagung berevolusi sehingga resistan terhadap racun bakteri pada jagung Bt. "Saya terkejut ketika melihat data itu, karena me­nyadari implikasinya—bahwa teknologi ini mulai gagal," kata Aaron Gassmann, ahli ento­mologi di Iowa State University dan salah seorang penulis laporan itu. Salah satu masalahnya, katanya, sebagian petani tidak mematuhi ketentuan sesuai undang-undang untuk menanami "ladang suaka" dengan jagung non-Bt, yang memperlambat penyebaran gen resistan dengan cara memberi makan untuk cacing akar yang rentan terhadap racun Bt.

Di Tanzania belum ada tanaman GMO. Tetapi, sebagian petani kini mengetahui bahwa solusi teknologi rendah sederhana—menanam beragam tanaman—adalah salah satu cara terbaik untuk melawan hama. Jumlah petani organik bersertifikat di Tanzania kini terbanyak keempat di dunia. Ini sebagian berkat seorang gadis bernama Janet Maro.Maro dibesarkan di pertanian di dekat Kilimanjaro, anak kelima dari delapan bersaudara.

Pada 2009, sewaktu masih kuliah S-1 di Sokoine University of Agriculture di Morogoro, dia membantu mendirikan lembaga nirlaba yang disebut Sustainable Agriculture Tanzania (SAT). Sejak itu, dia dan staf kecilnya melatih petani setempat mengenai praktik bertani secara organik. Kini SAT didukung oleh Biovision, sebuah organisasi Swiss yang dikepalai oleh Hans Herren.

Morogoro terletak sekitar 160 kilometer di sebelah barat Dar es Salaam, di kaki Pegunungan Uluguru. Beberapa hari setelah mengunjungi Juma di Bagamoyo, saya diajak Maro ke pegunungan untuk mengunjungi tiga di antara beberapa pertanian organik bersertifikat pertama di Tanzania. "Agen pertanian tak pernah kemari," katanya sementara kami naik pikap mendaki jalan tanah terjal dan bergalur. Dihijaukan oleh hujan yang melayang masuk dari Samudra India, lereng ini masih berhutan lebat. Tetapi, makin lama makin luas lahan yang dibuka untuk pertanian oleh orang Luguru.

Kira-kira setiap setengah kilometer kami berpapasan dengan perempuan yang berjalan sendirian atau berkelompok kecil, menyunggi keranjang ubi kayu, pepaya, atau pisang. Hari itu adalah hari pasar di Morogoro, 900 meter di bawah kami. Perempuan di sini bukanlah sekadar kuli. Bagi orang Luguru, kepemilikan tanah dalam keluarga diwariskan melalui garis perempuan. "Kalau perempuan tidak menyukai seorang lelaki, lelaki itu bisa diusir!" kata Maro.

Dia singgah di rumah satu ruangan, dengan tembok batu bata yang diplester sebagian dan beratapkan seng. Habija Kibwana, perempuan jangkung dengan blus putih lengan pendek dan rok lilit, mengajak kami dan dua tetangga lainnya duduk di serambi.Tidak seperti petani di Bagamoyo, Kibwana dan tetangganya menanam beragam tanaman: Sekarang sedang musim pisang, avokad, dan markisa. Tak lama lagi mereka akan me­nanam wortel, bayam, dan sayur berdaun lain, semuanya untuk konsumsi lokal. Dengan mencampur tanaman ini, ada cadangan kalau salah satu tanaman gagal; ini juga membantu mengurangi hama.

!break!

Petani di sini mulai pandai bercocok tanam secara strategis, mengatur baris-baris Tithonia diversifolia, bunga matahari liar yang disukai lalat putih, untuk mengalihkan hama tersebut dari ubi kayu. Penggunaan kompos sebagai pengganti pupuk sintetis telah meningkatkan mutu tanah sehingga salah seorang petani, Pius Paulini, dapat melipatgandakan produksi bayamnya. Limpasan dari ladangnya tak lagi mencemari sungai yang memasok persediaan air untuk Morogoro.

