Di dalam bungker, saya menunggu bersama tim penjinak bahan peledak, dengan jari menutup lubang telinga rapat-rapat. Di luar, bom nomor 52, dengan kabel pemicu bergaris kuning dan hijau sepanjang enam meter, dengan aman direkatkan ke dinding bangunan kayu-lapis beruang satu yang memiliki pintu darurat dari baja. Setelah dilakukan hitung mundur dari lima, terdengar suara “boom” seperti suara bass, dan hentakan ringan di tengah dada saya. Hentakan itu ciri khas ledakan yang terasa pada orang yang berada di dekat sumber ledakan. “Anda tentu merasakan hentakan itu,” kata salah satu anggota tim. “Saya pernah berada di suatu tempat yang jaraknya seratus atau bahkan ribuan meter dari sumber ledakan, tetapi tetap saja masih bisa merasakan hentakan itu.”
Misteri tentang apa akibat hentakan itu mengantarkan saya ke kawasan pengeboman sekitar 65 kilometer di tenggara Denver. Ini adalah tempat untuk mengkaji bahan peledak terkendali yang digunakan tentara untuk meledakkan lubang melalui dinding dan pintu di area tempur—praktik standar dalam perang modern. Tujuan berbagai kajian ini adalah untuk menemukan apa akibat hentakan ledakan itu pada otak manusia.
Antara 2001 dan 2014, sekitar 230.000 tentara dan veteran diketahui menderita cedera otak traumatis (TBI) ringan, sebagian besar akibat mengalami ledakan. Berbagai kondisi itu—sakit kepala, kejang, gangguan motorik, gangguan tidur, pusing, gangguan penglihatan, telinga berdenging, perubahan suasana hati, serta kesulitan kognitif, memori, dan bicara—menjadi fakta bahwa semuanya menyerupai gejala gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan fakta bahwa terkena ledakan sering tidak dicatat pada tahun-tahun awal pengerahan pasukan di Afganistan dan Irak, dan menyulitkan upaya untuk menentukan jumlah korban secara tepat.
Meskipun kondisi itu lazim dialami, pertanyaan paling mendasar tentang hal itu masih belum terjawab. Belum ada cara diagnosis yang aman. Cara untuk mencegahnya pun belum diketahui, dan belum ada pula cara penanggulangannya. Namun, yang terpenting, belum ada konsensus tentang sifat cedera akibat ledakan itu, atau bagaimana mekanisme kekuatan ledakan itu mencederai otak.
!break!BOOM: Di lapangan, ledakan tunggal merupakan pencampuran berbagai komponen yang boleh dikatakan terjadi seketika, masing-masing merusak dengan cara yang berbeda. Penyulutan ledakan dalam sekejap menyebarkan beraneka gas yang mendorong gelembung bola gas dan udara keluar dengan kecepatan lebih pesat daripada kecepatan suara. Gelombang hantaman ini menelan semua benda yang diterjangnya dengan tekanan statis yang terkungkung. Selama tahapan yang sangat cepat ini—efek ledakan awal—orang yang berada di dekat ledakan itu tidak bergerak. Kemudian, terjadi penurunan tekanan secara mendadak, menciptakan ruang hampa. Selanjutnya, terjadi efek ledakan sekunder, embusan angin yang sangat kencang membanjiri ruang hampa itu, melontarkan dan mencerai-beraikan benda yang terkena terjangannya, mengubah puing-puing itu menjadi serpihan senjata berkecepatan tinggi, proyektil yang sanggup menembus apa pun. Angin itu sendiri menyebabkan efek ledakan tersier, melambungkan manusia atau bahkan melontarkan kendaran lapis baja seberat 13 ton ke udara, membantingnya ke dinding, bebatuan, tepi jalan berdebu. Efek ledakan kuaterner menimbulkan bencana lain—api yang membakar, bahan kimia yang menghanguskan, debu yang membuat orang sesak napas.
