Kumbang Pinus

By , Selasa, 24 Maret 2015 | 11:02 WIB

Pada suatu pagi yang dingin di bulan Oktober 2013, Diana Six memarkir mobil Subaru putihnya di tepi hutan pinus di Lembah Big Hole, Montana barat daya. Di bawah puncak berselimut salju, hutan Pinus contorta menyelimuti bukit dalam empat warna—empat tahap pembantaian. Yang kelabu, kini tinggal batang dan cabang, mati tahun 2009. Yang berwarna merah muda, masih berdaun, mati tahun 2011. Pohon yang cokelat kemerahan mati tahun 2012. Bahkan pohon hijau yang tampak sehat, menurut Six, ahli entomologi berambut ekor kuda di University of Montana yang hobi binaraga dan membuat bir, tidak sesehat yang terlihat. Kira-kira seperempatnya sudah meregang nyawa.

Six melenggang ke dalam hutan sambil membawa kapak. Dia berhenti di jajaran pinus yang warnanya bercampur hijau dan oranye tua. Dengan kapak, dia perlahan mengupas pepagan dari pohon yang berwarna hijau, memperlihatkan kayu putih di baliknya. Itu dia, di dalam alur kecil di permukaan kayu, terlihat larva hitam kecil seukuran biji wijen. Meskipun pohon itu masih tampak baik, floemnya, lapisan serat di bawah pepagan yang mengangkut zat hara, sudah mengering dan berwarna cokelat.

Six pindah ke pohon berikutnya yang tampak masih sehat. Floemnya tampak merah muda kehijauan dan lentur, jelas belum kering. Namun, di beberapa tempat terlihat alur larva kumbang seperti pada pohon sebelumnya. Dari ukuran lorong dan sedikitnya jumlah larva, Six menyimpulkan bahwa pohon ini baru diserang seminggu sebelumnya.

Cerita yang sama terjadi di seantero bagian barat Amerika Utara, di jutaan hektare hutan pinus. Apabila kita berkunjung ke beberapa tempat di Colorado, akan kita saksikan hutan yang menutupi seluruh lereng gunung seakan tampak berkarat. Hampir semua pinus mati oleh musuh yang lebih kecil daripada paku payung: kumbang pinus gunung (Dendroctonus ponderosae). Di British Columbia skala kerusakannya bahkan lebih mengerikan. Sekitar 180.000 kilometer persegi hutan pinus di sana, hampir seluas Kalimantan Timur, mengalami serangan kumbang dalam berbagai tingkat keparahan selama 15 tahun terakhir.

Alam memang selalu berubah. Meskipun demikian, serangan kumbang pinus gunung menunjukkan gelagat yang meresahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan global dapat mendorong spesies asli sekalipun untuk merusak ekosistem. “Kita harus melihat hal ini sebagai pertanda bencana yang menanti kita di masa depan,” kata Six. “Kita akan melihat kehancuran ekosistem satu demi satu.”

!break!

Berbeda dengan organisme lain yang menyerbu Amerika—ikan karper, kacang ruji—kumbang pinus gunung bukanlah hewan pendatang. Kumbang ini penduduk asli hutan pinus barat, tempat hewan ini biasanya hidup dalam jumlah yang relatif kecil, membunuh satu atau dua pohon. Sesekali jumlah kumbang ini melonjak, dan karena itu menghabisi hutan yang cukup luas. Akan tetapi, biasanya terbatas dalam satu wilayah—tidak meluas hingga setengah benua seperti sekarang.

Skala epidemi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sejak 1990-an lebih dari 243 juta hektare hutan, dari New Mexico utara hingga British Columbia, yang mati akibat serangan kumbang ini. Saat wabah di British Columbia mereda nanti, mungkin sekitar 60 persen pohon pinus dewasa di provinsi itu mati. Itu berarti kayu sebanyak satu miliar meter kubik.

Pepohonan bukan korban satu-satunya. Kematian hutan mengacaukan semuanya, mulai dari jaring makanan hingga perekonomian setempat. Di British Columbia, kota-kota yang mengandalkan industri perkayuan mulai mengalami kesulitan ekonomi; di Taman Nasional Yellowstone beruang dan burung kehilangan sumber makanan yang berlimpah. Tanpa penahan, tanah pun mengalami erosi.

