!break!
Hari-hari penuh amarah telah berlalu. Demonstrasi terusuh musim semi lalu adalah pendudukan para petugas kebersihan dari kementerian keuangan yang menuntut pekerjaan. Mereka duduk-duduk sambil merokok dan mengobrol sepanjang pagi di jalanan dekat kantor. Di sana-sini, optimisme mulai terlihat dalam iklan. Perusahaan berbasis Internet seperti Taxibeat—“Jadilah sopir taksi abad ke-21. Jadikan ponsel pintarmu sumber penghasilan baru”—berhasil menggalang modal jutaan dolar. Berbagai bisnis internet lahir. Dan artis-artis jalanan mulai menjual karya mereka kepada kolektor seni internasional.
Di samping semua ini, yang juga tengah marak di Athena adalah organisasi-organisasi lokal untuk mencari solusi lokal, membersihkan sampah, menanam pohon di tempat-tempat terbengkalai, mengecat taman-taman bermain anak-anak, memberikan tur untuk penduduk Athena ke bagian-bagian kota yang tidak mereka kenal, menuliskan sejarah singkat dalam bahasa Yunani sederhana di tembok berbagai gedung.
Pemanfaatan lahan-lahan kota yang rusak atau terbengkalai adalah sebuah fenomena global. Itu juga terjadi di mana-mana di Berlin. Namun, tindakan yang sama memiliki makna berbeda di tempat lain. Di Athena, musuh yang disasar adalah rasa gagal dan kecewa. Di Berlin kebalikannya, ancaman dari kesuksesan yang mulai mengikis kemerdekaan Berlin yang tersohor. Demonstrasi diselenggarakan di sana, di dekat blok-blok apartemen baru. Di berbagai bagian kota, seperti Kreuzberg dan, terlebih lagi, Mitte, yang menjadi tempat berkumpulnya para seniman jalanan dan pusat kesenian pada 1990-an, tahun-tahun setelah runtuhnya Tembok Berlin. Uang menjadi masalah baru. Kekuatan modal, banjir kekayaan baru dari generasi pewirausaha muda yang tertarik pada citra keren Berlin, yang kemudian berujung pada gentrifikasi, justru melahirkan ancaman untuk mengubah semangat kebersamaan warga kota.
!break!
Inilah cara Berlin untuk melarikan diri dari kegagalan. Hanya dengan integrasi dan partisipasi, juga masyarakat yang hidup rukun, kota modern ini bisa berharap menjadi manusiawi. Pesan ini terdengar dari setiap sudut kota. Sejak 2009, Marco Clausen, ahli sejarah sosial, dan Robert Shaw, pembuat film, mengelola komunitas berkebun bernama Prinzessinengärten di tengah kota Berlin. Komunitas ini beraktivitas di bekas lokasi sebuah pusat perbelanjaan Yahudi besar yang dibom semasa perang dan tidak pernah dibangun kembali. Untuk orang-orang yang berpendapat bahwa kebun seluas 0,6 hektare kurang produktif dalam menghasilkan bahan pangan, Clausen punya jawaban: “Tidak. Yang kami produksi adalah pertukaran sosial. Yang kami produksi adalah hidup bertetangga.” Kebun ini, katanya, “adalah simbol banyak hal yang diinginkan orang-orang.”
Bagi banyak orang, kebudayaan Berlin ini, yang berakar dari para seniman pra-1989 di Berlin Barat, sedang terancam. “Seperti apakah penampilan kota ini di masa depan,” tanya Clausen, “jika kita terus-menerus menjual kepada petaruh tertinggi? Kota ini tidak dibentuk oleh penata kota dan arsitek; kota ini dibentuk oleh kebudayaan dan hubungan sehari-hari.” Itu visi yang kuat tentang seperti apa kota yang bagus seharusnya: Jangan biarkan uang atau kekuasaan mendominasi, jangan biarkan properti menggusur kemanusiaan. Ironisnya, Clausen menyuarakan secara tepat idealisme hubungan dan jejaring manusia yang terdapat di akar kebudayaan Yunani, dan telah terbukti sulit untuk diintegrasikan dengan sistem kenegaraan modern: Bagaimana merekonsiliasi hubungan manusia dengan ekonomi pan-Eropa?
Wolfgang Thierse, politikus veteran yang telah berpuluh-puluh tahun terlibat langsung dalam membentuk Jerman baru, memaparkan bahwa “yang atraktif dari kota ini belum rampung. Masih banyak titik kosong dan kekacauan. Tetapi, sisi menarik dari kekacauan itu telah lenyap.” Di Prenzlauer Berg, tempat tinggalnya, Thierse memperkirakan bahwa 90 persen penduduknya pindah ke sana dalam 25 tahun terakhir. “Artinya, 90 persen lainnya telah tergusur ke luar. Gentrifikasi adalah pengalaman sepuluh tahun terakhir, pengalaman yang menyakitkan,” katanya. “Orang-orang berharap kota akan mengerem proses itu, mengurangi rasa sakit yang ditimbulkannya.” Kesuksesan besar Jerman sejak 1945 telah memproduksi apa yang disebut oleh warga Jerman sebagai kapitalisme dengan dimensi sosial.
Menjaga keutuhan jiwa sosial kota merupakan inti dari upaya pelarian Berlin dari tekanan modernitas. Inilah paradoks utamanya. Berlin berkembang dengan pengelolaan cermat sebagai sebuah kota merdeka. Athena tumbuh dalam keterbatasan dan terjerat kebudayaan yang, secara mendalam, meragukan nilai otoritas—dan secara konsisten mengikisnya.
Pertanyaan yang sama dihadapi oleh kedua kota ini: Bagaimana cara bertahan dari dominasi pasar yang kian kuat? Dan bagaimana cara menciptakan institusi yang akan dipercaya masyarakat? Tidak ada satu pun jawaban yang tepat.
---
Adam Nicolson menulis Why Hommer Matters, soal Yunani yang merupakan akar dari warga Eropa. Buku terbaru Gerd Ludwig berkisah tentang Chernobyl. Foto-foto Alex Majoli mengilustrasikan Kaisar Nero, pada edisi September 2014.