Hawaii Sejati

By , Kamis, 16 April 2015 | 18:04 WIB

Di kepulauan selancar, gelombang hari itu mengecewakan—lembek, hanya setinggi dada, dan jarang terlihat. Tetap saja, orang Hawaii tidak pernah memerlukan banyak alasan untuk menyambar papan selancar mereka dan turun ke laut. Itu terlihat dari zona peluncuran yang sesak. Remaja-remaja dengan papan pendek, ibu-ibu dengan papan panjang, anak-anak sekolah dengan papan badan.

Beberapa dari mereka berajah layaknya pendekar Polynesia. Sembari menunggangi papan selancar di perairan dalam di dekat terumbu karang, saya mengamati kerumunan manusia itu dengan perut mencelus, merasa salah tempat.

Makaha telah lama dikenal sebagai pantai yang didatangi oleh para haole, istilah Hawaii untuk orang kulit putih dan pendatang lainnya, untuk menantang bahaya. Terletak di pesisir barat Oahu, jauh dari keramaian Sunset Beach atau Pipeline di Pesisir Utara atau Waikiki Beach yang selalu dijejali turis, pantai ini terkenal akan komunitas yang didominasi oleh keturunan para penjelajah laut dari Polynesia yang kemudian menetap di kepulauan ini.

Bahkan penduduk Makaha yang telah menerima pengambilalihan Hawaii oleh Amerika Serikat pada 1898—sebagian dari mereka masih belum menerima—tetap teguh mencegah hal yang sama terjadi pada ombak mereka. Ada cerita tentang para peselancar asing yang dikejar ombak di sini, beberapa di antara mereka mengalami patah hidung, setelah melanggar beberapa aturan tidak tertulis. Saya bertekad menghindari nasib serupa.

!break!

Selama setengah jam saya mengambang di dekat zona peluncuran, menunggu giliran, sebelum a­khirnya melihat ombak yang belum diincar oleh peselancar lain. Saya memutar papan saya ke arah pantai dan mengayuh kuat-kuat. Tetapi, tepat ketika saya berhasil menambah kecepatan, seorang remaja bersepatu katak memburu ombak yang sama de­ngan muka datar, meluncur tepat menyongsongnya. Saya menyerah dan mengayuh mundur.

Namun, setelah beberapa pekan di Makaha saya mulai mengerti bahwa yang terlihat sebagai proteksionisme brutal ternyata lebih rumit. Warga Hawaii, yang sudah lama menjadi fanatik selancar, mulai menggemari olah raga itu sejak awal Perang Salib.

Mereka juga, bisa dibilang, orang yang selamat. Sejak kedatangan orang kulit putih pertama pada akhir abad ke-18, sejarah mereka diwarnai oleh kehilangan—pertama jumlah jiwa, karena wabah penyakit asing merambah mereka, kemudian tanah, kebangsaan, dan kebudayaan. Bagi orang Hawaii, selancar adalah mata rantai nyata yang menghubungkan mereka dengan masa lalu prakolonial dan serpihan terakhir identitas ke­budayaan mereka. Wajar jika mereka agak garang dalam urusan ombak.

“Orang sini sebenarnya baik, tetapi jika Anda memperlakukan mereka dengan buruk, mereka akan membalas Anda.” Pengucapnya seorang pria yang duduk di batang kayu yang hanyut ke pantai. Walaupun sudah jauh melampaui usia pensiun, dia masih terlihat gagah. Rambutnya putih cemerlang, dan wajahnya yang mirip lempeng batu mengingatkan kepada para alii, atau kepala suku Hawaii kuno, yang memang leluhurnya.

“Orang-orang itu, kalau mereka sudah mengatakan akan melakukan sesuatu kepada Anda, mereka benar-benar akan melakukannya,” katanya. “Ingat saja di mana Anda berada.”

!break!

Mengenai Makaha dan adat istiadatnya, tidak ada yang memiliki wewenang lebih tinggi dari Richard “Buffalo” Keaulana, pria berdarah Hawaii murni—sesuatu yang kini langka—yang menghabiskan sebagian besar dari 80 tahun usianya di West Side, Oahu. Kedudukannya di komunitas ini berkaitan erat dengan laut. Keaulana adalah peselancar berbakat luar biasa yang juga penjaga pantai penuh-waktu Makaha pertama dan penggagas kompetisi selancar tersohor bertajuk Buffalo Big Board Surfing Classic. Hingga saat ini dia dianggap sebagai “paman”—sebutan untuk sesepuh Hawaii yang berperan sebagai pelindung bagi komunitas mereka—Makaha paling ternama dan dihormati di seluruh kepulauan sebagai perwujudan dari “manusia air,” seseorang yang serba bisa di air, yang menggabungkan rasa hormat kepada laut dengan pengetahuan mendalam, keahlian, dan keberanian. “Salah satu kaum tradisionalis terakhir,” kata seorang pengagumnya.

