Babak Baru Revolusi Hijau

By , Jumat, 19 September 2014 | 14:05 WIB

Teknologi ini, yang disebut pemulian ber­bantukan penanda (marker-assisted breeding), lebih akurat dan menghemat waktu. Peneliti tak perlu menanam bibit, me­meliharanya, lalu merendamnya selama dua minggu untuk melihat mana yang bertahan hidup.

Padi toleran-banjir yang baru ini, dinamai Swarna-Sub1, telah ditanam oleh hampir empat juta petani di Asia, yang sekitar 20 juta hektare sawahnya dirusak banjir setiap tahun. Sebuah kajian baru-baru ini menemukan bahwa petani di 128 desa di negara bagian Odisha di India, di Teluk Benggala, meningkatkan hasil panen lebih dari 25 persen. Petani termiskinlah yang paling diuntungkan. "Kasta-kasta terendah di India diberi tanah terburuk, dan tanah terburuk di Odisha rentan oleh banjir," kata Zeigler. "Jadi, ini ada bioteknologi yang sangat canggih—padi toleran-banjir—yang secara selektif menguntungkan yang termiskin dari termiskin, kasta Paria. Itu kisah yang hebat, menurut saya."

Proyek paling ambisius dari institut ini akan mengubah padi secara mendasar dan mungkin meningkatkan hasil panen secara drastis. Padi, gandum, dan banyak tumbuhan lain menggunakan sejenis fotosintesis yang disebut C3, karena menghasilkan senyawa tiga-karbon saat menyerap cahaya matahari. Jagung, tebu, dan sebagian tumbuhan lain menggunakan fotosintesis C4. Tanaman seperti itu memerlukan air dan nitrogen jauh lebih sedikit daripada tanaman C3, "dan biasanya hasil panennya 50 persen lebih tinggi," kata William Paul Quick dari IRRI. Dia berencana mengonversi padi menjadi tanaman C4 dengan memanipulasi gennya sendiri.

Tidak seperti toleransi terhadap perendaman pada padi Sub1, fotosintesis C4 dikontrol oleh banyak gen, tidak hanya satu, sehingga menggunakan sifat ini merupakan pekerjaan menantang. Di sisi lain, kata Quick, "sifat ini telah 62 kali berevolusi sendiri. Itu menandakan bahwa memperoleh sifat tersebut sebenarnya tidak terlalu sulit."

!break!

Dengan "menyingkirkan" gen satu per satu, dia dan rekan-rekannya secara sistematis mengidentifikasi semua gen yang berperan dalam fotosintesis pada Setaria viridis, sejenis rumput C4 yang kecil dan cepat tumbuh. Sejauh ini, semua gen yang mereka temukan itu ada juga pada tumbuhan C3. Hanya penggunaannya saja yang berbeda.

Quick dan rekan-rekannya berharap bisa mengetahui cara mengaktifkannya pada padi. "Kami memperkirakan perlu minimal 15 tahun untuk melakukannya," kata Quick. "Sekarang sudah masuk tahun keempat." Jika mereka berhasil, teknik yang sama mungkin dapat membantu menaikkan produktivitas kentang, gandum, dan tumbuhan C3 lain. Ini akan menjadi anugerah tak terkira bagi ketahanan pangan; secara teori, hasil panen dapat melonjak 50 persen.

Karena prospek seperti itulah, Zeigler men­jadi pendukung bioteknologi yang menggebu-gebu. Berjanggut putih dan bersifat kebapakan, Zeigler berpendapat bahwa perdebatan masyarakat tentang tanaman GMO sudah terlalu kabur. "Saat saya memulai pada tahun 60-an, banyak di antara kami terjun ke rekayasa genetika karena berharap dapat bersumbangsih besar bagi dunia," katanya. "Kami berpikir, alat-alat ini hebat!

"Kami memang merasa agak terkhianati oleh gerakan lingkungan, jujur saja. Kalau ingin membahas peran yang tepat bagi perusahaan besar dalam persediaan makanan, kita bisa membahas itu—itu topik yang sangat penting. Tetapi, pembahasannya berbeda dengan apakah kita boleh menggunakan alat-alat genetika untuk memperbaiki mutu tanaman. Keduanya penting, tetapi jangan dicampur-adukkan."

Zeigler memilih kariernya setelah bekerja sebagai guru IPA di Korps Perdamaian pada 1972. "Selagi berada di Republik Demokratik Kongo, saya pernah melihat kelangkaan ubi kayu," katanya. "Itulah yang mendorong saya menjadi ahli patologi tumbuhan."

Visi pertanian mana yang tepat bagi petani di Afrika sub-Sahara? Sekarang ini, kata Nigel Taylor, ahli genetika di Donald Danforth Plant Science Center di St. Louis, Missouri, AS, virus brown streak berpotensi menyebabkan kelangkaan ubi kayu lagi. "Virus ini mewabah dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, dan semakin parah," katanya. "Karena suhu naik, jangkauan lalat putih pun meluas. Yang paling dicemaskan, virus ini mulai masuk ke Afrika tengah, dan jika sampai melanda wilayah luas penghasil ubi kayu di Afrika Barat, akan timbul masalah ketahanan pangan yang besar."

Taylor dan peneliti lain sedang dalam tahap awal mengembangkan varietas ubi kayu GMO yang kebal terhadap virus brown streak. Taylor bekerja sama dengan para peneliti Uganda untuk uji lapangan, dan sebuah uji lain sedang berlangsung di Kenya. Namun, saat ini hanya empat negara Afrika—Mesir, Sudan, Afrika Selatan, dan Burkina Faso—yang mengizinkan penanaman tanaman GMO secara komersial.

!break!

Di Afrika, seperti di tempat lain, orang takut pada tanaman GMO, meskipun hampir tidak ada bukti ilmiah yang membenarkan rasa takut itu. Ada argumen lain yang lebih kuat, bahwa biakan tanaman teknologi tinggi bukanlah obat mujarab, dan bahkan mungkin bukan yang paling diperlukan petani Afrika. Di Amerika Serikat pun, sebagian petani mengalami masalah dengan tanaman GMO.