Penyebab cedera otak adalah efek ledakan awal. Berbagai teori dikemukakan: Apakah masuknya gelombang hentakan ke otak melalui lubang di tengkorak—mata, hidung, telinga, mulut—yang menyebabkan cedera? Jika demikian, bagaimana caranya? Atau apakah tekanan guncangan eksternal pada dada merambat dalam pembuluh darah dan sampai ke otak? Apakah transmisi aktivitas gelombang yang berputar-putar melalui tengkorak ke dalam otak yang semicair menyebabkan sumbatan? Apakah tekanan merusak tengkorak, menyebabkan otak seperti diremas? Apakah suara ledakan yang merusak? Kilatan cahaya? Sebagian besar tentara yang didiagnosis mengalami trauma saraf akibat ledakan juga mengalami hal tersebut di atas—terlontar atau terguncang-guncang oleh terjangan angin ledakan. Jadi, apakah trauma saraf yang dialami tentara itu sekadar gegar otak yang unik?
Sejumlah uji coba di Colorado merupakan kelanjutan dari penelitian penting pada 2008 oleh militer terhadap para breachers, prajurit yang bertugas menangani bahan peledak dan yang selama bertahun-tahun telah dilaporkan sering sekali mengalami gejala neurologis. Penelitian itu mengikuti para instruktur dan siswa selama kursus pelatihan bahan peledak yang berlangsung selama dua minggu. Ternyata, selama berhari-hari setelah ledakan besar, para breachers melaporkan nyeri di dada dan punggung, serta sakit kepala.
Yang lebih penting lagi, uji perilaku untuk menentukan kesehatan saraf—yang berlangsung sebelum dan setelah kursus menunjukkan “ada sedikit indikasi menurunnya kinerja para instruktur” yang biasanya lebih sering terpapar pada ledakan daripada siswa. Hal ini menunjukkan bahwa paparan berulang bahkan pada ledakan ringan pun—sekalipun hanya selama dua pekan—dapat menimbulkan cedera.
!break!Sebelumnya, di kalangan militer dan medis, banyak yang sulit untuk percaya bahwa ledakan energi ringan dapat menimbulkan cedera yang begitu parah. “Yang kami ketahui belum lama ini adalah sindrom Perang Teluk, yang meskipun banyak kajian dilakukan untuk menemukan penyebabnya, boleh dikatakan kami tidak berhasil menemukan penyebab yang spesifik,” demikian kata Kolonel Christian Makedonia, mantan penasihat ketua Kepala Staf Gabungan bidang kedokteran. “Ada perdebatan sengit di Pentagon, yang mungkin sekarang terdengar ganjil, yakni apakah TBI akibat ledakan memang benar-benar ada.”
Dalam makalah yang diterbitkan pada 2008, para peneliti menyimpulkan bahwa gejala yang dialami para prajurit itu terkait erat dengan PTSD dan bahwa “keprihatinan teoretis” tentang efek neurologis keterpaparan pada ledakan itu pada dasarnya tidak beralasan.
Namun, kini sejumlah peneliti mendukung teori yang berbeda: bahwa TBI ringan dapat meningkatkan kerentanan terhadap gangguan psikologis tertentu, mungkin yang menyebabkan tingginya jumlah penderita gangguan tersebut dan bahkan jumlah korban bunuh diri di kalangan veteran. Banyak ahli saraf sekarang menginginkan terminologi yang lebih tepat untuk cedera ini, seperti “trauma saraf akibat ledakan”—dan semua ahli saraf yang saya wawancarai keberatan dengan istilah “ringan.”
!break!Di dalam bungker, kami menunggu asap menipis, kemudian melangkah ke udara luar yang masih terasa panas. Pintu gedung terlempar oleh ledakan, dinding di seberang hancur berkeping-keping, dan sebagian besar kerangka menjadi miring. Pengukur tekanan di ketinggian kepala dan dada mencatat ledakan-balik saat memantul dari sudut dan dinding.
