Mencari Tempat Berlindung

By , Kamis, 26 Februari 2015 | 11:26 WIB

Dari tangga yang digunakannya untuk me­motret tempat penggaliannya yang luas, Engin bisa melihat kamp pengungsi di dekat Kilis, kota Turki di dekat lokasi penggalian di perbatasan Suriah. Sekitar 14.000 orang, yang me­nyelamatkan diri dari perang saudara Suriah yang mematikan, menunggu dengan tidak sabar selama dua setengah tahun di kamp. Tambahan sekitar 90.000 warga Suriah memadati kota bobrok itu, menggandakan jumlah penduduk aslinya, dan meningkatkan harga sewa. (Pekan se­belumnya, segerombolan massa anti-Suriah menyerang pengungsi dan menghancurkan mobil mereka.)

!break!

Saat ini terdapat sekitar 1,6 juta pengungsi perang Suriah di Turki. Setidaknya masih ada sekitar delapan juta orang lainnya kehilangan tempat tinggal di Suriah, atau mencari nafkah seadanya di beberapa permukiman darurat di Libanon dan Yordania. Perang ini tentu saja merambah ke negara tetangga Irak, dan di situ golongan fanatik Negara Islam mengusir sekitar dua juta warga sipil dari kampung halaman mereka. Jika dijumlahkan, mungkin 12 juta jiwa kini berkelana tak tentu arah di sebagian besar daerah Timur Tengah. Dampak politik di wilayah ini sungguh tak terbayangkan dan akan tetap abadi.

“Ini bukan hanya tentang Turki atau Suriah lagi,” kata Selin Unal, juru bicara UNHCR, badan pengungsi PBB, di kamp Kilis. “Ini masalah yang akan memengaruhi seluruh dunia. Ini peristiwa bersejarah.”

Saya berjalan kaki menuju gundukan Oylum di Turki tenggara sebagai bagian dari Perjalanan Keluar dari Nirwana, perjalanan selama tujuh tahun menapak tilas diaspora manusia pertama keluar dari Afrika hingga ke ujung dunia spesies manusia di ujung Amerika Selatan. Sepanjang perjalanan melalui Timur Tengah, saya menyaksi­kan lelaki dan perempuan putus asa yang terdampar di mana-mana, akibat perang Suriah yang pelik. Mereka bekerja memetik tomat dengan upah $11 per hari di Yordania. Mereka mengemis di sudut jalanan Turki. Saya menyaksikan sejumlah orang berjongkok di bawah terpal di padang rumput Anatolia, pelarian dari kemurkaan massa nasionalis di sejumlah kota.

Letak gundukan Oylum tidak jauh dari jantung Sabit Subur—daerah Levantine purba beriklim sedang, tempat dunia modern dilahirkan. Di sinilah manusia menciptakan gagasan rumah permanen. Meskipun demikian, selama berbulan-bulan ini saya justru melihat pemandangan tunawisma massal.

 !break!

Menurut catatan PBB, pada akhir 2013, lebih dari 51 juta orang di seluruh dunia mengungsi akibat perang, kekerasan, dan penganiayaan. Lebih dari setengahnya kaum wanita dan anak anak. Di antara pengungsi Suriah di Turki, proporsi perempuan dan anak-anak melesat hingga 75 persen. Kaum lelaki bertahan di kampung halaman untuk melawan atau melindungi harta kekayaan mereka. Hasilnya, kaum wanita dan anak-anak menjadi pengembara miskin.

Wartawan jarang mengikuti nasib para wanita ini di daerah kumuh perkotaan, kamp yang penuh sesak, gubuk plastik darurat yang didirikan di ladang semangka. Di rumah bordil. Kesengsaraan mereka tidak menarik untuk disiarkan. Tidak banyak ledakan bom yang dramatis. Kaum wanita Suriah menghadapi perang mereka sendirian, dalam kebisuan.

“Ini adalah masalah besar yang tersembunyi,” kata Elif Gündüzyeli, pekerja sosial dari Support to Life, organisasi bantuan Turki. “Kerentanan kaum wanita ini mengubah tatanan masyarakat.”

Di Turki yang sekuler, gelombang pasang kaum wanita Suriah tanpa suami telah meng­­hidupkan kembali tradisi poligami. Di Yordania, keluarga pengungsi menikahkan anak perempuan berusia 13 dengan harapan dapat mengentaskan mereka keluar dari kamp, dari jalanan, dari kemiskinan.

“Tidak ada yang melindungi kami,” kata Mona (bukan nama sebenarnya), seorang wanita muda Suriah yang terdampar di kota Şanlıurfa, Turki. “Kami terus-menerus dilecehkan. Tiga orang lelaki berusaha menarik saya ke dalam mobil. Mereka mencengkeram lengan saya. Saya menjerit-jerit. Tetapi, orang-orang di trotoar tidak mau menolong.”

“Empat kali—tidak, lima kali,” ujar seorang wanita Kurdi Suriah bernama Rojin (juga nama samaran), menghitung jumlah lamaran pernikahan yang diterimanya di Turki selama seminggu terakhir. “Dua,” tambah adiknya. “Tiga,” kata adiknya yang ketiga. Kerabat keempatnya belum pernah dilamar—nenek mereka yang sudah pikun.