Nasib baik kumbang pinus gunung saat ini merupakan buah perbuatan manusia. Selama abad terakhir ini kita sibuk mengatasi kebakaran hutan sehingga mengubah hutan menjadi lumbung kumbang. Ketika krisis bermula, hutan British Columbia ditumbuhi tiga kali lebih banyak pinus dewasa dibanding jika ada kebakaran hutan alami. Seperti halnya kumbang pinus gunung, kebakaran hutan juga merupakan hal yang lazim terjadi di hutan barat, dan itu sama pentingnya dengan hujan bagi kesehatan hutan. Kebakaran menyuburkan tanah, menyebarkan benih, menciptakan bukaan untuk sinar matahari, memastikan tersedianya habitat untuk makhluk hidup.

!break!

Menurut Allan Carroll, ahli ekologi serangga di University of British Columbia, hanya 17 persen hutan pinus British Columbia yang ren­tan terhadap serangan kumbang itu seabad yang lalu. Pada pertengahan 1990-an angka itu meningkat menjadi lebih dari 50 persen. Namun lonjakan jumlah pohon dewasa yang rentan bukan sebab satu-satunya kematian seantero pegunungan di sepuluh negara bagian AS dan dua provinsi Kanada. Kerentanan itu memperparah epidemi—tetapi perubahan iklimlah yang memicu hal tersebut. Kumbang itu memetik hasil ulah manusia yang memanaskan seluruh planet ini dengan emisi karbon dioksida.

Meningkatnya suhu dan kekeringan menciptakan tekanan bagi pohon, sehingga tidak kuasa melawan serangan serangga. Cuaca yang lebih hangat juga menggenjot populasi kumbang dan sangat memperluas kawasannya. Satwa ini berkembang semakin ke utara dan ke elevasi yang kian tinggi, menyerang berbagai pohon pinus, seperti Pinus banksiana dan P. albicaulis, yang jarang bertemu kumbang ini sampai beberapa tahun lalu. Tiga perempat dari Pinus albicaulis dewasa di Taman Nasional Yellowstone sekarang mati. Ini bencana bagi beruang grizzly, yang memakan biji pinus itu pada musim gugur. Pun, demikian burung Nucifraga columbiana, yang menyimpan bijinya sebagai cadangan makanan musim dingin.

Apa mau dikata, saat ini kumbang itu sudah menyerang Pinus banksiana. Serangga itu telah bercokol di Alberta dan ke timur hingga Saskatchewan dan ke utara hingga Yukon dan Northwest Territories. Tidak seperti Pinus contorta, P. banksiana menyebar ke timur hingga Nova Scotia dan ke selatan hingga bagian utara Midwest AS dan New England.

“Apakah kumbang ini akan menyebar ke seluruh benua?” tanya Carroll. Rekan sejawatnya menyebutnya Dr. Musibah—kalau dia menemui pejabat setempat, kemungkinan besar hutan di situ akan musnah. Dia menjawab pertanyaannya sendiri: “Ya.”

!break!

Di atas meja Carroll di University of British Columbia di Vancouver, tergeletak helm sepeda motor dan jaket yang siap digunakan untuk perjalanan bolak-balik dua kali seminggu ke rumahnya di Pulau Vancouver. Carroll sering mengambil jalan kecil untuk menghabiskan lebih banyak waktu di tengah pohon yang masih sehat. Di bawah mejanya terdapat ember putih berisi potongan kayu Pinus contorta. Di dalam kayu itu seekor kumbang pinus gunung betina menyimpan telurnya.

Teman sekantor Carroll itu adalah Dendroctonus ponderosae, salah satu dari sekitar 6.000 spesies kumbang kulit kayu, termasuk 500 yang hidup di Amerika Serikat dan Kanada. Kebanyakan kumbang kulit kayu bertelur di bawah kulit pohon yang sudah mati atau sekarat. Bahkan segelintir spesies yang membunuh pohon biasanya hanya mengincar pohon yang kurang sehat. Dalam kelompok tersebut, kumbang pinus gununglah yang menjadi penjahatnya. Jika kondisinya sesuai, kumbang ini dapat membunuh pohon yang sehat satu demi satu.

Ketika kumbang pinus gunung betina seperti yang ada di ember itu sampai ke suatu pohon, dia terlebih dahulu harus memutuskan cocok tidaknya pohon itu untuk membesarkan anaknya. Untuk mengetahuinya, dia menggerek kulit pohon dan merasakan zat kimia yang terkandung di dalamnya. Jika pohon itu memenuhi syarat, dia akan terus menggerek, memotong saluran yang mengandung resin—pertahanan pertama sang pohon. Pohon akan selamat jika resin dapat mengusir kumbang.

