Akhirnya, Pluto!

By , Selasa, 23 Juni 2015 | 17:39 WIB

Kecil, dingin, dan nun jauh di sana, Pluto senantiasa menutup rapat rahasianya.

Sejak ditemukan pada 1930, planet kerdil ini beredar di luar jangkauan. Permukaannya yang beku menjadi misteri yang tak terlihat tajam melalui teleskop terkuat sekalipun. Kita tahu tentang Pluto, tetapi tidak benar-benar mengenal sosoknya.

Itu akan berubah pada 14 Juli, ketika pesa­wat antariksa New Horizons milik NASA dijadwalkan terbang hingga 12.500 kilometer dari si kerdil beku. Jika berjalan lancar, per­temuan dekat yang singkat ini akan me­nyingkapkan dunia terakhir yang belum ter­jelajahi dalam tata surya klasik. Akhirnya, kita benar-benar dapat melihat permukaannya dan permukaan bulan terbesarnya, Charon. Para ilmuwan memiliki beberapa dugaan tentang apa yang akan ditemukan, tetapi hanya ada satu hal yang mereka yakini, yaitu bahwa Pluto pasti bakal mengejutkan.

“Pluto yang selama ini kita bayangkan akan sirna bagai asap,” kata Alan Stern, penyelidik utama New Horizons.

!break!

Misteri si X

Ini bukan pertama kalinya Pluto menjungkir­balikkan dugaan. Pada 2006, ketika New Horizons diluncurkan, Pluto lenyap dari daftar planet dan muncul kembali sebagai “planet kerdil.” Tetapi, sejak ditemukan, Pluto memang merupakan dunia yang sulit dipahami.

Pada 1840-an kalkulus rumit sudah me­ramalkan adanya planet di luar orbit Neptunus. Perhitungan berdasarkan massa Neptunus menunjukkan bahwa orbit raksasa es itu, dan orbit tetangganya, Uranus, tidak terlalu pas dengan prediksi gerakan planet. Jadi, sebagian astronom menduga ada satu dunia besar yang belum ditemukan di tepi tata surya yang menyikut kedua raksasa es itu dan menyebabkan orbitnya menyimpang.

Pada pergantian abad, perburuan planet gaib itu sudah memperoleh momentum: siapa pun yang menemukannya akan meraih kehormatan besar sebagai penemu planet baru pertama setelah lebih dari 50 tahun. Dengan menyebut dunia pengelana itu “Planet X,” aristokrat Boston bernama Percival Lowell—mungkin paling dikenal karena mengaku melihat saluran pengairan di permukaan Mars—mulai mencari secara bersemangat. Lowell telah membangun observatorium sendiri di Flagstaff, Arizona, dan pada 1905 tempat itu menjadi episentrum pencarian Planet X, dengan Lowell menghitung berulang-ulang kemungkinan posisinya dan meminjam peralatan untuk perburuan itu. Namun, Lowell wafat pada 1916, tanpa mengetahui bahwa Planet X memang benar ada.

Lompat ke 1930. Pada suatu sore Februari, Clyde Tombaugh yang berusia 24 tahun sedang bercokol di tempatnya di Observatorium Lowell. Datang dari ladang pertanian Kansas, Tombaugh ditugasi mencari planet Lowell yang sukar ditangkap itu. Dia tidak pernah kuliah astronomi, tetapi terampil membuat teleskop, kadang-kadang dari onderdil mobil dan benda-benda lain yang ganjil.

Dia juga perfeksionis. “Sewaktu saya me­nanam gandum,” tulisnya dalam memoar yang terbit pada 1980, “baris-baris di ladang harus lurus, atau saya tidak akan puas. Di kemudian hari, setiap tersangka-planet, sesamar apa pun, harus diperiksa...Pekerjaan paling membosankan yang pernah saya lakukan.”

Tombaugh mencari benda gaib itu selama setahun, menggunakan alat yang disebut pembanding kedip. Dengan mesin berisik itu, pengguna dapat melihat bolak-balik dua foto langit dengan penyinaran panjang, biasanya berisi ratusan ribu bintang, yang diambil dengan selang beberapa hari. Benda apa pun yang berpindah jauh pada jarak waktu itu—planet atau asteroid, misalnya—akan terlihat bergerak saat beralih foto.