Etos manusia air berasal dari orang-orang Hawaii pertama, yang diyakini berlayar ke kepulauan itu menggunakan perahu berhaluan ganda dari Marquesas sekitar tahun 700 Masehi, diikuti oleh pelaut serupa dari Tahiti lima abad kemudian. Para pendatang ini mungkin sudah mengenal selancar, paling tidak dasar-dasarnya, namun di kampung halaman baru inilah olah raga itu menjadi bagian penting kebudayaan. Ada banyak kuil selancar, dewa selancar, kejuaraan selancar dengan penonton yang bertaruh untuk hasilnya.

Kaum bangsawan menunggangi papan olo besar yang dibuat dari kayu wiliwili atau pohon koa, sementara rakyat mereka biasanya menggunakan papan alaia yang lebih pendek dan tipis.

!break!

Para misionaris dari New England, yang mengikuti pendaratan penjelajah Inggris, James Cook, pada 1778 kerap disalahkan karena melarang olah raga yang oleh penduduk asli disebut he’e nalu. Keberatan utama mereka, sepertinya, adalah penduduk lokal lebih suka berselancar tanpa busana. Bagi masyarakat Hawaii sendiri, ada yang jauh lebih berbahaya daripada selancar, yakni kedatangan penyakit dari Eropa, misalnya cacar. Ketika Kongres secara resmi merangkul Hawaii pada 1898, populasi penduduk aslinya telah anjlok menjadi sekitar 40.000 dari 800.000 saat pendaratan Cook.

Kolonisasi meninggalkan warisan pahit berupa cap permanen bagi penduduk Hawaii dari generasi Keaulana. Dia menjalani masa kecilnya dalam kemiskinan, sebagian besarnya di “lahan hibahan” dari negara di daerah Nanakuli, West Side.

Keaulana kabur dari rumah saat berusia sepuluh tahun. Dia berpindah-pindah di antara kerabat dan teman-temannya, berhenti sekolah setelah kelas delapan, dan sempat menjadi tunawisma. Laut menjadi penyelamatnya—“tempat untuk dituju,” katanya. Dia belajar memburu ikan dengan senapan. Saat remaja, dia bekerja sebagai penyelam, mengurai jaring sampan-sampan nelayan Filipina. Kemudian dia mengenal selancar.

Sejak peralihan abad anak-anak pantai Hawaii telah mengajari para wisatawan cara berselancar di ombak santai Waikiki, dan pada masa kanak-kanak Keaulana beberapa orang Hawaii masih terlihat menunggangi papan selancar dari kayu merah di pantai dekat Nanakuli. Dia berlatih menggunakan papan selancar kasar yang terbuat dari kayu penyangga rel yang ditempel dengan lem. Tetapi dia baru jatuh cinta pada olah raga ini saat berteman dengan beberapa peselancar haole pelopor, yang tiba di Makaha pada awal 1950-an.

!break!

Para pendatang baru itu menunggangi papan ringan yang terbuat dari kaca serat dan kayu balsa dan dilengkapi dengan sirip sehingga dapat dibelokkan dengan mudah. Makaha menjadi laboratorium bagi berbagai teknik selancar dan desain papan baru, selain lokasi penyelenggaraan kejuaraan selancar internasional pertama pada 1954. Keaulana segera dikenal sebagai salah seorang peselancar terbaik dari generasinya.

Setelah beberapa waktu menjadi tentara dan anak pantai di Waikiki, pada 1960 Keaulana kembali ke Makaha bersama istrinya dan bekerja sebagai penjaga taman kemudian penjaga pantai. Akhirnya Keaulana mampu membangun rumah, setelah dia menyelamatkan seorang kaya dari Texas yang pingsan saat berselancar di ombak besar. Pria itu memberi Keaulana uang sebesar $30.000 sebagai ungkapan terima kasih.

