Bertahan di Baluran

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 13:18 WIB

Senja menjelang di padang rumput Bekol, Taman Nasional Baluran. Semenjak tiba di padang ini, saya sudah memupus harapan untuk bisa mengamati banteng jawa (Bos javanicus). Satyawan, pakar satwa liar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada telah mengingatkan saya jauh-jauh hari. “Sembilan puluh sembilan persen sulit ketemu, hanya satu persen peluangnya,” ujarnya.

Sore yang hangat itu rupanya membawa kesempatan satu persen itu. Seekor banteng jantan melintas di jalan dan menghampiri kubangan air di padang Bekol. Itulah satu-satunya perjumpaan. Itu pula kesempatan fotografer Yunaidi mengabadikannya.

Dua belas tahun silam, saya dan Satyawan mengamati sekawanan banteng: satu jantan dan tiga betina. Kami menatap bersama satwa herbivora itu. Bekol saat itu menyajikan panorama khas Baluran: rumput menguning keemasan dengan kerumunan banteng di bawah langit biru. 

Banteng yang mengangkat pamor Baluran memang sedang dirundung nestapa. Populasi­nya terus menyusut. “Banteng Baluran amat istimewa ketimbang banteng lain di Nusantara: gagah, berpunuk besar di pundak. Punuk itu sebagai adaptasi banteng terhadap alam Baluran yang kering,” terang Satyawan.

Pada 2002, Satyawan meneliti ekologi banteng jawa untuk tesisnya di Faculty of Forestry and Forest Science, George-August University, Goettingen, Jerman. “Pengamatan reguler pada 2002 menunjukkan populasinya masih banyak dan mudah diamati dari menara di Bekol,” terangnya. Dari data penelitiannya, dia membaca sebuah tengara: jumlah banteng terancam menyusut. “Tidak perlu itung-itungan rumit, populasi saat itu komposisinya banyak banteng yang tua. Jadi bisa dilihat trennya.”

Terbukti, pada pengamatan 2003, makin sedikit banteng yang bisa diamati. Balai Taman Nasional Baluran mencatat jumlah banteng pada tahun itu sekitar 21 ekor. Padahal, pada 2002 jumlahnya berkisar 67 sampai 129. Satyawan menegaskan, menurunnya populasi banteng disebab­kan banyak faktor. “Namun yang utama adalah perburuan liar dan pemangsaan oleh ajag [Cuon alpinus]. Sayangnya, waktu itu tidak ada tindakan manajemen untuk mengatasinya.”

Menurut Mochamad Yusuf Sabarno, staf Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Baluran, semua faktor itu bersifat simultan. Simultan berarti terus-menerus, berantai.

Seber­mula adalah soal krusial: pasokan air. Selama 1980-1990, air dan kubangan di padang Bekol dipasok dari sumber air Talpat dan Kacip. Rusaknya pipa dan hilangnya mata air Talpat membuat suplai air terhenti pada 2002-2003. Sebagai kawasan yang kering, kehidupan satwa Baluran sangat tergantung pada air. “Sayangnya, kita tidak cepat-cepat merespons,” lanjut Yusuf.

Dia menambahkan, memang pernah ada pompa air dengan tenaga diesel. Lantaran ter­gantung pada bahan bakar minyak, pompa air kerap tersendat. Saat pasokan air dan kubangan diperbaiki, populasi banteng kadung menurun. “Perilakunya juga berubah, makin sensitif terhadap kehadiran manusia.”

Pada saat yang sama, aktivitas manusia di dalam taman juga memengaruhi satwa ber­tanduk kokoh ini. Masyarakat setempat kerap masuk memunguti biji akasia duri, kemiri, madu, daun gebang, dan hasil hutan lainnya. “Secara langsung maupun tidak, aktivitas manusia telah menekan populasi dan perilaku banteng jawa.”

Banyaknya jalur masuk kian mempermudah pemburu membidik banteng dan satwa liar lainnya. Kendati tidak memiliki data yang memadai, Yusuf menegaskan perburuan liar turut mengurangi jumlah banteng. Perburuan liar dilakukan dengan berbagai cara: senjata api, jerat tali baja (sling), dan jebakan racun di sumber air. “Paling banyak memakai jerat sling.”

Parahnya, pemberantasan tanaman invasif akasia duri (Acacia nilotica) membuat campur tangan manusia ke daerah jelajah banteng makin intens. Sekitar 2005, penebangan akasia duri untuk bahan arang tak pelak lagi membuat sebaran banteng berubah. Dampaknya tiada terperi. “Banteng makin susah dijumpai di Bekol, jelajahnya berubah,” tutur Yusuf.

