Mencari Tempat Berlindung

By , Kamis, 26 Februari 2015 | 11:26 WIB

Di reruntuhan kota purba yang hangus di bawah gundukan Oylum, Engin menemukan dua mayat. Keduanya perempuan, korban kehancuran misterius kota tersebut. Kita tidak tahu apa-apa tentang mereka, kecuali mungkin kepedihan status sosial mereka.

!break!

Jason Ur, seorang arkeolog di Harvard, mem­pelajari pola permukiman yang ber­ubah-ubah di Asyur purba. “Di wilayah ini, perpindahan penduduk me­miliki seja­rah panjang yang menyedihkan,” kata Ur. Perpindahan itu terjadi “berulang kali, setidaknya, selama 3.000 tahun terakhir.”

Ukiran relief dari Mesopotamia meng­gambar­kan tentara dari Zaman Besi mendorong seluruh populasi di depan mereka. Dalam adegan purba ini, rakyat sipil ditawan, diborgol. Mereka dirantai. Dengan cara ini, seluruh masyarakat dipindahkan, dengan kekerasan, untuk bekerja sebagai buruh pertanian di salah satu kerajaan tertua di dunia.

Saddam Hussein, “penjagal dari Bagdad”, melakukan hal yang sama di Irak utara, meng­ganti warga Kurdi yang “bengal” dengan petani etnik Arab yang taat. Satu abad yang lalu, bangsa Turki membersihkan etnik Armenia yang “tidak setia”, membunuh hingga 1,5 juta orang Armenia dan memberikan tanah mereka kepada negara tetangganya. Pembersihan etnis, rekayasa sosial yang kejam, bukanlah konsep baru. Proses itu muncul seiring dengan berdirinya negara kota.

Pada prasasti dari kuil yang dibangun Raja Asyur baru, Ashurnasirpal II, yang memerintah Nimrud dari 883 hingga 859 SM, di selatan kota Mosul, Irak masa kini, tertulis: “Saya menangkap banyak tentara hidup-hidup: ada kalanya saya memotong lengan [dan] tangan mereka; ada juga yang saya potong hidung, telinga, dan anggota tubuh lainnya. Saya mencungkil mata banyak tentara.”

Dan: “Saya membersihkan senjata di Laut Besar dan mempersembahkan kurban kepada para dewa.”

Bualan primitif itu terdengar kontemporer, seperti video Negara Islam yang ditayangkan di YouTube.

!break!

Anatolia—semenanjung asia yang luas di Turki timur. Persimpangan benua. Perbatasan abadi berbagai kerajaan. Bukti migrasi paksa.

Saya menyusuri jalanan kapur melewati fondasi sejumlah kota Asyur yang sudah be­rantakan. Saya melihat pedimen tiang Yunani yang terbenam di kebun penuh ilalang. Saya melewati gereja Armenia telantar yang telah diubah menjadi masjid. Saya menapaki jalan raya batu yang pernah ditapaki kaki sekian banyak rombongan bangsa Romawi. Di zaman Harran purba, pusat pembelajaran kuno di bawah pemerintahan bangsa Romawi, Bizantium, dan Arab hanya berjarak 20 kilometer dari perbatasan Suriah. Ribuan cendekiawan Muslim pernah bereksperimen dengan fisika dan teknik. Sebuah menara menjulang di dataran kosong—satu-satunya bangunan yang tersisa dari kota yang telah diratakan oleh bangsa Mongol. Dan, saya melewati deretan tenda putih warga Suriah. Tenda itu ada di mana-mana. Kehadirannya yang muram di lanskap purba itu seperti tanda perubahan dahsyat, pelajaran yang tak dapat dipahami. Sejarah berguncang di bawah setiap langkah kaki. Tenda pengungsi berkilau kekuningan di malam hari.

“Semua orang berpikir bahwa ini hanya untuk sementara,” kata seorang tukang roti Turki bernama Mustafa Bayram di Kilis.

Dia ingin bersikap baik—pemerintah Turki telah berbaik hati, menghabiskan triliunan rupiah untuk perumahan dan memberi makan pengungsi—tetapi, warga Suriah masih terus berdatangan. Mereka menyebabkan Bayram kehilangan mata pencaharian. Mereka bersedia bekerja dengan upah budak. Mereka membuka toko ilegal, merampas pangsa pasarnya. “Saya pikir,” katanya, dengan nada getir, “pemerintah harus menempatkan mereka semua dalam sebuah kamp raksasa.”

Perang di Suriah terus bergolak. Engin ke­hilangan para pegawainya. Setiap hari ada saja yang  tidak muncul saat diabsen. Mereka meninggalkan penggalian arkeologinya di gundukan Oylum dan menyelinap melintasi perbatasan. Mereka mungkin telah bergabung dengan gerakan jihad.

Saya terus berjalan hingga musim gugur. Suhu turun drastis. Saya menginjak serombongan semut yang merangkak panik melalui rumput kuning yang rapuh. Tubuh mereka berkilauan hitam, seakan diminyaki, dan menghilang ke dalam lubang. Setelah Kebangkitan Dunia Arab yang palsu, musim dingin yang menusuk tengah mengintai Timur Tengah.

---

Kunjungi ngi.cc/paulsalopek untuk mengikuti kisah di balik layar perjalanan ini. Ikuti lewat Twitter: @outofedenwalk. Baca cerita John Stanmeyer tentang warga Kurdi yang menyeberang ke Turki di ngm.com/exodus.