Namun, evolusi merupakan persaingan abadi. Dan sebagai solusi yang sangat elegan, kumbang itu berevolusi untuk memakan resin—jika dia bisa selamat berenang di cairan kental itu—dan mengubahnya menjadi feromon, zat kimia yang mengirim pesan ke kumbang lainnya. Dengan melepaskan feromon ke udara, kumbang itu mengabarkan bahwa dia me­nemukan tempat yang bagus untuk berkumpul. Kumbang lainnya, baik jantan maupun betina, datang berkumpul. Jika jumlahnya mencukupi, terjadilah serangan massal.

!break!

Pohon itu tidak menyerah begitu saja. Begitu kumbang menggerek hingga mencapai sel hidup, sel itu melakukan bunuh diri. Sel yang mati itu pecah dan melepaskan zat yang sangat beracun dan membunuh kumbang. Jika jumlah kumbangnya tidak terlalu banyak, kata Carroll, “umumnya pohon yang menang.” Akan tetapi, pohon itu kewalahan. Bergantung pada kondisi pohon, diperlukan ribuan atau hanya beberapa ratus kumbang untuk membunuhnya.

Kekeringan dan suhu hangat yang melanda hutan barat AS dalam beberapa tahun terakhir memperparah serangan kumbang dalam dua cara: menambah tekanan pada pohon sehingga lebih mudah menyerah dan menyediakan lebih banyak waktu kepada kumbang untuk menyerang pepohonan. Kumbang di Montana, tutur Six, dulu biasanya pindah dari satu pohon ke pohon lainnya hanya selama dua minggu di  bulan Juli. Sekarang, musim terbang berlangsung sampai bulan Oktober. Itu berarti kumbang punya waktu tambahan untuk berkembang biak.

Kerja sama kumbang ini menakutkan. Kumbang dalam jumlah sedikit menyerang pohon kecil; kelompok yang berjumlah banyak mengincar sasaran besar. Sepertinya hewan ini hanya menyerang pohon besar saat tahu bahwa jumlahnya cukup untuk mengalahkannya. Bagaimana cara kumbang mengetahui hal tersebut? Carroll dan mahasiswa pascasarjananya Jordan Burke menduga kumbang mengetahuinya dari feromon. Kumbang yang menggerek pepagan melepaskan sinyal minta bantuan, dan berdasarkan jumlah feromon yang ada di udara dia mengetahui tersedia tidaknya bantuan serta aman tidaknya untuk bertelur. Apa pun penjelasannya, serangan kumbang memang akan semakin parah seiring waktu. Semakin besar pohon, semakin banyak keturunan yang dihasilkannya. Semakin banyak kumbang berarti lebih banyak serangan pada pohon yang besar dan sehat. Begitu terkumpul cukup kumbang untuk menghabisi pohon besar, petak hutan itu akan segera menemui ajalnya.

!break!

Pada 2013, ilmuwan di University of British Columbia melakukan pengurutan genom kumbang pinus gunung, menjadikannya spesies kedua dari lebih dari 400.000 spesies kumbang yang mendapat kehormatan itu. Tetapi Joerg Bohlmann, ahli biokimia tanaman yang memimpin proyek pengurutan ini, berpendapat bahwa solusi bioteknis terhadap epidemi kumbang pinus ini masih jauh.

“Kami harus sangat berhati-hati agar tidak menjanjikan hal yang tidak realistis,” katanya. Pestisida dapat menyelamatkan beberapa pohon tetapi tidak seluruh hutan; biayanya terlalu mahal, dan akan membunuh berbagai organisme lain. Pembiakan pohon tahan kumbang akan membutuhkan waktu puluhan tahun, sekalipun didukung oleh genetika modern. Sementara kumbang mungkin dapat beradaptasi dengan cepat dan mengalahkan daya tahan tersebut.

