Akhirnya, Pluto!

By , Selasa, 23 Juni 2015 | 17:39 WIB
!break!

Kelahiran yang Bergolak

Selain bukan lagi planet, Pluto bahkan bukan lagi benda yang unik. Pluto hanya satu di antara ribuan dunia yang menghuni sabuk Kuiper—cincin puing luas di luar Neptunus yang ditempati komet dan planet kerdil es yang tak terhitung jumlahnya. Sidik jari dari masa awal tata surya masih tercetak pada bongkah-bongkah berusia 4,6 miliar tahun ini.

Arsitektur sabuk Kuiper menandakan terjadinya suatu perubahan dahsyat susunan planet-planet raksasa pada awal waktu, migrasi besar yang melontarkan benda-benda kecil. Para ilmuwan berharap bahwa kawah yang bertebaran di permukaan Pluto dan Charon dapat digunakan untuk menyurvei populasi sabuk Kuiper dan merekronstruksi perubahan yang dialaminya seiring waktu. Meskipun sulit dilakukan, pengukuran ini penting untuk menyelaraskan berbagai pemikiran tentang cara migrasi planet raksasa membentuk tata surya awal. “Kami menduga sabuk Kuiper jauh lebih besar massanya pada awal waktu,” kata Stern.

Yang kita pelajari dari Pluto juga dapat memberi sedikit gambaran tentang proses-proses yang membentuk Bumi. Dulu, selubung gas hidrogen dan helium meliputi dunia kita pada awal hidupnya. Selama jutaan tahun, atmosfer itu lepas ke ruang angkasa. Di tata surya kita, hanya di Pluto kita dapat mempelajari peristiwa serupa itu sedang berlangsung, kata Stern, meskipun atmosfernya terbuat dari nitrogen. Kemiripannya tidak sampai di situ saja. Para ilmuwan menduga bahwa bulan Pluto, Charon, terbentuk dari tabrakan besar, mirip dengan tabrakan yang menghasilkan bulan kita sendiri. Tetapi, sementara bulan kita menggumpal dari cakram puing leleh yang terbentuk dari tabrakan tersebut, Charon terlepas dari Pluto dalam keadaan relatif utuh. Dan sementara pertumbuhan bulan kita menyebabkan langit kita relatif bersih, gravitasi Pluto yang lebih lemah membiarkan puing dari tabrakan itu terbang lebih jauh, menyebabkan sistem biner itu ditebari puing antariksa yang dapat mengancam kunjungan New Horizons.

!break!

Perjalanan Berbahaya

Diluncurkan dari Cape Canaveral di Florida, pesawat antariksa NASA melesat di tata surya, menempuh rata-rata hampir 1,6 juta kilometer per hari. Pesawat ini tiba di Yupiter lebih dari setahun kemudian, dan memanfaatkan gravitasi planet raksasa itu untuk meningkatkan kecepatan dan memangkas hampir empat tahun dari total waktu perjalanan. Tetapi, dengan percepatan itu pun, New Horizons masih perlu delapan tahun lagi untuk mencapai si mantan planet, yang rata-rata jaraknya dari matahari sekitar 40 kali jarak Bumi dan matahari. Suhu di Pluto dapat mendekati -240 derajat Celsius.

Para ilmuwan tidak benar-benar tahu apa yang akan ditemukan di sana—atau apakah kecepatan pesat pesawat antariksa akan membawanya melewati sistem Pluto dengan selamat, yang barangkali penuh ranjau. “Benda apa pun yang sebesar pasir berpotensi bahaya bagi pesawat antariksa,” kata Mark Showalter dari SETI Institute, anggota tim penilaian bahaya untuk misi itu. “Jika sampai memutus hubungan listrik atau mengenai unit pemrosesan komputer, benda itu dapat merusak pesawat antariksa hingga tak dapat diperbaiki.”

Minggu-minggu menjelang pertemuan dengan Pluto akan dihiasi analisis tegang terhadap foto-foto terbaru dari New Horizons. Seperti yang dilakukan Tombaugh, tim akan mencari apa pun yang bergerak, piksel khas yang menandakan bulan tersembunyi yang mungkin melepaskan debu.

Para ilmuwan telah merencanakan beberapa lintasan alternatif di sistem Pluto, sekiranya bahaya seperti itu muncul. Semua alternatif itu akan merugikan penelitian ilmiah misi itu. Tetapi, informasi apa pun tidak sepadan dengan memilih lintasan berbahaya bagi pesawat antariksa itu. “Alasan kita pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi adalah untuk melihat apa yang ada di sana,” kata Showalter. “Kita mencari kejutan, dan saya berharap saja bahwa kejutan itu tidak berbahaya.”

Mereka sudah tahu bahwa planet kerdil itu akan berwarna kemerahan (karena cahaya matahari bereaksi dengan molekul organik di permukaannya) dan diliputi beberapa jenis es. Foto samar dari Hubble mengungkapkan daerah-daerah di Pluto yang sangat gelap maupun sangat terang, dan sebagian ilmuwan menduga bahwa senyawa organik mewarnai beberapa bagian planet kerdil itu menjadi gelap. Beberapa wilayah permukaan lain menyiratkan adanya es musiman yang terbentuk di medan warna-warni, dan para ilmuwan tidak akan heran jika ada asap meletus dari Pluto. Di atas­nya melayang atmosfer nitrogen besar, mungkin 350 kali lebih besar daripada Pluto sendiri.

“Saya menduga kita akan melihat kabut dan mungkin awan tebal,” kata anggota tim Fran Bagenal dari University of Colorado Boulder.

Namun, anggota tim menebak tentang segala macam hal, dari diameter Pluto hingga jumlah bulan baru hingga apakah akan ada kawah, lembah, atau gunung letus es di Pluto dan Charon. Sebagian anggota tim bahkan berpikir Charon mungkin lebih menarik. “Sistem ini sangat kaya untuk ukurannya yang kecil, dan mungkin banyak teori kita yang keliru,” kata John Spencer dari Southwest Research Institute.

Untuk benar-benar mengenal Pluto, kita harus ke sana dan menatap dunia itu. Perlu waktu 85 tahun, tetapi kita akhirnya akan bertemu dengan planet kecil Tombaugh yang selalu diperdebatkan itu. Dari segi tertentu, dia juga ikut: Di New Horizons tersimpan sebotol kecil abu Tombaugh, utusan simbolis yang akan melewati Pluto dan masuk lebih dalam ke sabuk Kuiper, mungkin mengejar dunia kecil lain untuk dijelajahi.