Dilema Kaum Karnivora

By , Senin, 20 Oktober 2014 | 10:02 WIB

Di lokasi penggemukan sapi potong Wrangler, di High Plains Texas Panhandle, 20.000 ton daging mulai menggeliat. Para pekerja sudah terjaga berjam-jam sebelumnya. Truk bergemuruh di lorong-lorong, menuangkan serpihan jagung yang mengalir bak air sungai

ke dalam palungan beton sepanjang 14 kilo­meter. Dalam setiap kandang yang padat, deretan kepala sapi berukuran besar menyodok lewat pagar dan merunduk ke palungan.

Untuk sebagian besar dari 43.000 sapi di sini, hari itu sama saja seperti hari lain, menambahkan satu kilogram lagi bobot daging bermutu baik. Namun, dekat ujung utara halaman, ratusan hewan memulai perjalanan terakhir mereka: Sore hari nanti tubuh mereka akan terbelah dua dan tergantung pada kait.

Daging berarti pembunuhan. Untuk ke­pentingan kehidupan hewan, kesehatan kita, dan kesejahteraan planet Bumi, kita harus me­ngurangi konsumsi daging. Daging memang lezat rasanya. Daging memang bergizi. Tak heran permintaan dunia akan daging masih tinggi, dan kita harus menemukan cara untuk meningkatkan produksi daging.

Kritikus produksi daging sapi berskala indus­tri mengatakan bahwa industri ini berdampak buruk pada pemanasan bumi, memboroskan lahan yang seharusnya dapat digunakan untuk memberi makan lebih banyak orang, serta men­cemarkan dan memboroskan air yang sangat berharga—dan ini dilakukan dengan mengakhiri kehidupan jutaan ternak secara dini dan membuat mereka hidup sengsara dalam kurungan. Meskipun demikian, kebanyakan di antara kita tidak tahu banyak tentang bagaimana sebenarnya daging sapi dihasilkan. Pada Januari yang lalu, sebagai bagian dari perjalanan panjang meneliti dunia perdagingan, saya tinggal seminggu di Wrangler, Tulia, Texas.

!break!

Begitulah, pada pukul 6.45 pagi, saya berdiri di samping Paul Defoor, direktur operasional Cactus Feeders, perusahaan yang menjalankan Wrangler dan delapan lahan penggemukan sapi potong di Texas Panhandle dan di Kansas. Cactus mengirimkan satu juta ekor ternak setiap tahun; saya dan Defoor tengah mengamati beberapa puluh ekor sapi naik ke atas truk. Suhu saat itu kira-kira di bawah sebelasan derajat Celsius.

Sapi-sapi itu seolah terbungkus uap ketika para gembala sapi, baik yang berkuda maupun yang berjalan kaki, menggiring 17 ekor di antaranya—cukup untuk memenuhi satu lantai dari truk dua lantai dengan 18 roda itu—memasuki lorong berpagar. Kawanan hewan ini tidak sadar ke mana mereka akan dibawa; tetapi di ujung tanjakan, sapi barisan depan berhenti dan menolak masuk ke dalam truk.

Dengan gerakan cekatan dari salah seorang gembala sapi, kemacetan arus ternak ini berhasil diatasi. Hampir sepuluh metrik ton beban ternak hidup berduyun-duyun naik ke lantai atas truk, dan sepuluh metrik ton berikutnya mengisi lantai bawahnya. Truk mulai bergoyang.

Saya dan Defoor naik mobil bak terbuka milik­nya, mengikuti truk itu. Di kandang yang menjadi rumah terakhir kawanan hewan ini, mesin perata tanah mengeruk kotoran sapi yang terkumpul selama lima bulan dan me­lepaskannya dari alas tidur sapi yang terbuat dari lapisan padat tanah bercampur jerami. Begitu kami sampai di pagar depan, truk itu sudah menghilang menuju jalan tol dan pabrik pengolahan daging Tyson di luar Amarillo. Kami berpacu mengejarnya. Langit di belakang kami baru saja mulai bersemu merah jambu. Kata Defoor, "maka salah satu sapi yang tadi Anda lihat naik ke atas truk menghasilkan 1.800 porsi. Luar biasa. Dalam truk di depan kita ada 60.000 porsi daging."

