Kumbang Pinus

By , Selasa, 24 Maret 2015 | 11:02 WIB
!break!

Di atas meja Carroll di University of British Columbia di Vancouver, tergeletak helm sepeda motor dan jaket yang siap digunakan untuk perjalanan bolak-balik dua kali seminggu ke rumahnya di Pulau Vancouver. Carroll sering mengambil jalan kecil untuk menghabiskan lebih banyak waktu di tengah pohon yang masih sehat. Di bawah mejanya terdapat ember putih berisi potongan kayu Pinus contorta. Di dalam kayu itu seekor kumbang pinus gunung betina menyimpan telurnya.

Teman sekantor Carroll itu adalah Dendroctonus ponderosae, salah satu dari sekitar 6.000 spesies kumbang kulit kayu, termasuk 500 yang hidup di Amerika Serikat dan Kanada. Kebanyakan kumbang kulit kayu bertelur di bawah kulit pohon yang sudah mati atau sekarat. Bahkan segelintir spesies yang membunuh pohon biasanya hanya mengincar pohon yang kurang sehat. Dalam kelompok tersebut, kumbang pinus gununglah yang menjadi penjahatnya. Jika kondisinya sesuai, kumbang ini dapat membunuh pohon yang sehat satu demi satu.

Ketika kumbang pinus gunung betina seperti yang ada di ember itu sampai ke suatu pohon, dia terlebih dahulu harus memutuskan cocok tidaknya pohon itu untuk membesarkan anaknya. Untuk mengetahuinya, dia menggerek kulit pohon dan merasakan zat kimia yang terkandung di dalamnya. Jika pohon itu memenuhi syarat, dia akan terus menggerek, memotong saluran yang mengandung resin—pertahanan pertama sang pohon. Pohon akan selamat jika resin dapat mengusir kumbang.

Namun, evolusi merupakan persaingan abadi. Dan sebagai solusi yang sangat elegan, kumbang itu berevolusi untuk memakan resin—jika dia bisa selamat berenang di cairan kental itu—dan mengubahnya menjadi feromon, zat kimia yang mengirim pesan ke kumbang lainnya. Dengan melepaskan feromon ke udara, kumbang itu mengabarkan bahwa dia me­nemukan tempat yang bagus untuk berkumpul. Kumbang lainnya, baik jantan maupun betina, datang berkumpul. Jika jumlahnya mencukupi, terjadilah serangan massal.

!break!

Pohon itu tidak menyerah begitu saja. Begitu kumbang menggerek hingga mencapai sel hidup, sel itu melakukan bunuh diri. Sel yang mati itu pecah dan melepaskan zat yang sangat beracun dan membunuh kumbang. Jika jumlah kumbangnya tidak terlalu banyak, kata Carroll, “umumnya pohon yang menang.” Akan tetapi, pohon itu kewalahan. Bergantung pada kondisi pohon, diperlukan ribuan atau hanya beberapa ratus kumbang untuk membunuhnya.

Kekeringan dan suhu hangat yang melanda hutan barat AS dalam beberapa tahun terakhir memperparah serangan kumbang dalam dua cara: menambah tekanan pada pohon sehingga lebih mudah menyerah dan menyediakan lebih banyak waktu kepada kumbang untuk menyerang pepohonan. Kumbang di Montana, tutur Six, dulu biasanya pindah dari satu pohon ke pohon lainnya hanya selama dua minggu di  bulan Juli. Sekarang, musim terbang berlangsung sampai bulan Oktober. Itu berarti kumbang punya waktu tambahan untuk berkembang biak.

Kerja sama kumbang ini menakutkan. Kumbang dalam jumlah sedikit menyerang pohon kecil; kelompok yang berjumlah banyak mengincar sasaran besar. Sepertinya hewan ini hanya menyerang pohon besar saat tahu bahwa jumlahnya cukup untuk mengalahkannya. Bagaimana cara kumbang mengetahui hal tersebut? Carroll dan mahasiswa pascasarjananya Jordan Burke menduga kumbang mengetahuinya dari feromon. Kumbang yang menggerek pepagan melepaskan sinyal minta bantuan, dan berdasarkan jumlah feromon yang ada di udara dia mengetahui tersedia tidaknya bantuan serta aman tidaknya untuk bertelur. Apa pun penjelasannya, serangan kumbang memang akan semakin parah seiring waktu. Semakin besar pohon, semakin banyak keturunan yang dihasilkannya. Semakin banyak kumbang berarti lebih banyak serangan pada pohon yang besar dan sehat. Begitu terkumpul cukup kumbang untuk menghabisi pohon besar, petak hutan itu akan segera menemui ajalnya.

!break!

Pada 2013, ilmuwan di University of British Columbia melakukan pengurutan genom kumbang pinus gunung, menjadikannya spesies kedua dari lebih dari 400.000 spesies kumbang yang mendapat kehormatan itu. Tetapi Joerg Bohlmann, ahli biokimia tanaman yang memimpin proyek pengurutan ini, berpendapat bahwa solusi bioteknis terhadap epidemi kumbang pinus ini masih jauh.

“Kami harus sangat berhati-hati agar tidak menjanjikan hal yang tidak realistis,” katanya. Pestisida dapat menyelamatkan beberapa pohon tetapi tidak seluruh hutan; biayanya terlalu mahal, dan akan membunuh berbagai organisme lain. Pembiakan pohon tahan kumbang akan membutuhkan waktu puluhan tahun, sekalipun didukung oleh genetika modern. Sementara kumbang mungkin dapat beradaptasi dengan cepat dan mengalahkan daya tahan tersebut.

Untuk saat ini sebagian besar penelitian, dari pekerjaan genom hingga kumbang dalam ember Carroll, hanya bertujuan meningkatkan kemampuan kita memprediksi wabah serangga. “Tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti tempat kumbang kulit kayu ini lima tahun ke depan,” kata Bohlmann. “Itu masalah terbesarnya.” Jika kita bisa datang ke hutan itu seawal mungkin, saat populasi kumbang masih relatif kecil, kita dapat mengontrol serangannya. Setidaknya itulah teori yang sedang diuji di Alberta. Di banyak tempat di British Columbia dan bagian barat Amerika Serikat wabah ini melambat sendiri—di beberapa tempat karena tidak tersisa cukup banyak pohon yang dapat diserang. Namun, di Alberta wabah ini baru dimulai.

Alberta memiliki sekitar 60.000 kilometer persegi pinus, jauh lebih sedikit daripada British Columbia, tetapi hutan itu berada di daerah yang sangat penting, di hulu sungai gunung yang menyediakan air bagi padang rumput dan kota-kota di bawahnya. Jika hutan tersebut hancur, salju yang tidak terlindung akan mencair lebih cepat, dan sungai akan naik lebih awal—sebelum musim kemarau, ketika manusia dan ekosistem paling membutuhkan air.

!break!

Untuk menyelamatkan hutan, kita harus menebang banyak pohon; satu-satunya cara untuk menghentikan kumbang adalah dengan memastikan bahwa tidak ada satu pohon pun yang bisa diserangnya.