Untuk saat ini sebagian besar penelitian, dari pekerjaan genom hingga kumbang dalam ember Carroll, hanya bertujuan meningkatkan kemampuan kita memprediksi wabah serangga. “Tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti tempat kumbang kulit kayu ini lima tahun ke depan,” kata Bohlmann. “Itu masalah terbesarnya.” Jika kita bisa datang ke hutan itu seawal mungkin, saat populasi kumbang masih relatif kecil, kita dapat mengontrol serangannya. Setidaknya itulah teori yang sedang diuji di Alberta. Di banyak tempat di British Columbia dan bagian barat Amerika Serikat wabah ini melambat sendiri—di beberapa tempat karena tidak tersisa cukup banyak pohon yang dapat diserang. Namun, di Alberta wabah ini baru dimulai.

Alberta memiliki sekitar 60.000 kilometer persegi pinus, jauh lebih sedikit daripada British Columbia, tetapi hutan itu berada di daerah yang sangat penting, di hulu sungai gunung yang menyediakan air bagi padang rumput dan kota-kota di bawahnya. Jika hutan tersebut hancur, salju yang tidak terlindung akan mencair lebih cepat, dan sungai akan naik lebih awal—sebelum musim kemarau, ketika manusia dan ekosistem paling membutuhkan air.

!break!

Untuk menyelamatkan hutan, kita harus menebang banyak pohon; satu-satunya cara untuk menghentikan kumbang adalah dengan memastikan bahwa tidak ada satu pohon pun yang bisa diserangnya.

Strategi jangka panjang Alberta adalah menebang atau membakar sebagian areal hutan yang didominasi oleh pohon pinus dewasa dan dengan demikian sangat rentan terhadap serangan kumbang. Strategi jangka pendek adalah untuk melawan kumbang pohon demi pohon. Dalam dekade terakhir provinsi ini telah menghabiskan lebih dari empat triliun rupiah untuk menanggulangi serangan kumbang.

Sejauh ini Alberta perlahan-lahan berhasil mengurangi “pokok pinjamannya”—setidaknya di sebagian besar wilayah. Beberapa bagian dari provinsi itu disebut “zona bertahan”, tempat pemerintah hanya berusaha menjaga agar jumlah kumbang tidak bertambah. Bagian lain dianggap kalah: Terlalu banyak kumbang. Jika rimbawan tidak dapat memusnahkan setidaknya 80 persen dari pohon yang diserang, maka upaya mereka tidak ada artinya.

!break!

Apa yang akan terjadi selanjutnya dalam perang memperebutkan hutan Amerika Utara? Pada minggu-minggu basah pada awal musim semi, Alberta membakar onggokan besar pohon mati yang ditebang. Jika salah satu batang tersebut dipotong, kita dapat melihat noda biru nan indah yang menyebar di kayu kuning tersebut. Ini merupakan pertanda bahwa pohon itu mati akibat serangan kumbang pinus gunung, dan kayu kebiruan tersebut menciptakan industri rumahan pembuatan dinding, lemari, dan perabotan. Di seluruh bagian barat Amerika Serikat, dapat kita temui kayu pinus “korban kumbang” menghiasi rumah, toko, dan restoran. Rumah saya di Colorado memiliki langit-langit yang dibangun dari papan korban kumbang.

Rona biru itu disebabkan oleh jamur, salah satu dari dua jamur yang dibawa kumbang pinus gunung dalam “buntalan jamur” di kerangka luarnya. Saat kumbang menggerek pohon, jamur keluar dari buntalan dan tumbuh bersama larva, menyediakan makanan yang kaya nitrogen.

“Kumbang tidak dapat bertahan hidup hanya makan kayu,” kata Six. “Kayu tidak mengandung banyak nutrisi. Jamur berfungsi seperti suplemen gizi. Salah satu dari dua jamur itu tumbuh subur pada suhu dingin; yang lainnya menyukai cuaca hangat. Populasinya pada kumbang berubah sesuai suhu. “Jika suhu meningkat satu derajat saja,” katanya, “simbiosis yang terlihat sangat serasi itu mulai kacau.” Dalam satu abad jamur yang menyukai suhu dingin menghilang.

Itu memberi harapan. Jamur yang menyukai suhu dingin merupakan sumber nitrogen yang lebih baik; jamur itu memungkinkan kumbang menghasilkan keturunan sepertiga lebih banyak, yang dapat menjadi penentu nasib hutan. Six mengatakan bahwa jamur dingin sudah menghilang di wilayah Montana yang bersuhu hangat. Di beberapa hutan ponderosa ketinggian rendah, kurang dari satu persen kumbang yang masih membawanya. Pemanasan global menyebabkan kumbang berkembang—tetapi jika berlanjut, pemanasan dapat menghentikannya.