Pada suatu sore tanggal 18 Februari, Tombaugh sedang bertugas di pembanding kedip dan memicingkan mata melihat ribuan bintang, mengevaluasi setiap bintang. Tiba-tiba, dalam dua foto yang diambil dengan selang enam hari pada bulan Januari, dia menemukan bintik cahaya kecil yang tidak diam di tempat. Di satu foto, bintik itu berada di sebelah kiri dua bintang terang. Di foto berikutnya sudah melompat beberapa milimeter ke sebelah kanan kedua bintang itu.

Tombaugh membolak-balik kedua foto itu dan menyaksikan bintik itu melompat keluar masuk dari posisi asalnya. Dia menyambar penggaris dan mengukur berapa persisnya perbedaan posisi bintik itu. Lalu dia menemukan foto langit lain, yang diambil lebih awal pada bulan Januari itu, dan mencari bintik tersebut. Akhirnya, dia menggunakan kaca pembesar untuk mengonfirmasi kehadiran planet potensial itu dalam satu set foto lagi, yang diambil oleh kamera lain. Setelah 45 menit, Tombaugh yakin. 

Dia telah menemukan Planet X.

“Kalau kita melihat bintik yang mewakili Pluto, kecil sekali ukurannya,” kata Will Grundy, anggota tim New Horizons yang bekerja di Observatorium Lowell. “Bintik seperti ini harus dipelototi lekat-lekat. Entah bagaimana dia tidak buta gara-gara itu.”

Setelah berminggu-minggu melakukan pengamatan lanjutan, Observatorium Lowell mengumumkan temuan Tombaugh.

Tetapi, hampir seketika, para astronom tahu ada yang salah. Bintik cahaya yang melompat itu terlalu samar untuk menjadi Planet X. Teleskop terbaik pada zaman itu pun tidak mampu melihat cakram planet itu dengan tajam, yang berarti bahwa benda itu terlalu kecil untuk men­jelaskan penyimpangan orbit kedua raksasa es.

“Mereka mengira bendanya akan lebih terang, lebih besar,” kata Owen Gingerich, sejarawan dan astronom emeritus di Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics. “Namun, mereka ber­asumsi bahwa benda itu mungkin hanya sebesar Bumi. Jadi, jauh lebih kecil daripada Uranus dan Neptunus, tetapi planet yang cukup layak.”

Observatorium Lowell harus segera me­nentu­kan nama planet baru itu. Ratusan surat datang membanjir. “Minerva” mula-mula digemari.

Di seberang samudra, gadis Inggris berusia 11 tahun bernama Venetia Burney iseng meng­usulkan nama “Pluto”, seperti dewa Romawi yang menguasai dunia kematian. Nama suram itu agaknya cocok untuk planet di tepi yang berdebu, serta sesuai dengan konvensi penamaan dari mitos. Maka, pada 1 Mei, Observatorium Lowell meng­umumkan bahwa Planet X akan dinamai Pluto.

Tetapi, dengan orbit yang aneh dan miring, serta ukurannya yang begitu kecil, dunia ini tetap menjadi teka-teki. Selama bertahun-tahun, perkiraan massa planet Tombaugh makin lama makin menyusut... sampai akhirnya terlalu kecil untuk disebut planet. Pluto pun dibaptis ulang sebagai planet kerdil pada 2006.

Dengan mengamati interaksi Pluto dengan satelitnya, Charon, para ilmuwan kini tahu bahwa massa Pluto hanya dua per seribu massa Bumi. Ditemukan pada 1978, Charon hampir setengah ukuran Pluto—begitu besar sehingga kedua benda itu sebenarnya membentuk sistem biner. Keduanya mengitari suatu titik di ruang di antara mereka, planet kerdil ganda berputar di pusat suatu sistem rumit yang berisi setidaknya empat bulan lain.

Para ilmuwan menduga masih ada bulan lain di sekeliling Pluto, mungkin sebagian berbagi atau bertukar orbit dan barangkali berputar dengan kacau, tidak anggun.

“Saya tidak akan heran kalau saya tahu-tahu menemukan sesuatu yang aneh seperti itu,” kata Alex Parker, peneliti pascadoktoral dalam tim New Horizons.

Pada akhir 1980-an, pesawat antariksa Voyager 2 milik NASA melesat di wilayah planet-planet raksasa dan mengungkapkan massa Neptunus sebenarnya. Saat angka itu, yang setara dengan 17 Bumi, dimasukkan ke persamaan lama yang digunakan untuk meramalkan keberadaan planet ke­sembilan, semua­nya sesuai dengan dugaan. Uranus meng­ikuti orbit yang terduga dan mem­bosan­kan. Ter­nyata memang tidak ada planet besar lain yang mengganggu orbitnya. Tetapi, andai tidak ada perhitungan keliru itu, mungkin kita harus menunggu puluhan tahun untuk me­nemu­kan dunia kecil yang ternyata memang ada.