Cactus Feeders yang berkantor pusat di Amarillo dan saat ini dimiliki oleh para karyawannya, awalnya didirikan bersama oleh seorang peternak dari Nebraska bernama Paul Engler. Menurut kisahnya, pada 1960, Engler datang ke daerah ini untuk membeli ternak untuk perusahaan penggemukan sapi potong di Nebraska, dan menyadari bahwa wilayah di Texas Panhandle ini sempurna untuk penggemukan sapi potong. Di samping jumlah ternak yang berlimpah, tempat ini me­miliki iklim yang hangat dan kering sehingga memudahkan sapi tumbuh pesat.

Beberapa dekade kemudian, Texas Panhandle menjadi pusat penggemukan sapi potong di dunia. Engler mendirikan Cactus Feeders pada 1975 dan membangunnya menjadi per­usahaan pakan ternak terbesar di dunia. (Sekarang terbesar nomor dua di dunia.) Dari kacamata Engler, misi perusahaannya adalah mengupayakan harga daging sapi terjangkau oleh semua orang. "Semua kenalan ayah saya tidak ada yang tidak suka rasa daging sapi," kata Mike Engler, Presiden Direktur Cactus saat ini.

!break!

Mike Engler, pria berusia 63 tahun, tidak terlihat seperti bangsawan ternak. Ketika ayah­nya memulai usahanya di Cactus, Mike tengah kuliah untuk meraih gelar doktor dalam bidang biokimia. Kemudian, dia melakukan penelitian. Sesudah pergi selama 24 tahun, dia kembali ke Amarillo pada 1993—tahun yang meninggalkan luka bagi industri daging sapi. Empat anak meninggal dunia dan ratusan orang menderita sakit sehabis menyantap hamburger di beberapa restoran cepat saji Jack in the Box yang terkena pencemaran galur ganas E. coli.

Sesudah itu, muncul wabah penyakit sapi gila. Mulailah terbentuk pendapat mufakat di media tentang perusahaan penggemukan sapi: Kejam, menjijikkan, dan lubang neraka yang tidak wajar.

Saya bertanya kepada Defoor tentang zilpaterol, bahan pakan tambahan yang mem­bantu menaikkan berat badan ternak. Dia meng­awali jawabannya dengan meminta saya untuk "memandang Mike Engler dan Paul Defoor tidak sebagai orang jahat." Kedengarannya aneh—tetapi, inilah cerminan dari besarnya jurang di Amerika yang memisahkan antara konsumen dan produsen daging di negeri ini.

Defoor dibesarkan di lahan pertanian kecil di sebelah utara Houston. Di sana, keluarganya menanam semua bahan makanan sendiri dan ada juga yang dijual. "Kami punya sapi perah, ayam, dan kambing," katanya.

Yang penting bukan bagaimana kita me­nyedia­kan pangan bagi dunia, katanya. Bukan bagaimana kita memperbaiki tingkat ke­sejahtera­an orang, yang dimulai dengan 500 orang karyawan yang bekerja di Cactus. Kita me­ngerjakan semua ini untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi limbah.

Misi Cactus: Konversi Energi Pakan Menjadi Produksi Maksimum Daging Sapi secara Efisien dengan Biaya Serendah Mungkin. Untuk me­wujudkan misi itu, dibutuhkan perlakuan saksama dengan bantuan teknologi untuk me­nangani 43.000 perut besar sapi.

Perut besar adalah bagian terbesar dari empat bagian dalam perut sapi—suatu "keajaiban alam," ujar Defoor. Bentuknya menyerupai balon raksasa berwarna krem yang menggelembung berisi cairan hingga sekitar 150 liter. Saat per­tama kali saya melihat perut besar sapi di sebuah rumah jagal di Wisconsin, ukurannya sebesar muatan gerobak; dalam kenyataan sebenarnya, ukurannya memenuhi seluruh sisi kiri di dalam badan sapi. Bagian perut sapi ini mirip wadah raksasa tempat makanan dicerna oleh sapi dan diragikan oleh ekosistem mikroba yang rumit, mengeluarkan asam lemak mudah menguap yang memberikan energi kepada sapi. Di Wrangler, saya mulai mengerti bahwa perut besar sapi juga menyerupai mesin mobil balap berkinerja tinggi, yang secara berkala dipelihara oleh kru yang sangat terlatih.