Atau mungkin juga tidak. Penelitian genom menunjukkan bahwa kumbang pinus gunung sama beragamnya seperti manusia. Keragaman genetis itu merupakan sumber adaptasi; demikian pula perilaku kumbang. Entah apa sebabnya, kumbang di ujung utara Pegunungan Rocky di Kanada tampaknya lebih mampu menghadapi suhu dingin daripada kumbang di Amerika Serikat. Belum ada yang mengetahui bagaimana respons spesies itu—atau hutan—terhadap masa depan yang lebih hangat.

!break!

Di Pegunungan Jemez di bagian utara New Mexico, beberapa kilometer sebelah barat Monumen Nasional Bandelier, Craig Allen menatap ke Ngarai Cochiti. Sungguh pemandangan menakjubkan, kecuali satu hal: Hampir setiap pohon yang terlihat sudah mati.

Allen, ahli ekologi hutan di USGS, tinggal dan berkantor di Bandelier dan telah menyaksikan pemandangan ini selama hampir 30 tahun, dan kesedihannya terlihat jelas. Bukan kumbang pinus gunung yang menjadi penyebabnya—Bandelier berada di ujung selatan kawasan kumbang itu—melainkan spesies kumbang kulit kayu yang lain. Dibantu pula oleh tiga kali kebakaran hutan besar, terakhir pada 2011.

Secara keseluruhan, sekitar dua pertiga pohon di Bandelier mati sejak 1996. Beberapa hutan lenyap, mati dalam kebakaran, mengubah hutan lebat menjadi padang rumput terbuka.

Yang terjadi di Pegunungan Jemez, kata Allen, merupakan contoh ekstrem fenomena global yang baru muncul—yang disebut Diana Six sebagai ekosistem di ujung tanduk.Di New Mexico, kumbang dan kebakaran menghancurkan sistem yang telah tertekan oleh kekeringan. Dan di seluruh dunia, seperti halnya di New Mexico, hutan yang tertekan oleh kekeringan sedang dijerumuskan ke jurang kehancuran oleh pendorong global: meningkatnya suhu.

Kita cenderung menyamakan kekeringan dengan kelangkaan hujan. Padahal udara hangat juga dapat menyedot cadangan air pohon, dengan mengisap lebih banyak uap air dari daun dan tanah.

Pegunungan Jemez mengalami keduanya: sangat kurangnya curah hujan yang diperparah oleh lonjakan suhu. Allen menyebut kombinasi kekeringan dan panas yang belum pernah terjadi sebelumnya ini sebagai kekeringan jenis-perubahan-global.

!break!

Kekeringan jenis ini menyebabkan matinya hutan di bagian lain dunia, dari Australia barat daya hingga pedalaman Asia, dari Amazon hingga Mediterania. Allen, Park Williams dari Columbia University, memproyeksikan bahwa pada 2050 tekanan yang dialami hutan barat daya akan lebih parah daripada kekeringan terburuk dalam milenium terakhir.

Kerusakan parah yang diakibatkan oleh kumbang pinus hanyalah merupakan kilasan bencana masa depan. Kini di sekitar Bandelier pohon mati bertumbangan setiap hari. Rambu peringatan jalan menggambarkan orang yang ditimpa kayu roboh.

Di sebagian besar wilayah tersebut, tutur Allen, pohon tidak tumbuh kembali; digantikan oleh rumput dan semak belukar. Dalam perjalanan turun ke Los Alamos, ia mencoba untuk membangkitkan harapan.Rusa menyukai padang rumput terbuka yang baru, ujarnya.

“Orang sering berkata ada sekian hektare lenyap,” katanya. “Namun, sejatinya tidak benar-benar hilang. Lahan masih ada, penuh dengan kehidupan baru. Saya pribadi kehilangan teman dalam kebakaran hutan itu—beberapa pohon purba yang sangat saya kenal dan cintai. Namun ekosistem ini sedang melakukan penyesuaian. Alam selalu dapat bertahan.”

Itu jelas sikap yang positif, tetapi tidak mudah untuk mempertahankannya.

Di Montana, Six juga menyaksikan perubahan besar-besaran pada lanskap yang sungguh dicintainya. Di belokan ke jalan hutan terdapat sebuah rambu yang bertuliskan, “Jaga Kehijauan Montana.” Six tertawa getir. “Ngomong sana sama kumbang,” katanya.