Niat awal penanaman akasia duri sebenar­nya baik: menyekat api agar tidak merambat dari padang ke hutan musim dan sebaliknya. Penanaman sekat bakar terjadi sekitar 1969. Lambat-laun, tak pernah ada yang menyangka, tanaman tangguh ini menyebar dan merenggut padang rumput. Akasia duri telah membentuk blok-blok hutan yang mematikan rumput lamuran yang disukai banteng. Separo dari 10.000 hektare sabana telah dirambah tumbuhan yang bersifat invasif ini.

“Penanaman akasia menunjukkan pe­maham­an yang keliru terhadap mekanisme eko­logis padang rumput. Api adalah alat pemelihara rumput yang baik dan murah. Tanpa api, padang rumput akan menurun produktivitasnya, kecuali dipelihara intensif oleh manusia,” kata Satyawan.

Pemberantasan sudah dilakukan dengan berbagai cara: mekanis dan kimiawi, sejak 1989. “Namun, selama sumber benih tetap ada, akasia duri tetap akan beranak-pinak,” jelas Nanang Dwi Wahono, Pengendali Ekosistem Hutan taman nasional. Selama 1989-2010, Nanang me­­nutur­kan, pemusnahan telah mencakup luasan 2.000 hektare, yang kembali diserang akasia duri.

Tumbuhan asing ini telah memutar lingkar­an setan di Baluran. Mamalia besar telah ber­adaptasi memakan polong akasia yang bernutrisi tinggi, lalu menyebarkan biji-bijinya ke segala penjuru melalui kotoran. Masyarakat juga me­munguti biji-biji akasia—disebut arabica—untuk bahan kecambah dan campuran kopi. Di satu sisi menghambat berkembangnya akasia duri; di sisi lain, masuknya manusia makin mem­buat gaduh taman nasional.

Lantaran itulah, saat ini, usai pohon di­musnah­kan, bibit-bibit baru dicabuti satu-satu. Teknik ini diberlakukan di padang rumput Bekol, sekaligus untuk memulihkan habitat banteng. Tetapi, itu juga bukan berarti persoalan rampung. “Setelah akasia duri di­tebang dan dibuldoser, yang tumbuh adalah rumput pioner, bukan lamuran,” ungkap Nanang.

Rumput lamuran, seperti Heteropogon contortus, Dichantium caricosum, Politrias amaura, dan Themeda triandra adalah kesukaan banteng. Yang banyak tumbuh justru rumput rayapan (Brachiaria reptans) serta berbagai jenis gulma seperti kapasan (Thespesia lampas) ataupun otok-otok (Flemingea lanneata). “Untuk mengembalikan rumput lamuran di Bekol, dilakukan pengayaan dengan mengambil benih dari Bitakol dan Alasmalang.”

Tumpukan penyebab itu membuat perilaku banteng berubah: penyendiri dan sensitif. “Me­nyusutnya banteng Baluran sekaligus ancaman bagi keragaman genetik banteng Indonesia,” Satyawan mengingatkan. Taman Nasional Baluran sedang berjuang memulihkan habitat banteng, pemantauan populasi rutin, serta menangkarkan satwa itu secara semi-alami.

 ***

Banteng muda itu berlarian di kandang penangkaran semi-alami. Umurnya baru tiga bulan. “Belum diberi nama. Ia masih dipanggil mister X,” jelas Andi Maryono Efendi, staf Taman Nasional Baluran.

Di kandang seluas 0,8 hektare itu hidup enam banteng jawa. Tiga banteng indukan dengan tiga anak. Satu banteng jantan dewasa bernama Doni; dua betina dewasa: Tina dan Usi. Dari ketiga induk tersebut lahir tiga anak: mister X, Nina, dan Tekat. “Tina punya anak Nina dan mister X, sedangkan anaknya Susi bernama Tekat,” imbuh Andi.

Penangkaran di habitat alami itu adalah upaya Balai Taman Nasional memulihkan populasi. “Hasil pemantauan pada 2013, jumlah­nya 38 individu plus-minus lima,” Yusuf meng­ungkapkan, “kira-kira antara 33-43 banteng.”

Pada 2006, hasil sensus menemukan jumlah banteng di titik terendah: 15 ekor. “Dulu, popu­lasi­nya cukup bagus,” jelas Kepala Balai Taman Nasional Baluran Emy Endah Suwarni. Banteng induk­an tersebut berasal dari Taman Safari Indo­nesia Prigen, Jawa Timur. “Dua betina dan satu jantan,” lanjut Emy, “perkembangannya baik karena berhasil beranak.”

Emy masih berharap ada pejantan liar dari Taman Nasional Baluran untuk dijadikan induk. Namun, upaya itu belum berhasil. Banteng tangkaran kelak akan dilepasliarkan dan bergabung dengan banteng liar.