Keahlian manusia air Keaulana yang terkenal di mana-mana menobatkannya sebagai tokoh penting dalam kebangkitan kebudayaan dan politik Hawaii, yang dikenal dengan sebutan Renaissans Hawai Kedua. Pada 1977, dia menggelar kejuaraan selancar bertajuk namanya, dengan atmosfer pesta dan rangkaian acara yang mengingatkan pada festival Makahihi kuno yang diselenggarakan untuk menghormati dewa Hawaii, Lono. Status Keaulana yang mirip kepala suku ditunjang oleh sosoknya yang tegap dan, saat diperlukan, “tatapan yang membekukan tulang,” menurut ucapan putra sulungnya, Brian, yang juga menambahkan, “Semua orang di sini sudah mengenal tatapan itu.”

“Paman Buff” sangat pragmatik, sebagaimana yang ditunjukkannya dalam penyelenggaraan kejuaraannya. Para wisatawan yang sudah mengemudi dari Honolulu kerap mendapati mobil sewaan mereka dengan kaca jendela pecah dan dompet yang sudah lenyap. “Mereka telah bertindak bodoh. Mereka membawa banyak uang,” kata Keaulana. Dia pun mencari identitas penduduk lokal yang bertanggung jawab atas aksi kriminal itu—“semua pencuri dan pembuat onar”—dan mempekerjakan mereka sebagai penjaga keamanan.

Beberapa tahun belakangan resor-resor mulai bermunculan di West Side, dan rumah-rumah peristirahatan dibangun di antara rumah-rumah sederhana yang memadati kedua ujung pantai emas Makaha. Namun, dalam hal lain tidak banyak terjadi perubahan. Di sebuah meja piknik di pinggir pantai, Keaulana dan paman-paman sejawatnya menghabiskan waktu dengan mengobrol atau bermain domino, dan menerima orang luar dengan penuh kecurigaan, paling tidak pada awalnya. “Anda punya kartu identitas?” tanya salah seorang paman saat saya pertama kali muncul de­ngan membawa buku catatan dan pertanyaan. Saya menanyakan kepadanya apakah dia mengkhawatirkan banjir orang asing dalam kejuaraan selancar. “Kami mati-matian menegakkan peraturan, brah.”

!break!

Kelompok-kelompok masyarakat yang secara keseluruhan dikenal sebagai West Side berada di sepanjang Farrington Highway di Oahu, yang berawal di barat Pearl Harbor dan melintasi Makaha sebelum berakhir di Kaena Point, dekat ujung barat laut pulau itu. Berada di sepanjang kaki Jajaran Gunung Waianae, West Side merupakan garis pantai miskin curah hujan dan salah satu wilayah mapan tertua di Oahu. Di sana-sini terdapat reruntuhan kuil batu dan kolam ikan, selain gema masa lalu Hawaii yang lebih modern: kios-kios pinggir jalan yang menjual poke (ikan mentah) dan (laulus) daging babi yang dibungkus daun talas, kano bercadik yang ditambatkan di pantai di Pokai Bay. Tetapi sebagian besarnya bukan Hawaii yang terdapat di brosur-brosur pariwisata. Jalan raya di pusat kota Waianae diapit oleh gerai-gerai makanan cepat saji, pelelangang, dan pusat-pusat perbelanjaan kotor. Para tunawisma berkemah di antara pepohonan di dekat dermaga perahu. Saya mengunjungi Waianae untuk menemui salah seorang “pembuat onar” Keaulana, peselancar berbakat luar biasa dengan masa lalu bermasalah, Sheldon Paishon.

Saya memasuki lingkungan dengan rumah-rumah bobrok, salah satunya berpintu depan seprai yang tergantung. Paishon melongok dari balik seprai dan mengikuti saya ke mobil.

Lahir di West Side pada 1993, Paishon berpe­rawakan kerempeng dan rambut mengembang terbakar matahari. Saya menawari sarapan. Dia menolak, menjelaskan bahwa dia sudah makan kemarin malam. Katanya, ibunya tengah meminta-minta di Waianae Mall ketika seseorang memberinya seember Kentucky Fried Chicken, yang dibawanya pulang untuk keluarganya. “Dia bertemu orang yang tepat,” kata Paishon. “Dia diberkati.”

Kami bermobil ke Makaha di utara, berhenti sejenak agar Paishon dapat mengambil papan selancarnya saat ini—benda mengenaskan bermoncong patah—dari semak-semak tempat dia menyembunyikannya. Kami melanjutkan perjalanan dan beberapa menit kemudian berhenti di pinggir pantai di Yokohama Bay.

!break!

