Dilema Kaum Karnivora

By , Senin, 20 Oktober 2014 | 10:02 WIB
!break!

Apakah usaha penggemukan sapi itu ber­kelanjutan? Pertanyaan ini banyak dimensinya sehingga tidak dapat dijawab dengan mudah. Dengan semakin meningkatnya keprihatinan mengenai resistensi antibiotika pada manusia, badan pengatur makanan dan obat Amerika, FDA, menerapkan panduan untuk mem­batasi penggunaan obat antimikroba dalam pakan ternak. Hormon dan obat agonis-beta yang digunakan di Wrangler, setidaknya oleh FDA tidak dianggap membahayakan kesehatan manusia. Namun, sesudah keluar dalam kotoran hewan, dampaknya pada lingkungan tidak begitu jelas.

Dari semua masalah yang pelik, yang ter­besar adalah masalah dunia: Bagaimana me­menuhi permintaan daging dunia sambil tetap melindungi keanekaragaman hayati dan memerangi perubahan iklim? Perdebatan yang umum terdengar akhir-akhir ini adalah bahwa penduduk negara maju perlu mengurangi konsumsi daging secara umum, menyantap daging ayam untuk menggantikan daging sapi. Saya ragu jalan keluarnya sesederhana itu.

Sanggahan pertama, nasihat itu mengabaikan kesejahteraan hewan. Sesudah seminggu tinggal di Wrangler, saya mengunjungi peternakan ayam negeri. Peternakan ini bersih, dan pemiliknya terkesan beriktikad baik. Namun, lantai kandang sepanjang 150 meter dengan penerangan remang-remang—satu dari enam kandang di pe­ternakan ini—tertutup padat oleh 39.000 ekor unggas putih yang diternakkan untuk tumbuh berdada gemuk dalam tempo tujuh minggu. Jika sasaran kita sebagai pemakan daging adalah untuk meminimalkan penderitaan hewan, lebih baik kita makan daging sapi.

Namun, apakah warga Amerika akan mem­bantu menyediakan pangan untuk dunia jika mereka mengurangi konsumsi daging sapi? Sanggahan yang mengatakan bahwa sia-sia memberi asupan biji-bijian kepada hewan, terutama hewan ternak—yang untuk setiap setengah kilogram membutuhkan empat kali lipat pasokan dibandingkan dengan ayam—sudah terdengar paling tidak sejak 1971. Jatah tanaman biji-bijian di AS yang dikonsumsi oleh semua jenis binatang, 81 persen pada saat itu, telah merosot hingga 42 persen pada saat ini, karena hasil panen melesat tinggi dan semakin banyak biji-bijian yang diubah menjadi gas etanol. Etanol saat ini menyita 36 persen dari cadangan biji-bijian yang ada, sementara ternak sapi hanya sekitar 10 persen. Begitu pun, mungkin saja Anda masih mengira bahwa kalau saja warga Amerika mengurangi konsumsi daging sapi, lebih banyak biji-bijian akan tersedia untuk memberi makan orang yang kelaparan di negara miskin.

!break!

Tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa hal itu akan terjadi di bumi yang kita diami ini. Dengan menggunakan model ekonomi dari sistem pangan dunia, peneliti di lembaga penelitian kebijakan pangan dunia (International Food Policy Research Institute, IFPRI) di Washington, D.C., telah memproyeksikan apa yang akan terjadi seandainya semua negara maju di dunia mengurangi konsumsi semua jenis daging hingga separuh—perubahan besar-besaran. "Sangat kecil dampaknya pada ketahanan pangan di negara berkembang," ujar Mark Rosegrant dari IFPRI. Harga jagung dan sorgum merosot, yang sedikit membantu Afrika, tetapi dalam skala dunia, biji-bijian utama masih berupa gandum dan beras. Jika orang Amerika mengurangi konsumsi daging, petani jagung di Iowa tidak akan mengekspor gandum dan beras ke Afrika dan Asia.

Pemikiran bahwa pemangkasan konsumsi daging di Amerika akan berdampak besar pada pemanasan global juga patut ditinjau ulang. Penelitian yang dilakukan tahun lalu oleh organisasi pangan dan pertanian dunia FAO, menyimpulkan bahwa produksi daging sapi menyumbang 6 persen dari emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Namun, jika dunia benar-benar berhenti mengonsumsi daging sapi, emisi akan turun kurang dari 6 persen, karena lebih dari sepertiganya berasal dari pupuk dan bahan bakar fosil yang digunakan untuk menanam dan mengirimkan biji-bijian untuk dijadikan pakan ternak. Para petani ini akan tetap bercocok tanam—karena bagaimana pun, kebutuhan pangan dunia masih harus dipenuhi.

