Kisah Dua Kota

By , Kamis, 26 Februari 2015 | 11:22 WIB
!break!

Jika ditanya, semua tokoh intelektual di kedua kota akan menyampaikan keprihatinan mereka. Tidak ada yang bisa menandingi Berlin dalam mencontohkan ambisi politik berlebihan, tirani, represi, perpecahan, dan kegagalan manusia. Setiap sudut jalannya mengingatkan pada sejarah abad ke-19 dan ke-20.

Di sinilah pusat kekuasaan besar berada. Di sinilah pelajaran, yang tertulis dalam situs-situs geografi kota—di terminal udara besar NAZI yang setengah terbengkalai di Tempelhof, di patung batu penuh bekas tembakan yang dipamerkan di Museum Island, di pecahan Tembok Berlin. Cobalah untuk mendominasi, dan Anda akan menderita; cobalah untuk merusak, dan Anda akan rusak; cobalah untuk menjadi pusat dunia, dan Anda akan mendapati kota Anda terpecah belah.

Wolfgang Thierse, mantan presiden dan wakil presiden parlemen Jerman, dan salah seorang tokoh paling berpengaruh dalam penyatuan kembali kota setelah 1989, berkeras bahwa “penduduk Jerman dan kekuatan modal mereka masih terjerat dalam sejarah, dan belum siap memegang kedudukan penting. Di Berlin, sejarah jahat abad ke-20 masih terpampang nyata. Kami di Berlin tidak ingin bersembunyi dan melarikan diri dari sejarah, tetapi menghadapinya.”

“Berlin telah berulang kali menemukan jati diri,” ujar Richard Meng, juru bicara senat kota. “Dibutuhkan waktu sepuluh tahun setelah ’89 untuk mencari jalan menuju Berlin.” Formula yang kemudian terbentuk adalah, dalam istilah Meng, “kota berpikiran terbuka yang mengizinkan komunitas internasional masuk, dan memungkinkan generasi muda menjalani hidup dan menemukan gagasan.” Hal ini bertentangan dengan gagasan sebelumnya soal Berlin sebagai tempat pameran kekuatan.

!break!

Tetapi, ada satu masalah. Kurangnya industri dan bisnis besar di Berlin menyebabkan pen­dapatan dari pajak tetap kurang. Bahkan, hingga kini, Berlin masih berutang sebesar $77 miliar dan akan mengalami defisit anggaran kota sebesar 20,7 persen per tahun jika tidak menerima bantuan dari pemerintah dan rakyat Jerman. Tanpa dukungan seluruh Jerman, Berlin akan bangkrut. Angka defisit tahunan menurun, dan perusahaan-perusahaan baru didorong untuk terus maju, tetapi sepertinya belum ada langkah mendesak, setidaknya di Berlin, untuk menambal kebocoran. Cara santai dalam menyikapinya membentuk cara pandang penduduk Berlin akan masa depan kota mereka yang, menurut penggambaran sang mantan wali kota, “miskin namun seksi.”

Pergeseran besar-besaran Berlin dari kota adikuasa bermasalah menjadi simbol kebebasan berkebalikan dengan kisah Athena. Ketika Yunani bergabung dengan UE pada 1981, keadaannya—menurut Vassilis Papadimitrou, sekretaris pers George Papandreou, perdana menteri yang menjabat ketika krisis ekonomi mencapai puncaknya pada 2009 hingga 2011.Itulah momen ketika Yunani—sebelumnya terisolasi blok Soviet di utara, terlibat persaingan senjata dengan Turki di timur, dan luar biasa miskin—“merasa diperlakukan sebagai bagian resmi dari Eropa untuk pertama kalinya.”

Keanggotaan di Uni Eropa menghasilkan optimisme jangka panjang, pendanaan, dan pertumbuhan kota. Puncaknya ketika Athena menjadi tuan rumah Olimpiade 2004 dan membangun Museum Acropolis yang baru dan megah, tempat dunia bisa melihat betapa modern dan canggihnya Yunani sekarang.