Tembakan 52 adalah salah satu dari rangkaian tembakan yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang fenomena ledakan-balik, pantulan tekanan ledakan dari sebuah permukaan. Penelitian lain mengkaji panjang paparan ledakan serta frekuensi dan jenis ledakan. Di lokasi penelitian, analisis dipimpin oleh Charles Needham, pakar kelas dunia dalam hal sifat fisika ledakan. Sambil mempelajari grafik yang dihasilkan komputer, ia menelusuri puncak dan lembah tekanan yang berosilasi melalui lima siklus sebelum kemudian mendatar. Seluruh urutan berlangsung sekitar 65 milidetik. Seratus milidetik adalah waktu minimum yang diperlukan manusia untuk bereaksi terhadap stimulus apa pun—gelombang hentakan hanya memerlukan kurang dari lima milidetik untuk menghantam dua alat pengukur di dinding. Sebagaimana yang ditunjukkan Needham, “Di mana pun lokasi Anda di dalam ruangan itu, hantaman itu pasti mengenai Anda.”
Needham adalah pakar paling terkemuka dalam bidang berbahaya seperti bahan peledak. Dengan gelar dalam fisika dan astrofisika, ia pakar dalam bidang pemodelan berbagai kejadian ledakan dan dinamika pantulan ledakan. Penelitian Needham bertujuan untuk memberi para breacher peta yang dapat menunjukkan bagian mana dari bangunan jenis tertentu yang paling aman dari pantulan.
Cara ledakan memantul tidak hanya ditentukan oleh apakah ruangan berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang, langit-langitnya tinggi atau rendah, tetapi juga oleh lokasi balok dinding, jumlah dan penempatan pintu dan jendela, apakah ada celah atau lubang di dalam ruang tertutup, apakah ada perabotan di dalam ruangan. Gelombang hentakan yang memantul dari permukaan kaku bisa lebih kuat daripada gelombang aslinya. (Sudah diketahui banyak orang bahwa ledakan-balik yang memantul dari tanah di Hiroshima lebih kuat daripada ledakan yang sebenarnya.) Bahkan, ledakan juga bisa memantul dari dalam helm tentara ke kepala pemakainya. Setiap benda yang berada di sekitarnya, setiap gerakan yang dilakukan orang, mengubah arah pantulan ledakan.
Penelitian pertama pada 2008 tentang cedera breacher menyatakan “bukti yang terang-benderang”, yang merekomendasikan bahwa jarak aman antara tentara dan ledakan perlu direvisi. “Kami menemukan kesalahan melebihi dua faktor dalam beberapa dari manual pelatihan itu,” kata Needham, yang mengacu ke instruksi bagi para breacher: Akibatnya, manual dimodifikasi pada 2012.
!break!Ketertarikan besar pada efek ledakan dimulai pada Perang Dunia I, ketika penyebab utama cedera adalah—seperti dalam perang di Irak dan Afganistan—kekuatan ledakan, pada umumnya berupa serpihan amunisi yang meledak dan mencederai prajurit. Istilah “shell shock” (guncangan akibat serpihan senjata) pertama kali muncul pada Februari 1915 dalam sebuah artikel di jurnal kedokteran Lancet yang meneliti studi kasus tiga tentara Inggris yang terkena ledakan; mereka mengeluh sulit tidur, bidang penglihatan menyempit, dan hilangnya indera rasa, pendengaran, dan memori. Awalnya penderitaan mereka diyakini sebagai “gangguan guncangan” (commotional disorder), yang mengacu pada guncangan otak yang disebabkan oleh gelombang hentakan ledakan. Sebuah teori terkenal mengemukakan bahwa gelombang hentakan merambat ke otak melalui cairan tulang belakang.
Namun, saat perang terus berlanjut, kondisi ini diduga disebabkan oleh kelemahan mental, mengingat banyak juga prajurit yang tampaknya tidak mengalami cedera. Istilah shell shock, yang menyiratkan bahwa serpihan senjata yang meledak sendiri adalah penyebab cedera, menjadi tidak diyakini lagi kebenarannya. Koreksi diagnosis ini menimbulkan konsekuensi besar. Dalam beberapa dekade berikutnya, prajurit yang mengalami shell shock menjadi lambang cedera emosional yang merupakan konsekuensi perang yang mengerikan. Penelitian medis pun tidak lagi menyelidiki kemungkinan bahwa cedera akibat kekuatan ledakan mungkin hanya menyerang fisik.