Sasarannya adalah memompa sebanyak mungkin energi melalui perut besar supaya berat badan sapi naik secepat mungkin tanpa mem­buatnya sakit. Hewan pemamah biak dapat mencerna rumput yang sebagian besar berupa serat kasar. Namun, bulir jagung yang sebagian besar merupakan pati, mengandung jauh lebih banyak energi. Di Wrangler, hanya sekitar 8 persen dari jatah pakan penggemukan merupakan serat kasar—sorgum giling dan tanaman jagung. Sisanya bulir jagung yang dipipihkan untuk memudahkan pencernaan dan menghasilkan produk samping, gas etanol.

!break!

Pakan sapi juga diberi tambahan dua macam antibiotika. Monensin yang berfungsi mem­bunuh bakteri dalam proses peragian serat di dalam perut besar, yang tidak begitu efisien mencerna jagung, sehingga menyuburkan perkembangan bakteri lain. Tilosin berfungsi membantu mencegah luka pada hati, gejala yang lebih sering diderita oleh ternak yang diberi pakan kaya-energi.

Pakan kaya-biji-bijian juga meningkatkan risiko kelebihan produksi asam: Asam ber­timbun di dalam perut besar sapi dan menyebar ke dalam aliran darah sehingga mengakibatkan sapi sakit. Dalam kasus yang parah bahkan dapat melumpuhkannya.

Sekitar 6,5 persen dari ternak di tempat penggemukan sapi potong pernah menderita sakit, kata dokter hewan di Cactus, Carter King, kebanyakan terjangkit infeksi sistem pernapasan. Sekitar satu persen mati sebelum mereka mencapai berat badan layak jagal, umum­nya berkisar antara 550 dan 650 kilogram.

Obat berperan sangat penting dalam industri penggemukan sapi potong. Setiap hewan yang tiba di Wrangler diberi dua susuk hormon steroid untuk menambah otot. Menurut Defoor, pemberian obat ini menghemat pakan ternak senilai Rp1,2 juta per hewan—jumlah yang cukup besar mengingat tingkat keuntungan yang biasanya rendah pada industri ini. Akhirnya, selama tiga minggu terakhir dari hidup mereka, ternak di Wrangler diberikan obat agonis-beta, menaikkan berat badan hewan ternak sehingga menghasilkan daging nirlemak tambahan.

Pada 2013, AS memproduksi jumlah daging sapi yang hampir sama seperti jumlah produksi pada 1976, yaitu sekitar 12 juta metrik ton. Hasil ini tercapai dengan mengurangi jumlah ternak yang dijagal sebanyak 10 juta ekor dari kawanan sapi yang jumlahnya berkurang sekitar 40 juta ekor. Rata-rata hewan yang dijagal mengandung 23 persen daging lebih banyak di masa kini dibandingkan dengan pada 1976. Bagi orang-orang di Cactus Feeders, ini kisah sukses dari sisi teknologi—cara yang perlu diperluas oleh produsen daging karena permintaan dunia akan daging terus meningkat.

Ketika saya ceritakan kepada teman-teman bahwa saya tinggal seminggu di tempat peng­gemukan sapi potong, ini tanggapan mereka, "Pasti menjijikkan." Padahal tidak demikian. Orang-orang di Wrangler terlihat cakap dan bersungguh-sungguh melakukan pe­kerjaan mereka. Mereka berupaya keras untuk memperlakukan ternak dengan baik. Kandang di sana padat, tetapi tidak sesak. Selama berjam-jam saya berkendara mengelilingi tempat itu dengan jendela mobil terbuka, ternyata baunya tidak terlalu mengganggu.

!break!

Apakah usaha penggemukan sapi itu ber­kelanjutan? Pertanyaan ini banyak dimensinya sehingga tidak dapat dijawab dengan mudah. Dengan semakin meningkatnya keprihatinan mengenai resistensi antibiotika pada manusia, badan pengatur makanan dan obat Amerika, FDA, menerapkan panduan untuk mem­batasi penggunaan obat antimikroba dalam pakan ternak. Hormon dan obat agonis-beta yang digunakan di Wrangler, setidaknya oleh FDA tidak dianggap membahayakan kesehatan manusia. Namun, sesudah keluar dalam kotoran hewan, dampaknya pada lingkungan tidak begitu jelas.

