Hawaii Sejati

By , Kamis, 16 April 2015 | 18:04 WIB

Kolonisasi meninggalkan warisan pahit berupa cap permanen bagi penduduk Hawaii dari generasi Keaulana. Dia menjalani masa kecilnya dalam kemiskinan, sebagian besarnya di “lahan hibahan” dari negara di daerah Nanakuli, West Side.

Keaulana kabur dari rumah saat berusia sepuluh tahun. Dia berpindah-pindah di antara kerabat dan teman-temannya, berhenti sekolah setelah kelas delapan, dan sempat menjadi tunawisma. Laut menjadi penyelamatnya—“tempat untuk dituju,” katanya. Dia belajar memburu ikan dengan senapan. Saat remaja, dia bekerja sebagai penyelam, mengurai jaring sampan-sampan nelayan Filipina. Kemudian dia mengenal selancar.

Sejak peralihan abad anak-anak pantai Hawaii telah mengajari para wisatawan cara berselancar di ombak santai Waikiki, dan pada masa kanak-kanak Keaulana beberapa orang Hawaii masih terlihat menunggangi papan selancar dari kayu merah di pantai dekat Nanakuli. Dia berlatih menggunakan papan selancar kasar yang terbuat dari kayu penyangga rel yang ditempel dengan lem. Tetapi dia baru jatuh cinta pada olah raga ini saat berteman dengan beberapa peselancar haole pelopor, yang tiba di Makaha pada awal 1950-an.

!break!

Para pendatang baru itu menunggangi papan ringan yang terbuat dari kaca serat dan kayu balsa dan dilengkapi dengan sirip sehingga dapat dibelokkan dengan mudah. Makaha menjadi laboratorium bagi berbagai teknik selancar dan desain papan baru, selain lokasi penyelenggaraan kejuaraan selancar internasional pertama pada 1954. Keaulana segera dikenal sebagai salah seorang peselancar terbaik dari generasinya.

Setelah beberapa waktu menjadi tentara dan anak pantai di Waikiki, pada 1960 Keaulana kembali ke Makaha bersama istrinya dan bekerja sebagai penjaga taman kemudian penjaga pantai. Akhirnya Keaulana mampu membangun rumah, setelah dia menyelamatkan seorang kaya dari Texas yang pingsan saat berselancar di ombak besar. Pria itu memberi Keaulana uang sebesar $30.000 sebagai ungkapan terima kasih.

Keahlian manusia air Keaulana yang terkenal di mana-mana menobatkannya sebagai tokoh penting dalam kebangkitan kebudayaan dan politik Hawaii, yang dikenal dengan sebutan Renaissans Hawai Kedua. Pada 1977, dia menggelar kejuaraan selancar bertajuk namanya, dengan atmosfer pesta dan rangkaian acara yang mengingatkan pada festival Makahihi kuno yang diselenggarakan untuk menghormati dewa Hawaii, Lono. Status Keaulana yang mirip kepala suku ditunjang oleh sosoknya yang tegap dan, saat diperlukan, “tatapan yang membekukan tulang,” menurut ucapan putra sulungnya, Brian, yang juga menambahkan, “Semua orang di sini sudah mengenal tatapan itu.”

“Paman Buff” sangat pragmatik, sebagaimana yang ditunjukkannya dalam penyelenggaraan kejuaraannya. Para wisatawan yang sudah mengemudi dari Honolulu kerap mendapati mobil sewaan mereka dengan kaca jendela pecah dan dompet yang sudah lenyap. “Mereka telah bertindak bodoh. Mereka membawa banyak uang,” kata Keaulana. Dia pun mencari identitas penduduk lokal yang bertanggung jawab atas aksi kriminal itu—“semua pencuri dan pembuat onar”—dan mempekerjakan mereka sebagai penjaga keamanan.

Beberapa tahun belakangan resor-resor mulai bermunculan di West Side, dan rumah-rumah peristirahatan dibangun di antara rumah-rumah sederhana yang memadati kedua ujung pantai emas Makaha. Namun, dalam hal lain tidak banyak terjadi perubahan. Di sebuah meja piknik di pinggir pantai, Keaulana dan paman-paman sejawatnya menghabiskan waktu dengan mengobrol atau bermain domino, dan menerima orang luar dengan penuh kecurigaan, paling tidak pada awalnya. “Anda punya kartu identitas?” tanya salah seorang paman saat saya pertama kali muncul de­ngan membawa buku catatan dan pertanyaan. Saya menanyakan kepadanya apakah dia mengkhawatirkan banjir orang asing dalam kejuaraan selancar. “Kami mati-matian menegakkan peraturan, brah.”

!break!

Kelompok-kelompok masyarakat yang secara keseluruhan dikenal sebagai West Side berada di sepanjang Farrington Highway di Oahu, yang berawal di barat Pearl Harbor dan melintasi Makaha sebelum berakhir di Kaena Point, dekat ujung barat laut pulau itu. Berada di sepanjang kaki Jajaran Gunung Waianae, West Side merupakan garis pantai miskin curah hujan dan salah satu wilayah mapan tertua di Oahu. Di sana-sini terdapat reruntuhan kuil batu dan kolam ikan, selain gema masa lalu Hawaii yang lebih modern: kios-kios pinggir jalan yang menjual poke (ikan mentah) dan (laulus) daging babi yang dibungkus daun talas, kano bercadik yang ditambatkan di pantai di Pokai Bay. Tetapi sebagian besarnya bukan Hawaii yang terdapat di brosur-brosur pariwisata. Jalan raya di pusat kota Waianae diapit oleh gerai-gerai makanan cepat saji, pelelangang, dan pusat-pusat perbelanjaan kotor. Para tunawisma berkemah di antara pepohonan di dekat dermaga perahu. Saya mengunjungi Waianae untuk menemui salah seorang “pembuat onar” Keaulana, peselancar berbakat luar biasa dengan masa lalu bermasalah, Sheldon Paishon.

Saya memasuki lingkungan dengan rumah-rumah bobrok, salah satunya berpintu depan seprai yang tergantung. Paishon melongok dari balik seprai dan mengikuti saya ke mobil.

Lahir di West Side pada 1993, Paishon berpe­rawakan kerempeng dan rambut mengembang terbakar matahari. Saya menawari sarapan. Dia menolak, menjelaskan bahwa dia sudah makan kemarin malam. Katanya, ibunya tengah meminta-minta di Waianae Mall ketika seseorang memberinya seember Kentucky Fried Chicken, yang dibawanya pulang untuk keluarganya. “Dia bertemu orang yang tepat,” kata Paishon. “Dia diberkati.”

Kami bermobil ke Makaha di utara, berhenti sejenak agar Paishon dapat mengambil papan selancarnya saat ini—benda mengenaskan bermoncong patah—dari semak-semak tempat dia menyembunyikannya. Kami melanjutkan perjalanan dan beberapa menit kemudian berhenti di pinggir pantai di Yokohama Bay.