Krisis euro adalah, menurut Elli Papa­konstantinou, direktur teater eksperimental di wilayah industri terbengkalai Elaionas, “momen perasaan bersalah, yang membebani semua orang, perasaan bahwa entah bagaimana kita semua bertanggung jawab atas hal-hal buruk yang menimpa kita.” Itu adalah tamparan keras bagi kepercayaan diri nasional. Menurut Papadimitrou ini adalah “konfirmasi bagi ketakutan terburuk Yunani, bahwa mereka tidak benar-benar pantas menjadi bagian dari Eropa.”

!break!

Kepedihan sosial dan personal dipertajam oleh penghematan besar-besaran. Ermina Kontaratos, yang memiliki anak perempuan remaja difabel, merasa putus asa menjalani perjuangan hariannya menghadapi birokrasi untuk memperoleh tunjangan kesejahteraan. Sejak Juni 2013, dia tidak mendapatkan apa pun. Sebelumnya dia memperoleh $1.300 setiap dua bulan. Kemudian para dokter melakukan pemogokan. Kemudian dia dirujuk ke dokter yang salah, yang merujuknya ke dokter lain, lalu ke dokter lain di kantor yang jauh, dengan birokrasi yang sulit ditembus dan nyaris tidak mungkin dicapai dengan transportasi umum. Dia tidak memiliki kendaraan. “Para petugas kelabakan akibat penghematan. Pekerjaan mereka kacau-balau.”

Terdapat pergeseran tektonik dari kelas menengah menjadi miskin. Para lansia pindah ke rumah anak-anak mereka; para pemuda meninggalkan kota dan kembali ke desa. Bagi banyak keluarga, tidak ada cukup uang untuk membayar guru privat yang sejak dahulu sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan Yunani. Populasi pusat kota Athena anjlok; pada 2011, sensus melaporkan, hampir sepertiga apartemen di kota kosong. Harga properti di beberapa bagian kota jatuh hingga lebih dari 40 persen. Walaupun iklan-iklan berbagai klub baru di Kerameikos atau pertunjukan seni dibuat marak, kejatuhan Athena nyata dan tersebar luas.

Jalanan di sekitar Polytechnion, kampus universitas paling radikal di Athena yang didominasi anarkis, masih dipenuhi grafiti—Eat the Rich, Kill the Past, Burn the Cells—dan sepertiga toko di pusat perbelanjaan teramai, Kolonaki, kosong. Kelompok-kelompok polisi berpakaian pelindung dari karet dan rompi anti tusukan, bersenjata tongkat sepanjang satu meter, masih berjaga-jaga di luar kafe-kafe di sekitar Jalan Alexander Grigoropoulus. Jalan itu dinamai secara informal dengan nama pemuda 15 tahun yang tertembak hingga tewas oleh seorang polisi dalam kerusuhan yang terjadi pada 6 Desember 2008.

Tekanan sosial dan ekonomi melahirkan ledakan xenofobia di beberapa bagian kota. Saya berbicara dengan tokoh masyarakat di Aghios Panteleimon, salah satu distrik tempat kelompok fasis Golden Down memperoleh du­kungan terbesar. Dia menunjukkan lubang hitam tempat sebuah masjid kecil berdiri, hingga akhirnya habis terbakar pada 2011. “Bisa­kah Anda membayangkan sesuatu yang lebih menjijikkan daripada 70 pasang sepatu di trotoar di luar masjid?” katanya. “Wajar saja kalau tempat ini dibakar.” Athena, menurutnya, mungkin mengizinkan pembangunan masjid, tetapi tidak ada yang boleh memiliki menara. “Itu meng­ingatkan kami pada aib Ottoman”—berabad-abad silam, ketika Athena sekadar salah satu kota di kekaisaran Turki.