Cedera Otak nan Tak Berjejak

By , Kamis, 22 Januari 2015 | 12:22 WIB

Needham adalah pakar paling terkemuka dalam bidang berbahaya seperti bahan peledak. Dengan gelar dalam fisika dan astrofisika, ia pakar dalam bidang pemodelan berbagai kejadian ledakan dan dinamika pantulan ledakan. Penelitian Needham bertujuan untuk memberi para breacher peta yang dapat me­nunjukkan bagian mana dari bangunan jenis tertentu yang paling aman dari pantulan.

Cara ledakan memantul tidak hanya ditentu­kan oleh apakah ruangan berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang, langit-langitnya tinggi atau rendah, tetapi juga oleh lokasi balok dinding, jumlah dan penempatan pintu dan jendela, apakah ada celah atau lubang di dalam ruang tertutup, apakah ada perabotan di dalam ruangan. Gelombang hentakan yang memantul dari permukaan kaku bisa lebih kuat daripada gelombang aslinya. (Sudah diketahui banyak orang bahwa ledakan-balik yang memantul dari tanah di Hiroshima lebih kuat daripada ledakan yang sebenarnya.) Bahkan, ledakan juga bisa memantul dari dalam helm tentara ke kepala pemakainya. Setiap benda yang berada di sekitarnya, setiap gerakan yang dilakukan orang, mengubah arah pantulan ledakan.

Penelitian pertama pada 2008 tentang cedera breacher menyatakan “bukti yang terang-benderang”, yang merekomendasikan bahwa jarak aman antara tentara dan ledakan perlu direvisi. “Kami menemukan kesalahan melebihi dua faktor dalam beberapa dari manual pelatihan itu,” kata Needham, yang mengacu ke instruksi bagi para breacher: Akibatnya, manual dimodifikasi pada 2012.

!break!

Ketertarikan besar pada efek ledakan dimulai pada Perang Dunia I, ketika penyebab utama cedera adalah—seperti dalam perang di Irak dan Afganistan—kekuatan ledakan, pada umumnya berupa serpihan amunisi yang meledak dan mencederai prajurit. Istilah “shell shock” (guncangan akibat serpihan senjata) pertama kali muncul pada Februari 1915 dalam sebuah artikel di jurnal kedokteran Lancet yang meneliti studi kasus tiga tentara Inggris yang terkena ledakan; mereka mengeluh sulit tidur, bidang penglihatan menyempit, dan hilangnya indera rasa, pendengaran, dan memori. Awalnya penderitaan mereka diyakini sebagai “gangguan guncangan” (commotional disorder), yang mengacu pada guncangan otak yang disebabkan oleh gelombang hentakan ledakan. Sebuah teori terkenal mengemukakan bahwa gelombang hentakan merambat ke otak melalui cairan tulang belakang.

Namun, saat perang terus berlanjut, kondisi ini diduga disebabkan oleh kelemahan mental, mengingat banyak juga prajurit yang tampaknya tidak mengalami cedera. Istilah shell shock, yang menyiratkan bahwa serpihan senjata yang meledak sendiri adalah penyebab cedera, menjadi tidak diyakini lagi kebenarannya. Koreksi diagnosis ini menimbulkan konsekuensi besar. Dalam beberapa dekade berikutnya, prajurit yang mengalami shell shock menjadi lambang cedera emosional yang merupakan konsekuensi perang yang mengerikan. Penelitian medis pun tidak lagi menyelidiki kemungkinan bahwa cedera akibat kekuatan ledakan mungkin hanya menyerang fisik.

Prajurit yang mengalami shell shock dalam perang itu dapat dilacak melalui arsip British Ministry of Pension yang mencatat pengalaman mereka pada tahun 1920-an, ’30-an, ’40-an, dan seterusnya. Laporan perorangan itu memuat keterangan terperinci tentang para veteran yang mengalami keletihan atau kepiluan, sering kebingungan, gemetar seperti kejang-kejang di sudut jalan, atau menjadi galak serta dilanda angkara murka dan menjadi ganas. Berbagai laporan ini merupakan data terbaik yang tersedia tentang nasib para veteran perang yang mengalami shell shock dalam jangka panjang.

Setelah Perang Dunia II, pada 1951, Komisi Energi Atom AS menciptakan Program Biologi Ledakan untuk menguji ledakan sangat besar pada beragam hewan, meniru efek ledakan nuklir. Pada awal 1980-an, fokus penelitian bergeser dari ledakan nuklir ke ciri khas bahan peledak berdaya ledak kecil yang digunakan dalam perang masa kini.

 !break!

“Sebagian besar penelitian medis kami tentang cedera akibat-ledakan meliputi luka yang disebabkan oleh terjangan serpihan senjata atau apa yang terjadi pada organ tubuh yang berisi gas—semua peneliti selalu mengkhawatirkan akibat-ledakan termonuklir pada paru dan sistem pencernaan,” ujar Kevin “Kit” Parker, guru besar di Harvard. “Para peneliti benar-benar mengabaikan kajian otak. Sekarang, pihak musuh sudah berhasil me­ngembangkan sistem persenjataan yang mem­bidik titik lemah kami, yakni mencederai otak.”

Parker, mantan perwira Angkatan Darat AS, pernah dua kali bertugas di Afganistan Di sana ia menyaksikan dan merasakan efek kekuatan ledakan. “Ada kilatan di langit, dan saya berbalik mengarahkan pandangan ke pegunungan tempat berlangsungnya pertempuran,” kata Parker, mengingat suatu hari pada Januari 2003 ketika, di perbukitan Kandahar, gelombang kejut dari ledakan yang lokasinya  jauh me­nerobos tubuhnya. “Rasanya seakan-akan ge­lombang itu melambungkan isi perut saya dan mengembalikannya lagi ke tempatnya semula.”

Ia menjadi sadar tentang berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan. “Ketika ledakan bom sudah berlalu, lebih mudah melupakan orang yang pemarah daripada melupakan orang yang duduk di dekatnya yang kedua kakinya diamputasi karena terkena ledakan,” kata Parker. “Padahal, orang yang akan memiliki masalah jangka panjang yang lebih serius mungkin justru orang yang otaknya cedera.”

Pada 2005 Parker mengalihkan perhatiannya ke trauma saraf akibat-ledakan. Dia mulai dengan menelaah ilmu tentang sejenis protein—integrin—yang mengirimkan kekuatan mekanis ke dalam sel. Ia meledakkan jaringan buatan neuron (sel saraf) tikus. Integrin pada permukaan sel memulai urutan efek yang berpuncak pada pemendekan akson secara dramatis, yakni untai panjang yang berfungsi sebagai mekanisme neuron dalam meneruskan pesan ke otak.