Prajurit yang mengalami shell shock dalam perang itu dapat dilacak melalui arsip British Ministry of Pension yang mencatat pengalaman mereka pada tahun 1920-an, ’30-an, ’40-an, dan seterusnya. Laporan perorangan itu memuat keterangan terperinci tentang para veteran yang mengalami keletihan atau kepiluan, sering kebingungan, gemetar seperti kejang-kejang di sudut jalan, atau menjadi galak serta dilanda angkara murka dan menjadi ganas. Berbagai laporan ini merupakan data terbaik yang tersedia tentang nasib para veteran perang yang mengalami shell shock dalam jangka panjang.
Setelah Perang Dunia II, pada 1951, Komisi Energi Atom AS menciptakan Program Biologi Ledakan untuk menguji ledakan sangat besar pada beragam hewan, meniru efek ledakan nuklir. Pada awal 1980-an, fokus penelitian bergeser dari ledakan nuklir ke ciri khas bahan peledak berdaya ledak kecil yang digunakan dalam perang masa kini.
!break!
“Sebagian besar penelitian medis kami tentang cedera akibat-ledakan meliputi luka yang disebabkan oleh terjangan serpihan senjata atau apa yang terjadi pada organ tubuh yang berisi gas—semua peneliti selalu mengkhawatirkan akibat-ledakan termonuklir pada paru dan sistem pencernaan,” ujar Kevin “Kit” Parker, guru besar di Harvard. “Para peneliti benar-benar mengabaikan kajian otak. Sekarang, pihak musuh sudah berhasil mengembangkan sistem persenjataan yang membidik titik lemah kami, yakni mencederai otak.”
Parker, mantan perwira Angkatan Darat AS, pernah dua kali bertugas di Afganistan Di sana ia menyaksikan dan merasakan efek kekuatan ledakan. “Ada kilatan di langit, dan saya berbalik mengarahkan pandangan ke pegunungan tempat berlangsungnya pertempuran,” kata Parker, mengingat suatu hari pada Januari 2003 ketika, di perbukitan Kandahar, gelombang kejut dari ledakan yang lokasinya jauh menerobos tubuhnya. “Rasanya seakan-akan gelombang itu melambungkan isi perut saya dan mengembalikannya lagi ke tempatnya semula.”
Ia menjadi sadar tentang berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan. “Ketika ledakan bom sudah berlalu, lebih mudah melupakan orang yang pemarah daripada melupakan orang yang duduk di dekatnya yang kedua kakinya diamputasi karena terkena ledakan,” kata Parker. “Padahal, orang yang akan memiliki masalah jangka panjang yang lebih serius mungkin justru orang yang otaknya cedera.”
Pada 2005 Parker mengalihkan perhatiannya ke trauma saraf akibat-ledakan. Dia mulai dengan menelaah ilmu tentang sejenis protein—integrin—yang mengirimkan kekuatan mekanis ke dalam sel. Ia meledakkan jaringan buatan neuron (sel saraf) tikus. Integrin pada permukaan sel memulai urutan efek yang berpuncak pada pemendekan akson secara dramatis, yakni untai panjang yang berfungsi sebagai mekanisme neuron dalam meneruskan pesan ke otak.
!break!
Deretan teori yang dikaji secara aktif oleh para ahli saraf merupakan bukti kuat tentang betapa sedikitnya yang sudah diketahui mengenai trauma saraf akibat-ledakan sehingga penelitian tentang hal itu pun terbuka lebar. Lee Goldstein, dari Boston University School of Medicine, menggunakan pendekatan yang sangat berbeda. “Orang berfokus pada gelombang tekanan,” kata Goldstein. “Yang ada di baliknya adalah angin.” Berbagai keahlian Goldstein terlihat dari jabatan lengkapnya: profesor psikiatri, neurologi, oftalmologi, patologi dan obat-obatan laboratorium, serta teknik biomedis, komputer, dan teknik listrik.