Mungkin hasil pertanian organik yang paling mengubah kehidupan adalah kebebasan dari utang. Dengan subsidi pemerintah pun, harga pupuk dan pestisida untuk merawat lahan seluas setengah hektare bisa mencapai 500.000 shilling Tanzania atau 3,5 juta rupiah—jumlah yang mencekik leher di negara yang pendapatan tahunan per kapitanya kurang dari 19 juta rupiah. "Dulu, sewaktu harus membeli pupuk, kami tidak punya sisa uang untuk menyekolahkan anak," kata Kibwana. Putri sulungnya kini sudah tamat dari SMA.

Dan pertaniannya juga lebih produktif. "Sebagian besar makanan di pasar kami berasal dari petani kecil," kata Maro. "Mereka yang memberi makan bangsa kami."Ketika saya bertanya kepada Maro, mungkinkah benih GMO juga dapat membantu para petani tersebut, dia skeptis. "Tidak realistis," katanya. Bagaimana mungkin mereka mampu membeli benih itu, kalau pupuk pun tak terbeli? Dia bertanya, di negara yang petaninya jarang didatangi oleh penyuluh pertanian pemerintah, atau bahkan jarang mengetahui penyakit yang mengancam tanaman mereka, seberapa mungkin mereka akan memperoleh dukungan yang diperlukan, untuk menanam tanaman GMO dengan benar?

Dari serambi Kibwana, kami dapat me­mandang luas ke lereng yang dibudidayakan dengan baik—tetapi juga ke lereng yang dilukai oleh ladang-ladang cokelat terkikis milik petani nonorganik, yang sebagian besar tidak membuat teras untuk mempertahankan tanah yang berharga. Kata Kibwana dan Paulini, kesuksesan mereka sendiri menarik perhatian para tetangga. Pertanian organik sedang menyebar di sini. Tetapi, penyebarannya lambat.

Itulah masalah utamanya, pikir saya saat me­ninggalkan Tanzania: menyampaikan pe­ngetahuan yang bermanfaat dari organisasi seperti SAT atau IRRI ke petani seperti Juma. Masalahnya bukan memilih satu jenis pe­ngetahuan—teknologi rendah versus tinggi, organik versus GMO—untuk selama­nya. Terdapat lebih dari satu cara untuk meningkatkan hasil panen atau menghentikan lalat putih. "Pertanian organik mungkin adalah pendekatan yang tepat di beberapa wilayah," kata eksekutif Monsanto Mark Edge. "Kami tidak beranggapan bahwa tanaman GMO adalah solusi untuk semua masalah di Afrika." Sejak revolusi hijau pertama, kata Robert Zeigler, ilmu ekologi maju seiring genetika. IRRI memanfaatkan kemajuan itu juga.

"Lihat burung kuntul yang terbang di sana?" tanyanya menjelang akhir percakapan kami. Di luar kantornya, sekawanan burung itu turun di sawah hijau; pegunungan di kejauhan berpendar dengan cahaya malam. "Pada awal 90-an, di sini tidak pernah terlihat burung. Pestisida yang kami gunakan mematikan burung dan keong dan semua makhluk lain.

Lalu, kami berinvestasi besar untuk memahami struktur ekologi padi. Ada jaring-jaring rumit dan, jika diganggu, akan terjadi wabah hama. Kami kini tahu bahwa pada umumnya, pestisida tidak diperlukan. Padi itu tanaman yang tangguh. Ketahanan dapat dikembangkan pada padi itu sendiri. Ekologi kami di sini sekarang sangat kaya, dan hasil panen kami belum pernah turun.

"Pada waktu-waktu tertentu pada suatu hari, jumlah burung kuntul bisa sampai seratusan. Melihatnya benar-benar menggugah. Situasi ini dapat membaik."

---

Artikel terakhir Tim Folger ada di edisi September 2013 tentang kenaikan permukaan laut. Ini artikel pertama fotografer Craig Cutler untuk majalah ini.