Bertahan di Baluran

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:18 WIB

“Penanaman akasia menunjukkan pe­maham­an yang keliru terhadap mekanisme eko­logis padang rumput. Api adalah alat pemelihara rumput yang baik dan murah. Tanpa api, padang rumput akan menurun produktivitasnya, kecuali dipelihara intensif oleh manusia,” kata Satyawan.

Pemberantasan sudah dilakukan dengan berbagai cara: mekanis dan kimiawi, sejak 1989. “Namun, selama sumber benih tetap ada, akasia duri tetap akan beranak-pinak,” jelas Nanang Dwi Wahono, Pengendali Ekosistem Hutan taman nasional. Selama 1989-2010, Nanang me­­nutur­kan, pemusnahan telah mencakup luasan 2.000 hektare, yang kembali diserang akasia duri.

Tumbuhan asing ini telah memutar lingkar­an setan di Baluran. Mamalia besar telah ber­adaptasi memakan polong akasia yang bernutrisi tinggi, lalu menyebarkan biji-bijinya ke segala penjuru melalui kotoran. Masyarakat juga me­munguti biji-biji akasia—disebut arabica—untuk bahan kecambah dan campuran kopi. Di satu sisi menghambat berkembangnya akasia duri; di sisi lain, masuknya manusia makin mem­buat gaduh taman nasional.

Lantaran itulah, saat ini, usai pohon di­musnah­kan, bibit-bibit baru dicabuti satu-satu. Teknik ini diberlakukan di padang rumput Bekol, sekaligus untuk memulihkan habitat banteng. Tetapi, itu juga bukan berarti persoalan rampung. “Setelah akasia duri di­tebang dan dibuldoser, yang tumbuh adalah rumput pioner, bukan lamuran,” ungkap Nanang.

Rumput lamuran, seperti Heteropogon contortus, Dichantium caricosum, Politrias amaura, dan Themeda triandra adalah kesukaan banteng. Yang banyak tumbuh justru rumput rayapan (Brachiaria reptans) serta berbagai jenis gulma seperti kapasan (Thespesia lampas) ataupun otok-otok (Flemingea lanneata). “Untuk mengembalikan rumput lamuran di Bekol, dilakukan pengayaan dengan mengambil benih dari Bitakol dan Alasmalang.”

Tumpukan penyebab itu membuat perilaku banteng berubah: penyendiri dan sensitif. “Me­nyusutnya banteng Baluran sekaligus ancaman bagi keragaman genetik banteng Indonesia,” Satyawan mengingatkan. Taman Nasional Baluran sedang berjuang memulihkan habitat banteng, pemantauan populasi rutin, serta menangkarkan satwa itu secara semi-alami.

 ***

Banteng muda itu berlarian di kandang penangkaran semi-alami. Umurnya baru tiga bulan. “Belum diberi nama. Ia masih dipanggil mister X,” jelas Andi Maryono Efendi, staf Taman Nasional Baluran.

Di kandang seluas 0,8 hektare itu hidup enam banteng jawa. Tiga banteng indukan dengan tiga anak. Satu banteng jantan dewasa bernama Doni; dua betina dewasa: Tina dan Usi. Dari ketiga induk tersebut lahir tiga anak: mister X, Nina, dan Tekat. “Tina punya anak Nina dan mister X, sedangkan anaknya Susi bernama Tekat,” imbuh Andi.

Penangkaran di habitat alami itu adalah upaya Balai Taman Nasional memulihkan populasi. “Hasil pemantauan pada 2013, jumlah­nya 38 individu plus-minus lima,” Yusuf meng­ungkapkan, “kira-kira antara 33-43 banteng.”

Pada 2006, hasil sensus menemukan jumlah banteng di titik terendah: 15 ekor. “Dulu, popu­lasi­nya cukup bagus,” jelas Kepala Balai Taman Nasional Baluran Emy Endah Suwarni. Banteng induk­an tersebut berasal dari Taman Safari Indo­nesia Prigen, Jawa Timur. “Dua betina dan satu jantan,” lanjut Emy, “perkembangannya baik karena berhasil beranak.”

Emy masih berharap ada pejantan liar dari Taman Nasional Baluran untuk dijadikan induk. Namun, upaya itu belum berhasil. Banteng tangkaran kelak akan dilepasliarkan dan bergabung dengan banteng liar.