Pada Mei 2012 ia menerbitkan hasil beberapa penelitian yang mengkaji kemungkinan hubungan antara trauma saraf akibat-ledakan dan ensefalopati traumatik kronis (CTE), yakni penyakit degenerasi saraf yang ditemukan olehnya bersama timnya ketika melakukan autopsi otak empat veteran militer yang terkena ledakan. CTE dikaitkan dengan atlet yang mengalami gegar otak berulang kali. CTE adalah penyakit degenerasi saraf yang tak tersembuhkan dan akhirnya berakibat fatal, yang menyebabkan cacat kognitif dan demensia. Penyakit ini dapat dideteksi hanya pada autopsi dan diungkapkan oleh jalinan abnormal protein yang disebut ‘tau’.
Untuk menguji teori bahwa keterpaparan pada ledakan mungkin memicu gejala CTE, tim Goldstein memaparkan mencit pada ledakan tabung-kejut tunggal yang mensimulasi efek peledak berukuran sedang. Saat kepala mencit berayun-ayun ke depan dan ke belakang sebagai reaksi terhadap gaya, pada 30 milidetik, angin osilasi melonjak dan menukik sembilan kali. “Dalam satu ledakan, kita benar-benar terkena beberapa kali hantaman,” kata Goldstein. “Jadi, seperti memadatkan beberapa hantaman dalam waktu yang sangat singkat.”
Dua minggu setelah terpapar pada ledakan, otak mencit menunjukkan akumulasi protein tau yang berubah secara kimiawi dan kerusakan lainnya. Namun, para pengecam penelitian itu mengemukakan bahwa tiga dari empat kasus veteran yang mengilhami percobaan tabung-kejut mengalami trauma tambahan yang tidak terkait dengan ledakan dan bahwa pengujian pada model peraga menunjukkan bahwa efek kepala-berayun tidak lazim terjadi pada tubuh manusia. Beberapa peneliti berpendapat justru salah jika hanya berfokus pada kepala.
“Seluruh tubuh terkena energi kinetik yang sangat besar,” ujar Ibolja Cernak, yang menjelaskan dampak ledakan. “Atlet ‘kan tidak seluruh tubuhnya terpapar.” Cernak memulai penelitiannya di medan perang Kosovo.
Gelombang tekanan ledakan menghantam dada dan perut “seperti tinju raksasa,” kata Cernak, mengalihkan energi kinetik ke tubuh. “Energi kinetik itu menghasilkan gelombang tekanan berosilasi dalam darah, yang berfungsi sebagai media yang sempurna untuk kemudian mengalihkan energi kinetik ke semua organ, termasuk otak.”
Sejumlah percobaan yang dilakukannya pada mencit menunjukkan bahwa inflamasi terjadi di otak, baik kepala telah dilindungi dari ledakan ataupun tidak—yakni inflamasi yang menurutnya memulai proses kerusakan yang sebanding dengan yang terlihat pada penyakit Alzheimer. Sebaliknya, perlindungan dada secara signifikan mengurangi inflamasi di otak, dan ini menyiratkan bahwa interaksi ledakan-tubuh berperan penting dalam cedera otak akibat-ledakan.
!break!
Saat ini, satu-satunya metode yang sepenuhnya dapat diandalkan untuk langsung menguji efek biologis kekuatan ledakan pada otak manusia adalah autopsi. Pada 2013, Departemen Pertahanan membentuk repositori jaringan otak untuk menggalakkan kajian trauma otak akibat-ledakan pada tentara.
Dengan dipimpin oleh Daniel Perl, guru besar patologi, repositori itu menerima otak yang disumbangkan oleh keluarga para tentara. Hal ini menyebabkan para peneliti, ujar Perl, dapat melakukan penelitian hingga “ke tingkat jaringan untuk benar-benar melihat apa yang terjadi.” Kini, 18 bulan setelah memulai penelitian jaringan otak, Perl mengatakan bahwa hasilnya sarat informasi. “Kami yakin tidak lama lagi akan dapat mengidentifikasi perubahan unik dalam otak tentara yang mengalami ledakan, yang tidak terlihat dalam cedera otak warga sipil,” katanya. Ia mengacu ke trauma umum seperti yang dialami atlet. “Yang kami lihat tampaknya unik untuk ledakan saja. Sepertinya hanya dialami tentara.”