Seandainya orang Amerika menghapus ternak sapi sama sekali dari seluruh negeri, kita boleh merasa yakin dapat mengurangi emisi sekitar 2 persen—jumlah metana yang dikeluarkan secara langsung oleh ternak sapi ketika bersendawa, serta gas metana dan nitrogen oksida dalam kotorannya. Kita pernah me­lakukan pengikisan emisi seperti ini dengan cara yang mengecewakan. Menurut perkiraan A. N. Hristov dari Negara Bagian Pennsylvania, 50 juta ekor bison yang merambah Amerika Utara sebelum para pendatang tiba di benua ini, mengeluarkan lebih banyak gas metana dibandingkan dengan ternak sapi pada saat ini.

Usaha penggemukan sapi, dengan peng­gunaan obat yang mencemaskan, menyelamat­kan lahan dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Daging sapi dari Amerika Latin, menurut FAO, menghasilkan lebih dari dua kali lipat emisi per setengah kilogram dibandingkan dengan daging sapi di Amerika Utara—karena lebih banyak ternak yang merumput di padang rumput. Juga karena para peternak memangkas begitu banyak hutan hujan tropis untuk dijadikan padang rumput. "Hewan yang sengaja digemukkan lebih baik daripada yang merumput bebas, itu pasti," kata Jason Clay, pakar pangan pada badan konservasi dunia WWF. "Kita harus melakukan intensifikasi."

Seandainya kegiatan merumput dikelola dengan baik, tanah akan diperkaya dan menjadi lebih subur—seperti yang dilakukan bison di padang rumput. Saya mengunjungi beberapa penghasil daging sapi berpakan rumput yang melaksanakan apa yang disebut kegiatan me­rumput yang dikelola secara intensif. Daripada membiarkan ternak menyebar di padang rumput yang luas selama setahun penuh, para peternak ini menjaga ternak dalam kawanan yang rapat dengan bantuan pagar listrik yang dapat dipindah-pindahkan, dan memindahkan pagar ini beberapa hari sekali untuk memastikan rumput yang dimakan ternak tidak terlalu banyak dan sempat tumbuh lagi.

!break!

Namun, para peternak yang saya temui semua menegaskan bahwa kegiatan merumput yang terkelola telah meng­ubah padang rumput mereka. Daging sapi yang mereka hasilkan kurang efisien dari sisi ekonomi dibandingkan daging dari sapi yang digemukkan, tetapi dengan cara tertentu lebih baik dari segi lingkungan.

Di Wrangler, saya bertanya kepada dokter hewan Carter King, bagaimana rasanya mengirimkan ternak yang sebelumnya dia awasi perkembangannya. "Setiap kali saya meluncur di jalan tol dan berpapasan dengan truk yang memuat hewan ternak yang siap potong, diam-diam saya berterima kasih—terima kasih kepada hewan ternak karena telah memberi makan seluruh negeri."

Ketika saya kembali dari perjalanan saya, tiba saatnya untuk pemeriksaan kesehatan tahunan. Tingkat kolesterol saya agak tinggi, dan dokter bertanya apa kemungkinan penyebabnya. Saya bergaul dengan peternak dan menyantap steik mereka, begitu jawaban saya. Dokter saya, yang sudah tidak makan steik selama 20 tahun, bersikap tidak begitu ramah. "Tolak saja," katanya. Tentu saja mengurangi konsumsi daging tidak merugikan saya atau kebanyakan orang Amerika. Namun, ilmu pengetahuan belum secara gamblang menyatakan seberapa jauh pengurangan konsumsi daging dapat membantu kita—atau bumi kita.

Melalui laporan ini, yang benar-benar ingin saya tolak adalah permusuhan menggebu-gebu terhadap daging sapi. Pada akhir minggu perayaan hari kemerdekaan 4 Juli, saya pergi ke toko dekat rumah. Ada steik Angus dan steik yang sama dari sapi yang diberi makan rumput. Keduanya tidak masalah bagi saya. Namun, pada akhirnya saya membeli hamburger.

---

Fotografer Brian Finke berasal dari Texas; ini karya pertamanya untuk National Geographic. Robert Kunzig adalah editor senior majalah ini.