Cedera Otak nan Tak Berjejak

By , Kamis, 22 Januari 2015 | 12:22 WIB

 !break!

Deretan teori yang dikaji secara aktif oleh para ahli saraf merupakan bukti kuat tentang betapa sedikitnya yang sudah diketahui mengenai trauma saraf akibat-ledakan sehingga penelitian tentang hal itu pun terbuka lebar. Lee Goldstein, dari Boston University School of Medicine, menggunakan pendekatan yang sangat berbeda. “Orang berfokus pada gelombang tekanan,” kata Goldstein. “Yang ada di baliknya adalah angin.” Berbagai keahlian Goldstein terlihat dari jabatan lengkapnya: profesor psikiatri, neurologi, oftalmologi, patologi dan obat-obatan laboratorium, serta teknik biomedis, komputer, dan teknik listrik.

Pada Mei 2012 ia menerbitkan hasil beberapa penelitian yang mengkaji kemungkinan hubungan antara trauma saraf akibat-ledakan dan ensefalopati traumatik kronis (CTE), yakni penyakit degenerasi saraf yang ditemukan olehnya bersama timnya ketika melakukan autopsi otak empat veteran militer yang terkena ledakan. CTE dikaitkan dengan atlet yang mengalami gegar otak berulang kali. CTE adalah penyakit degenerasi saraf yang tak tersembuhkan dan akhirnya berakibat fatal, yang menyebabkan cacat kognitif dan demensia. Penyakit ini dapat dideteksi hanya pada autopsi dan diungkapkan oleh jalinan abnormal protein yang disebut ‘tau’.

Untuk menguji teori bahwa keterpaparan pada ledakan mungkin memicu gejala CTE, tim Goldstein memaparkan mencit pada ledakan tabung-kejut tunggal yang mensimulasi efek peledak berukuran sedang. Saat kepala mencit berayun-ayun ke depan dan ke belakang sebagai reaksi terhadap gaya, pada 30 milidetik, angin osilasi melonjak dan menukik sembilan kali. “Dalam satu ledakan, kita benar-benar terkena beberapa kali hantaman,” kata Goldstein. “Jadi, seperti memadatkan beberapa hantaman dalam waktu yang sangat singkat.”

Dua minggu setelah terpapar pada ledakan, otak mencit menunjukkan akumulasi protein tau yang berubah secara kimiawi dan kerusakan lainnya. Namun, para pengecam penelitian itu mengemukakan bahwa tiga dari empat kasus veteran yang mengilhami percobaan tabung-kejut mengalami trauma tambahan yang tidak terkait dengan ledakan dan bahwa pengujian pada model peraga menunjukkan bahwa efek kepala-berayun tidak lazim terjadi pada tubuh manusia. Beberapa peneliti berpendapat justru salah jika hanya berfokus pada kepala.

“Seluruh tubuh terkena energi kinetik yang sangat besar,” ujar Ibolja Cernak, yang menjelaskan dampak ledakan. “Atlet ‘kan tidak seluruh tubuhnya terpapar.” Cernak memulai penelitiannya di medan perang Kosovo.

Gelombang tekanan ledakan menghantam dada dan perut “seperti tinju raksasa,” kata Cernak, mengalihkan energi kinetik ke tubuh. “Energi kinetik itu menghasilkan gelombang tekanan berosilasi dalam darah, yang berfungsi sebagai media yang sempurna untuk kemudian mengalihkan energi kinetik ke semua organ, termasuk otak.”

Sejumlah percobaan yang dilakukannya pada mencit menunjukkan bahwa inflamasi terjadi di otak, baik kepala telah dilindungi dari ledakan ataupun tidak—yakni inflamasi yang menurutnya memulai proses kerusakan yang sebanding dengan yang terlihat pada penyakit Alzheimer. Sebaliknya, perlindungan dada secara signifikan mengurangi inflamasi di otak, dan ini menyiratkan bahwa interaksi ledakan-tubuh berperan penting dalam cedera otak akibat-ledakan.

 !break!

Saat ini, satu-satunya metode yang sepenuhnya dapat diandalkan untuk langsung menguji efek biologis kekuatan ledakan pada otak manusia adalah autopsi. Pada 2013, Departemen Per­tahanan membentuk repositori jaringan otak untuk menggalakkan kajian trauma otak akibat-ledakan pada tentara.

Dengan dipimpin oleh Daniel Perl, guru besar patologi, repositori itu menerima otak yang disumbangkan oleh keluarga para tentara. Hal ini menyebabkan para peneliti, ujar Perl, dapat melakukan penelitian hingga “ke tingkat jaringan untuk benar-benar melihat apa yang terjadi.” Kini, 18 bulan setelah memulai penelitian jaringan otak, Perl mengatakan bahwa hasilnya sarat informasi. “Kami yakin tidak lama lagi akan dapat mengidentifikasi perubahan unik dalam otak tentara yang mengalami ledakan, yang tidak terlihat dalam cedera otak warga sipil,” katanya. Ia mengacu ke trauma umum seperti yang dialami atlet. “Yang kami lihat tampaknya unik untuk ledakan saja. Sepertinya hanya dialami tentara.”

Jika ia benar, temuan itu akan berimplikasi besar, bukan saja dalam bidang pengobatan, melainkan juga untuk diagnosis dan pen­cegahan. “Tampaknya kita harus duduk bersama para perancang helm dan perisai tubuh,” ujarnya. “Banyak desain yang dibuat berdasarkan asumsi yang sangat berbeda.”