Dari semua masalah yang pelik, yang ter­besar adalah masalah dunia: Bagaimana me­menuhi permintaan daging dunia sambil tetap melindungi keanekaragaman hayati dan memerangi perubahan iklim? Perdebatan yang umum terdengar akhir-akhir ini adalah bahwa penduduk negara maju perlu mengurangi konsumsi daging secara umum, menyantap daging ayam untuk menggantikan daging sapi. Saya ragu jalan keluarnya sesederhana itu.

Sanggahan pertama, nasihat itu mengabaikan kesejahteraan hewan. Sesudah seminggu tinggal di Wrangler, saya mengunjungi peternakan ayam negeri. Peternakan ini bersih, dan pemiliknya terkesan beriktikad baik. Namun, lantai kandang sepanjang 150 meter dengan penerangan remang-remang—satu dari enam kandang di pe­ternakan ini—tertutup padat oleh 39.000 ekor unggas putih yang diternakkan untuk tumbuh berdada gemuk dalam tempo tujuh minggu. Jika sasaran kita sebagai pemakan daging adalah untuk meminimalkan penderitaan hewan, lebih baik kita makan daging sapi.

Namun, apakah warga Amerika akan mem­bantu menyediakan pangan untuk dunia jika mereka mengurangi konsumsi daging sapi? Sanggahan yang mengatakan bahwa sia-sia memberi asupan biji-bijian kepada hewan, terutama hewan ternak—yang untuk setiap setengah kilogram membutuhkan empat kali lipat pasokan dibandingkan dengan ayam—sudah terdengar paling tidak sejak 1971. Jatah tanaman biji-bijian di AS yang dikonsumsi oleh semua jenis binatang, 81 persen pada saat itu, telah merosot hingga 42 persen pada saat ini, karena hasil panen melesat tinggi dan semakin banyak biji-bijian yang diubah menjadi gas etanol. Etanol saat ini menyita 36 persen dari cadangan biji-bijian yang ada, sementara ternak sapi hanya sekitar 10 persen. Begitu pun, mungkin saja Anda masih mengira bahwa kalau saja warga Amerika mengurangi konsumsi daging sapi, lebih banyak biji-bijian akan tersedia untuk memberi makan orang yang kelaparan di negara miskin.

!break!

Tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa hal itu akan terjadi di bumi yang kita diami ini. Dengan menggunakan model ekonomi dari sistem pangan dunia, peneliti di lembaga penelitian kebijakan pangan dunia (International Food Policy Research Institute, IFPRI) di Washington, D.C., telah memproyeksikan apa yang akan terjadi seandainya semua negara maju di dunia mengurangi konsumsi semua jenis daging hingga separuh—perubahan besar-besaran. "Sangat kecil dampaknya pada ketahanan pangan di negara berkembang," ujar Mark Rosegrant dari IFPRI. Harga jagung dan sorgum merosot, yang sedikit membantu Afrika, tetapi dalam skala dunia, biji-bijian utama masih berupa gandum dan beras. Jika orang Amerika mengurangi konsumsi daging, petani jagung di Iowa tidak akan mengekspor gandum dan beras ke Afrika dan Asia.

Pemikiran bahwa pemangkasan konsumsi daging di Amerika akan berdampak besar pada pemanasan global juga patut ditinjau ulang. Penelitian yang dilakukan tahun lalu oleh organisasi pangan dan pertanian dunia FAO, menyimpulkan bahwa produksi daging sapi menyumbang 6 persen dari emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Namun, jika dunia benar-benar berhenti mengonsumsi daging sapi, emisi akan turun kurang dari 6 persen, karena lebih dari sepertiganya berasal dari pupuk dan bahan bakar fosil yang digunakan untuk menanam dan mengirimkan biji-bijian untuk dijadikan pakan ternak. Para petani ini akan tetap bercocok tanam—karena bagaimana pun, kebutuhan pangan dunia masih harus dipenuhi.

