Mencari Tempat Berlindung

By , Kamis, 26 Februari 2015 | 11:26 WIB

Apa yang terjadi saat Anda menjadi pengungsi perang?

Anda berjalan.

Benar, untuk menyelamatkan nyawa—misalnya saat tentara milisi menyerang desa Anda—Anda mungkin pertama-tama akan melarikan diri dengan kendaraan apa pun yang dapat Anda temukan. Menggunakan mobil keluarga. Atau menumpang truk pengangkut buah milik tetangga. Naik bus curian. Namun, pada akhir­nya: Anda tiba di perbatasan. Dan di tempat inilah Anda harus mulai berjalan. Mengapa? Karena para petugas berseragam akan meminta dokumen Anda.

Apa? Tidak punya dokumen? Tidak ada bedanya. Anda tetap harus turun dari kendaraan. Berdiri di situ. Menunggu. Sekarang, baik Anda membawa dokumen ataupun tidak, hidup Anda sebagai pengungsi dimulai sejak saat itu: berjalan kaki, merasa tidak berdaya.

 !break!

Pada akhir September, di dekat lokasi pe­nyeberangan perbatasan Mürşitpınar di Turki, puluhan ribu pengungsi Suriah meng­alir. Mereka dari etnik Kurdi, melarikan diri dari terjangan peluru dan pisau pasukan Negara Islam. Banyak yang mengemudikan mobil, me­ngepulkan awan debu halus berwarna putih dari beberapa ladang tertua di dunia, yang selalu dibudidayakan.

Pasukan Turki tidak akan membiarkan rombongan itu membawa kendaraannya me­lewati perbatasan. Sebuah lapangan parkir di daerah perbatasan dipenuhi mobil yang di­tinggalkan dengan jumlah yang makin lama makin banyak. Pada suatu hari, gerombolan berpakaian hitam datang dan mengambil mobil-mobil itu, mencurinya tepat di depan hidung tentara Turki. Para prajurit hanya bisa menyaksikan. Mereka sama sekali tidak peduli.

Dan perjalanan pun dimulai. Anda me­langkah, keluar dari satu kehidupan dan me­masuki kehidupan lain. Anda berjalan melintasi pagar perbatasan yang dilubangi, melangkah memasuki situasi tanpa status, situasi yang rapuh, serba tergantung, dan tak dipedulikan orang. Anda menjadi seorang pengungsi.

 !break!

“Sudah dua kali mereka membakar kota,” kata Atilla Engin, sambil berdiri di puncak Oylum Hoyuk, sebuah bukit tandus buatan manusia di Turki bagian tenggara. “Kami tidak tahu siapa atau apa alasannya. Saat itu banyak perang berkecamuk.”

Engin adalah arkeolog Turki dari Universitas Cumhuriyet. Dia menatap lubang persegi yang sedang digali ke dalam puncak gundukan oleh penduduk desa yang bekerja di bawah arahan mahasiswa pascasarjananya. Lubang itu memiliki kedalaman 10 meter dan gundukan itu adalah salah satu gundukan terbesar di Turki: tinggi 37 meter dan panjang 460 meter. Bukti tertua permukiman di situ berasal dari zaman Neolitikum, sekitar 9.000 tahun silam. Namun, di atasnya—dibangun, ditinggalkan, dan sudah lama terlupakan—terdapat puing-puing dari setidaknya sembilan era kehidupan manusia. Bangunan batu Zaman Tembaga. Tablet runcing Zaman Perunggu. Uang logam Zaman Helenistik. Bangunan batu bata zaman Romawi dan Bizantium.

Sekian banyak kerajaan muncul silih berganti melintasi jantung Asia Kecil yang sering dilanda peperangan. Engin berfokus pada perumahan yang dikelilingi benteng dari Zaman Perunggu, mungkin kota-negara perkasa yang dikenal sebagai Ullis, yang disebutkan dalam catatan kuno Hittite dan papirus Zaman Besi. Untuk mencapai kota hilang ini, timnya telah menggali melalui sejumlah lapisan yang tampak seperti kardiogram kacau—lapisan tanah, abu, dan puing-puing, pembangunan dan penghancuran yang bermunculan dan musnah lagi selama 9.000 tahun.

“Ada hal yang tidak pernah berubah,” ujar Engin. Dia menyunggingkan senyuman tipis, menampakkan kelelahan seorang lelaki yang berpikir dalam konteks sejarah ribuan tahun. “Kekuatan luar masih berperang memperebutkan wilayah ini—dataran Mesopotamia.