Jika ia benar, temuan itu akan berimplikasi besar, bukan saja dalam bidang pengobatan, melainkan juga untuk diagnosis dan pencegahan. “Tampaknya kita harus duduk bersama para perancang helm dan perisai tubuh,” ujarnya. “Banyak desain yang dibuat berdasarkan asumsi yang sangat berbeda.”
Sementara itu, bagi tentara yang tetap hidup, metode diagnosis yang dapat diandalkan masih belum tersedia. Pada Juni 2011, New England Journal of Medicine menerbitkan hasil penelitian yang untuk pertama kalinya berhasil mendeteksi kelainan struktural pada otak tentara yang terkena ledakan dengan menggunakan MRI tingkat lanjut. Meskipun dipuji sebagai penelitian sangat bermakna dalam bedah editorial, tulisan itu memiliki kelemahan karena setiap peserta dalam penelitian itu juga mengalami trauma lain, seperti pernah dipukul oleh benda tumpul atau mengalami kecelakaan kendaraan bermotor.
Sejumlah penelitian yang menyelidiki beberapa biomarker mungkin menghasilkan temuan yang dapat membantu diagnosis di masa mendatang: Contohnya, sebuah uji darah untuk penanda protein unik yang dapat menandakan ada kerusakan sel otak telah terbukti menjanjikan, dan sekarang sedang diuji oleh kalangan militer. (Uji darah ini efektif hanya jika dilakukan dalam waktu beberapa hari setelah cedera.) Pada 2014, sebuah penelitian kecil terhadap 52 orang veteran berhasil menggunakan teknik MRI yang meneliti tingkat myelin, komponen utama dari materi-putih otak; Bukti kerusakan materi-putih otak terdeteksi pada 34 veteran yang pernah mengalami satu atau lebih ledakan, dibandingkan dengan 18 veteran yang tidak pernah mengalaminya.
“Kami mengatakan kepada para veteran itu untuk memberikan perkiraan terbaik mereka tentang berapa banyak cedera otak traumatis ringan akibat-ledakan yang mereka alami selama bertugas sebagai tentara,” kata Eric Petrie, guru besar psikiatri dan penulis utama penelitian itu. “Namun, seberapa akurat para veteran itu dapat mengingat berbagai kejadian itu? Beberapa di antara peserta penelitian itu mengalami ledakan terakhir lima hingga enam tahun sebelumnya, “katanya.
Di masa mendatang, bahan kristal fotonik yang berubah warna bila terkena gelombang ledakan, yang dipakai sebagai stiker pada seragam dan helm, dapat memberikan angka yang objektif mengenai paparan pada ledakan.
Meskipun ada berbagai strategi yang menjanjikan, untuk sementara diagnosis masih tergantung pada, seperti yang terjadi dalam Perang Dunia I, penilaian klinis, yang sekarang mungkin melibatkan pemeriksaan dengan komputer. “Apakah Anda mengalami salah satu dari hal berikut: linglung, bingung, mata berkunang-kunang? Seberapa tepatkah kata ini menggambarkan perasaan Anda? ‘Gemetar.’”
!break!
Meskipun sangat rumit, ledakan dapat dilakukan dengan biaya rendah dan tanpa keahlian khusus. Penembus bentukan ledakan, yakni sejenis IED yang digunakan untuk menusuk kendaraan lapis baja, dapat dirakit dengan biaya beberapa puluh ribu rupiah saja. Cakram yang berubah bentuk menjadi peluru dan panas sekali saat terbang di udara, proyektil yang dapat meledak ini bisa, menurut seorang pakar persenjataan, membelah mobil lapis baja “seperti pisau membelah mentega panas.” Dengan cara ini, teknologi seharga Rp300.000 dapat menghancurkan kendaraan lapis baja juta berharga Rp12 miliar dan menewaskan atau menimbulkan cedera pedih pada para tentara yang berada di dalamnya. Biaya perawatan medis mereka—mungkin selama beberapa dekade—tentu memperbesar perbedaan selisih harga tersebut. Mengingat efektivitas biaya ini, kekuatan ledakan cenderung akan tetap menjadi senjata paling lazim dalam perang modern.