Seandainya orang Amerika menghapus ternak sapi sama sekali dari seluruh negeri, kita boleh merasa yakin dapat mengurangi emisi sekitar 2 persen—jumlah metana yang dikeluarkan secara langsung oleh ternak sapi ketika bersendawa, serta gas metana dan nitrogen oksida dalam kotorannya. Kita pernah me­lakukan pengikisan emisi seperti ini dengan cara yang mengecewakan. Menurut perkiraan A. N. Hristov dari Negara Bagian Pennsylvania, 50 juta ekor bison yang merambah Amerika Utara sebelum para pendatang tiba di benua ini, mengeluarkan lebih banyak gas metana dibandingkan dengan ternak sapi pada saat ini.

Usaha penggemukan sapi, dengan peng­gunaan obat yang mencemaskan, menyelamat­kan lahan dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Daging sapi dari Amerika Latin, menurut FAO, menghasilkan lebih dari dua kali lipat emisi per setengah kilogram dibandingkan dengan daging sapi di Amerika Utara—karena lebih banyak ternak yang merumput di padang rumput. Juga karena para peternak memangkas begitu banyak hutan hujan tropis untuk dijadikan padang rumput. "Hewan yang sengaja digemukkan lebih baik daripada yang merumput bebas, itu pasti," kata Jason Clay, pakar pangan pada badan konservasi dunia WWF. "Kita harus melakukan intensifikasi."

Seandainya kegiatan merumput dikelola dengan baik, tanah akan diperkaya dan menjadi lebih subur—seperti yang dilakukan bison di padang rumput. Saya mengunjungi beberapa penghasil daging sapi berpakan rumput yang melaksanakan apa yang disebut kegiatan me­rumput yang dikelola secara intensif. Daripada membiarkan ternak menyebar di padang rumput yang luas selama setahun penuh, para peternak ini menjaga ternak dalam kawanan yang rapat dengan bantuan pagar listrik yang dapat dipindah-pindahkan, dan memindahkan pagar ini beberapa hari sekali untuk memastikan rumput yang dimakan ternak tidak terlalu banyak dan sempat tumbuh lagi.

!break!

Namun, para peternak yang saya temui semua menegaskan bahwa kegiatan merumput yang terkelola telah meng­ubah padang rumput mereka. Daging sapi yang mereka hasilkan kurang efisien dari sisi ekonomi dibandingkan daging dari sapi yang digemukkan, tetapi dengan cara tertentu lebih baik dari segi lingkungan.

Di Wrangler, saya bertanya kepada dokter hewan Carter King, bagaimana rasanya mengirimkan ternak yang sebelumnya dia awasi perkembangannya. "Setiap kali saya meluncur di jalan tol dan berpapasan dengan truk yang memuat hewan ternak yang siap potong, diam-diam saya berterima kasih—terima kasih kepada hewan ternak karena telah memberi makan seluruh negeri."

Ketika saya kembali dari perjalanan saya, tiba saatnya untuk pemeriksaan kesehatan tahunan. Tingkat kolesterol saya agak tinggi, dan dokter bertanya apa kemungkinan penyebabnya. Saya bergaul dengan peternak dan menyantap steik mereka, begitu jawaban saya. Dokter saya, yang sudah tidak makan steik selama 20 tahun, bersikap tidak begitu ramah. "Tolak saja," katanya. Tentu saja mengurangi konsumsi daging tidak merugikan saya atau kebanyakan orang Amerika. Namun, ilmu pengetahuan belum secara gamblang menyatakan seberapa jauh pengurangan konsumsi daging dapat membantu kita—atau bumi kita.

Melalui laporan ini, yang benar-benar ingin saya tolak adalah permusuhan menggebu-gebu terhadap daging sapi. Pada akhir minggu perayaan hari kemerdekaan 4 Juli, saya pergi ke toko dekat rumah. Ada steik Angus dan steik yang sama dari sapi yang diberi makan rumput. Keduanya tidak masalah bagi saya. Namun, pada akhirnya saya membeli hamburger.

---

Fotografer Brian Finke berasal dari Texas; ini karya pertamanya untuk National Geographic. Robert Kunzig adalah editor senior majalah ini.