“Yokes” dianggap sebagai tempat pecahnya ombak terberat di West Side. Ombak besar dan kuat menggulung di daerah terumbu dangkal. Tetapi tanpa ragu-ragu Paishon bergabung dengan belasan peselancar yang sudah berada di air, dan sejenak kemudian dia mendominasi lapangan. Dia berselancar dengan keanggunan dan keberanian yang jarang saya lihat di video-video selancar profesional. Setengah jam kemudian dia mematahkan papannya menjadi dua bagian dan berenang kembali ke pantai.

Seorang penjaga pantai yang melihat aksinya berkata, “Jangan pernah menilai seekor ikan dengan kemampuannya memanjat pohon.”

Pernyataan yang kedengarannya misterius, tetapi bagi siapa pun yang mengenal Paishon dan sejarahnya, ini sangat masuk akal: Hanya segelintir peselancar di West Side yang menunjukkan bakat sebesar itu di air walaupun kehidupan mereka di darat penuh kesusahan. Ada kesamaan jelas antara kisah Paishon dan Buffalo Keaulana. Keduanya dibesarkan di tengah kemiskinan dan ketunawismaan, dan keduanya menemukan gairah hidup di laut. Tetapi, kalau Keaulana membawa talenta manusia airnya menuju ketenaran dan kehidupan yang nyaman, Paishon masih berjuang untuk menemukan tempatnya di dunia, memimpikan karier selancar profesional namun tidak melihat jalan menuju ke sana.

!break!

Seperti banyak orang di West Side, Paishon berasal dari beraneka ragam keturunan etnis. Ibunya, Sharon, adalah haole dari New Jersey. Ayahnya yang berbahasa pijin, Don, adalah keturunan imigran Portugis yang tiba di kepulauan itu lebih dari seabad silam—bersama orang-orang Tiongkok, Jepang, dan Filipina—untuk bekerja di perkebunan tebu. Garis pemisah antara penduduk asli dan pendatang sudah lama kabur, dan Don Paishon berasumsi bahwa dia dan putranya memiliki sekelumit darah Hawaii, walaupun tidak bisa memastikannya. Kendati begitu, ketika saya menanyakan apakah dia menganggap dirinya orang Hawaii, Sheldon mengangguk empatik. “Di sini,” katanya sambil menepuk dada. “Di hati.”

Walau Paishon membanggakan identitas Hawaii-nya, dia menghadapi banyak tantangan di West Side, sebagai salah satu lingkungan termiskin.

Ketika dia berusia 12, orangtuanya yang pengangguran tidak mampu lagi membayar apartemen mereka. Selama beberapa tahun berikutnya, keluarganya tinggal di sebuah tenda di utara Makaha, perkemahan tunawisma terbesar di Hawaii ketika itu. Sharon menderita depresi, dan Don mengisap “es”, sebutan populer untuk metamfetamin. “Saya menyukai sensasi suntikan energi dan mabuknya,” Don memberi tahu saya.

Bagi anak-anak mereka, bagaikan kamping di neraka yang diperpanjang waktunya. “Menjijikkan, bau, hujan, dingin, dan menakutkan,” Paishon mengenang. “Kaki seribu berukuran besar-besar merayap di dalam tenda. Banyak pasir di ranjang. Ini berbeda dari yang orang-orang kira.” Sebuah ember dijadikan toilet, dan menu makan malam biasanya daging babi dan kacang-kacangan yang dipanaskan di atas api unggun.

!break!

Seperti Keaulana, Paishon memperoleh kedamaian di laut. Dia memiliki bakat alam dalam olah raga ini, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk menarik perhatian seorang paman. Mereka membantunya dengan memberi lebih banyak papan selancar selain makanan, pakaian, dan petuah—simpangan modern dari sistem hānai di Hawaii, di mana keluarga secara informal mengadopsi anak-anak teman atau kerabat dan membesarkan mereka selayaknya anak mereka sendiri. “Kamilah keluarganya yang sesungguhnya di sini,” kata salah seorang paman.

Saat Paishon berusia awal remaja, dia rutin mengikuti kejuaraan selancar junior Oahu yang sangat kompetitif. Para saingannya datang di antar orangtua mereka, membawa kanopi pantai, kamera video, boks pendingin, dan papan selancar yang ditempeli logo-logo sponsor. Paishon tidak punya sponsor dan sudah beruntung kalau ibunya mau datang membawa handuk pantai.

