Mengintip Semesta Pertama

By , Selasa, 23 Desember 2014 | 15:03 WIB

Dahulu, ahli kosmologi, ilmuwan yang mempelajari alam semesta, kerap dibilang “sering keliru tetapi tak pernah ragu.”

Sekarang mereka lebih jarang keliru, tetapi keraguan mereka malah menggunung.

Setelah puluhan tahun melakukan penelitian dengan teleskop, detektor cahaya, dan perangkat komputer baru yang lebih baik, kosmolog sekarang dapat menyatakan dengan cukup yakin bahwa alam semesta lahir 13 miliar 820 juta tahun yang lalu. Kemungkinan besar, awalnya berupa gelembung-ruang yang lebih kecil daripada atom. Untuk pertama kalinya, mereka berhasil memetakan radiasi-latar kosmis—cahaya yang terpancar ketika alam semesta baru berusia 378.000 tahun—dengan akurasi di atas seperseribu.

Tetapi, mereka juga menyimpulkan bahwa semua bintang dan galaksi yang mereka lihat di langit hanyalah lima persen dari alam semesta yang bisa diamati. Sebagian besar yang tidak terlihat terdiri atas 27 persen materi gelap dan 68 persen energi gelap. Keduanya masih merupakan misteri. Materi gelap dianggap berperan besar dalam pembuatan lembaran dan sulur kemilau galaksi yang membentuk struktur skala-besar alam semesta. Tetapi, belum ada yang tahu apa sebenarnya materi gelap itu. Energi gelap lebih misterius lagi.

Istilah itu, yang diciptakan untuk merujuk apa pun yang mempercepat laju penggelembungan alam semesta, disebut sebagai “label umum untuk apa pun yang tidak kita ketahui tentang sifat skala-besar alam semesta kita.”

Akibatnya, para kosmolog zaman sekarang seperti meraba dalam gelap, mirip yang dirasa­kan Thomas Jefferson pada 1804, ketika dia me­merintahkan Lewis dan Clark untuk mencari mamut. Jefferson dan orang se­zamannya tahu, bahwa Amerika Utara dari Sungai Mississippi hingga Samudra Pasifik itu luas dan penting, tetapi mereka hanya punya bayangan samar tentang apa saja isinya.

!break!

Petunjuk pertama tentang keberadaan materi gelap yang ada di mana-mana ini muncul pada 1930-an dari astronom Swiss bernama Fritz Zwicky. Zwicky mengukur kecepatan galaksi di Gugus Coma, 321 juta tahun cahaya dari Bumi, yang mengorbit pusat gugus galaksi tersebut. Dia menghitung bahwa jika gugus itu hanya memiliki massa sebesar yang dapat dilihat, galaksi itu tentu telah lama lepas dari gugus tersebut. Karena Gugus Coma telah bertahan selama miliaran tahun, dia menduga “bahwa ada materi gelap di alam semesta dengan densitas yang jauh lebih besar daripada materi yang terlihat.” Penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa galaksi tidak mungkin bisa terbentuk sejak awal, andai tidak ada gravitasi materi gelap yang mengumpulkan materi primordial ketika alam semesta masih berusia muda.

Materi gelap tidak mungkin hanya materi normal yang tidak kita lihat, karena jumlahnya tidak sebesar itu. Memang ada triliunan benda materi normal yang redup di alam semesta—di antaranya lubang hitam, bintang kerdil, awan gas dingin, dan planet pengembara yang terusir dari tempat kelahirannya—tetapi dalam skenario apa pun, jumlah massa semua benda itu tidak pernah lebih dari lima kali lipat massa benda terang. Oleh karena itu, para ilmuwan ber­anggapan bahwa materi gelap pasti tersusun dari bahan yang lebih eksotis. Para teoretikus yang menggeluti fisika kuantum supersimetri mem­bayangkan berbagai macam materi tak teramatkan, satu atau lebih di antaranya mungkin adalah materi gelap.

Namun, hasil eks­perimen yang baru-baru diperoleh di Large Hadron Collider CERN, dekat Jenewa, Swiss, mematahkan beberapa teori supersimetri. Daripada berspekulasi tentang identitas materi gelap yang pasti, kebanyakan ilmuwan yang mencarinya hanya mengatakan bahwa mereka sedang mencari WIMP (partikel masif berinteraksi lemah).

Bukti betapa lemahnya interaksi materi gelap, bukan hanya dengan materi normal melainkan juga dengan sesamanya, ditemukan tiga miliar tahun cahaya dari Bumi, di Gugus Bullet—yang sebenarnya adalah dua gugus galaksi yang sedang bertabrakan. Para astronom yang memetakan Bullet dengan bantuan Observatorium Sinar-X Chandra milik NASA menemukan gumpalan besar gas panas di pusatnya, yang mereka duga disebabkan oleh tabrakan awan materi normal. Tetapi, ketika para astronom memetakan medan gravitasi Bullet, mereka menemukan tambahan dua konsentrasi massa yang besar, satu pada setiap gugus asli, jauh dari pusat tabrakan. Mereka menyimpulkan bahwa meskipun rangka materi normal dari dua gugus itu bertabrakan dan menyatu sedahsyat tabrakan dua kereta amunisi, kargo materi gelapnya yang lebih berat melintasi prahara itu tanpa terlibat ataupun cedera.

Sikap acuh tak acuh dari materi gelap ini menyulitkan para fisikawan eksperimen untuk me­nemu­kannya. Detektor materi gelap yang beroperasi saat ini berteknologi demikian canggih, sehingga menyerupai telur hias Fabergé yang mewah.

Salah satunya, Spektrometer Magnetis Alfa senilai lebih dari dua puluh triliun rupiah, yang berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dan mencari bukti partikel materi gelap yang bertabrakan di dekat pusat galaksi kita. Namun, sebagian besar detektor mencari interaksi antara partikel materi gelap dan materi normal di Bumi. Semua detektor tersebut terkubur jauh di bawah tanah, untuk meminimalkan gangguan dari partikel materi normal kecepatan tinggi yang datang dari angkasa. Sebagian terdiri atas sekumpulan kristal superdingin, atau tangki argon, atau xenon cair yang dibungkus detektor dan lapisan tipis bahan perisai, mulai dari polietilena hingga tembaga atau timbel.

Detektor Large Underground Xenon milik Amerika, yang paling sensitif di kelasnya, terletak di Lead, South Dakota. Detektor ini mulai beroperasi pada 2013, tetapi belum meng­hasilkan apa-apa; saat ini pencarian dilanjutkan dengan sensitivitas yang lebih tinggi. Pencarian lainnya menghasilkan petunjuk samar, tetapi tidak ada yang menemukan bukti definitif keberadaan materi gelap. Large Hadron Collider, yang dijadwalkan untuk kembali beroperasi pada 2015 setelah ditutup untuk pemeliharaan dan penyempurnaan, mungkin dapat mencapai tingkat energi yang cukup tinggi untuk mem­buat beberapa partikel materi gelap.