Dewasa ini, sementara para peneliti berusaha mencari tahu apa yang terjadi di saat kekuatan ledakan menghantam otak manusia, tidak terhitung jumlah tentara yang berjuang mengatasi akibat pengalaman tersebut.
!break!
BOOM. Ketika sedang berpatroli di Irak pada 2009, Robert Anetz merasakan tekanan besar menghantam tubuhnya. Kemudian, semuanya mati rasa. “Semua orang mulai berteriak, ‘Kamu tidak apa-apa? Kamu tidak apa-apa? “Saya memeriksa apakah ada luka,” kata Anetz. Tidak ada darah, jadi ia mengira dirinya tidak apa-apa.
Namun, tujuh bulan setelah pulang dari Irak, ia mengalami kejang-kejang saat mengemudi, dan kejang grand mal (kontraksi otot yang hebat) enam bulan setelah itu. Sekarang Anetz menata kembali hidupnya sebagai mahasiswa dan sukarelawan pemadam kebakaran. Pengobatan berat yang mengharuskannya minum 15 macam obat sudah berkurang menjadi hanya tiga macam saja. Tetapi, sakit kepala dan migrain masih sering dialaminya.
Enrique Trevino, yang pada usia 21 selamat dari sergapan IED besar-besaran di Afganistan pada di suatu malam, dua minggu sebelum pulang ke Amerika, hanya ingat ada kilatan yang sangat terang, lalu teman-temannya menyerukan namanya. “Saya tidak akan pernah melupakan kilatan terang itu,” katanya. “Mirip sambaran petir.” Ketika akhirnya terbangun di Texas, ia baru tahu bahwa ledakan yang menghancurkan kacamata pelindungnya untuk dapat melihat di waktu malam juga membuatnya tidak dapat bicara, dan membuatnya tidak dapat melihat ke samping. Saat ini, ia sedang berusaha melatih kembali otaknya dengan tugas mental seperti menghitung mundur dari 50. Tetapi, setiap hari ia masih mengalami migrain dan bermimpi buruk saban malam.
Sekitar setahun setelah ia pulang, Trevino mengatakan, “saya mengalami gangguan saraf parah.” Ia selamat dari usaha bunuh diri. Seorang temannya yang juga pernah bertugas di Afganistan tidak tertolong, dan tewas karena bunuh diri. “Jenazahnya ditemukan di rumahnya,” kata Trevino. “Dia, dia—tak seorang pun mengira—tak seorang pun akan pernah mengira—tak seorang pun pernah, tidak ada, tidak ada, tidak ada yang mengira bahwa dia…. Tidak ada yang mengira...”
Dan, tidak ada yang mengira kejadian serupa akan menimpa kakak ipar saya, Ron Haskins. Darinya saya pertama kali mengetahui tentang breacher. Setelah pensiun dari Pasukan Khusus Angkatan Darat, ia bekerja di perusahaan pasukan keamanan swasta di Irak. Ia selamat dari dua serangan IED yang membuatnya sering sakit kepala dan telinga mendenging begitu nyaring, yang membuatnya tidak dapat tidur. Setelah kembali ke Amerika Serikat, ia bekerja di Departemen Keamanan Dalam Negeri dan menyelenggarakan kursus pelatihan breacher untuk sebuah perusahaan keamanan milik sendiri. Suatu malam pada musim panas 2011, karena alasan yang tidak dipahami siapa pun, ia mengambil pistol dan mengakhiri hidupnya.
“Kalian harus datang ke New Mexico agar dapat melihat peralatan pelatihan breacher itu, bagaimana meluncurkan ledakan,” kata Ron kepada saya tentang kursus pelatihan yang dipimpinnya. “Kita berada pada jarak satu kilometer, dan pasti tercengang merasakan sendiri betapa benda yang beratnya hanya beberapa kilogram itu dapat mengguncangkan tanah di sekitar kita.”
---
Terjemahan Caroline Alexander atas Iliad karya Homer akan diterbitkan tahun ini oleh Ecco Press. Kontributor Lynn Johnson ditunjuk sebagai salah satu National Geographic Photography Fellows.