Lain cerita di sekolah, tempat Paishon berjuang menaklukkan matematika dasar dan membaca, dan diejek oleh teman-teman sekelasnya gara-gara baju-bajunya berjamur. “Semua orang mengolok-olok saya karena mereka tahu bahwa saya gelandangan,” katanya. “Mereka menjuluki saya peselancar kumuh.” Dia mulai membolos demi selancar. Ketika dia masuk, para guru memarahinya karena dia membaca majalah selancar di dalam kelas. Dia berhenti dalam upaya menyelesaikan kelas sembilan.

Sepasang suami istri yang anaknya berkompetisi melawan Paishon di kejuaraan junior menawarinya tinggal di rumah mereka dan membiayainya mengikuti kejuaraan-kejuaraan selancar di Calfornia dan tempat-tempat lainnya. Namun, ibu Paishon menolak menandatangani surat kuasa pengacara. “Padahal mungkin itu lebih baik,” kata Paishon. “Mungkin saat ini saya sudah menjadi juara dunia.”

!break!

Beberapa luka dibuat sendiri. Paishon mengakui bahwa dia sempat bergaul dengan orang-orang yang salah dan mengisap pakalolo—mariyuana—yang kadang-kadang dia bayar dengan menjual salah satu papan selancar pemberian orang lain.  “Saya pernah menempeleng kepalanya,” kata salah seorang paman. “Saya bilang kepadanya, ‘Kamu menyia-nyiakan bakat, satu lagi bakat yang terbuang di daerah Waianae, satu lagi jiwa yang melayang.”

Cobaan terberat datang ketika Paishon dituduh mencuri $1.200 dari pacar seorang penyelenggara kejuaraan. Paishon tidak pernah dihukum, tetapi reputasinya hancur. Sponsor-sponsor potensial berpaling darinya.

Pada suatu larut malam di musim semi, saya bermobil dengannya melewati Waianae High School, saat upacara wisuda angkatan 2013—angkatan Paishon, seandainya dia masih sekolah—sedang berlangsung. Paishon membisu menyaksikan para lulusan dengan gembira membanjiri jalan bersama orangtua dan saudara-saudara mereka. Akhirnya dia berkata, “Seandainya saya lulus.”

Enam bulan kemudian saya mendengar bahwa Paishon sudah mendapatkan pekerjaan. Seorang teman menyuruhnya mencuci mobil. “Semua orang memandang saya dengan cara berbeda sekarang karena saya sudah bekerja,” katanya. “Ini langkah maju saya.” Dia berencana memanfaatkan gajinya untuk membiayai perjalanan selancar ke Indonesia, kemudian pulang ke Hawaii untuk mengikuti putaran kejuaraan baru yang diharapkannya akan menarik perhatian sponsor. “Sebelumnya saya tidak mengetahui apa yang saya inginkan,” katanya. “Sekarang saya tahu. Menjadi peselancar profesional. Itulah impian saya.”

!break!

Setelah kegagalan pertama saya berselancar di Makaha, saya menemui Bruce DeSoto, anggota salah satu keluarga paling terpandang di Makaha. Saya meminta nasihat darinya. Dia menjawab, “Ketika ada orang baru memasuki antrian, kami berharap mereka memperkenalkan diri dan paling tidak menyapa.” Dia melanjutkan, “Yang paling mendasar adalah rasa hormat. Kalau Anda menunjukkan rasa hormat, Anda akan disambut baik, dan sesudah itu Anda bisa berselancar di tempat kami kapan pun Anda mau. Tetapi, kalau Anda tidak menunjukkan rasa hormat, berarti Anda punya masalah.”

Beberapa hari kemudian saya mendapatkan kesempatan untuk mempraktikkan nasihat ini. Gelombang besar datang, dan ombak-ombak yang muncul lebih besar daripada yang sudah-sudah. Saya mendayung dan mengobrol dengan seorang pria Hawaii tegap berusia awal 40-an. Ternyata dia penjaga pantai di Makaha yang bekerja sampingan membentuk papan selancar. Dia bercerita dengan bangga tentang ketiga anaknya dan rencana mereka mengikuti kejuaraan selancar di Honolulu.

Kemudian kami berdua melihat ombak tinggi. Saya menatapnya. Untuk saya? Anggukan tegasnya seolah-olah berkekuatan telepati. Saya mendayung sekuat tenaga dan menjatuhkan diri ke ombak itu, tembok air biru kobalt besar berketinggian 2,5 meter yang membaya saya melewati karang.

---

John Lancaster menulis profil ibu kota Kazakhstan, Astana, di edisi Februari 2012. Karya terbaru fotografer Paul Nicklen adalah “Yukon: Canada’s Wild West” untuk edisi Februari 2014.