!break!

Kelahiran yang Bergolak

Selain bukan lagi planet, Pluto bahkan bukan lagi benda yang unik. Pluto hanya satu di antara ribuan dunia yang menghuni sabuk Kuiper—cincin puing luas di luar Neptunus yang ditempati komet dan planet kerdil es yang tak terhitung jumlahnya. Sidik jari dari masa awal tata surya masih tercetak pada bongkah-bongkah berusia 4,6 miliar tahun ini.

Arsitektur sabuk Kuiper menandakan terjadinya suatu perubahan dahsyat susunan planet-planet raksasa pada awal waktu, migrasi besar yang melontarkan benda-benda kecil. Para ilmuwan berharap bahwa kawah yang bertebaran di permukaan Pluto dan Charon dapat digunakan untuk menyurvei populasi sabuk Kuiper dan merekronstruksi perubahan yang dialaminya seiring waktu. Meskipun sulit dilakukan, pengukuran ini penting untuk menyelaraskan berbagai pemikiran tentang cara migrasi planet raksasa membentuk tata surya awal. “Kami menduga sabuk Kuiper jauh lebih besar massanya pada awal waktu,” kata Stern.

Yang kita pelajari dari Pluto juga dapat memberi sedikit gambaran tentang proses-proses yang membentuk Bumi. Dulu, selubung gas hidrogen dan helium meliputi dunia kita pada awal hidupnya. Selama jutaan tahun, atmosfer itu lepas ke ruang angkasa. Di tata surya kita, hanya di Pluto kita dapat mempelajari peristiwa serupa itu sedang berlangsung, kata Stern, meskipun atmosfernya terbuat dari nitrogen. Kemiripannya tidak sampai di situ saja. Para ilmuwan menduga bahwa bulan Pluto, Charon, terbentuk dari tabrakan besar, mirip dengan tabrakan yang menghasilkan bulan kita sendiri. Tetapi, sementara bulan kita menggumpal dari cakram puing leleh yang terbentuk dari tabrakan tersebut, Charon terlepas dari Pluto dalam keadaan relatif utuh. Dan sementara pertumbuhan bulan kita menyebabkan langit kita relatif bersih, gravitasi Pluto yang lebih lemah membiarkan puing dari tabrakan itu terbang lebih jauh, menyebabkan sistem biner itu ditebari puing antariksa yang dapat mengancam kunjungan New Horizons.

!break!

Perjalanan Berbahaya

Diluncurkan dari Cape Canaveral di Florida, pesawat antariksa NASA melesat di tata surya, menempuh rata-rata hampir 1,6 juta kilometer per hari. Pesawat ini tiba di Yupiter lebih dari setahun kemudian, dan memanfaatkan gravitasi planet raksasa itu untuk meningkatkan kecepatan dan memangkas hampir empat tahun dari total waktu perjalanan. Tetapi, dengan percepatan itu pun, New Horizons masih perlu delapan tahun lagi untuk mencapai si mantan planet, yang rata-rata jaraknya dari matahari sekitar 40 kali jarak Bumi dan matahari. Suhu di Pluto dapat mendekati -240 derajat Celsius.

Para ilmuwan tidak benar-benar tahu apa yang akan ditemukan di sana—atau apakah kecepatan pesat pesawat antariksa akan membawanya melewati sistem Pluto dengan selamat, yang barangkali penuh ranjau. “Benda apa pun yang sebesar pasir berpotensi bahaya bagi pesawat antariksa,” kata Mark Showalter dari SETI Institute, anggota tim penilaian bahaya untuk misi itu. “Jika sampai memutus hubungan listrik atau mengenai unit pemrosesan komputer, benda itu dapat merusak pesawat antariksa hingga tak dapat diperbaiki.”

Minggu-minggu menjelang pertemuan dengan Pluto akan dihiasi analisis tegang terhadap foto-foto terbaru dari New Horizons. Seperti yang dilakukan Tombaugh, tim akan mencari apa pun yang bergerak, piksel khas yang menandakan bulan tersembunyi yang mungkin melepaskan debu.

Para ilmuwan telah merencanakan beberapa lintasan alternatif di sistem Pluto, sekiranya bahaya seperti itu muncul. Semua alternatif itu akan merugikan penelitian ilmiah misi itu. Tetapi, informasi apa pun tidak sepadan dengan memilih lintasan berbahaya bagi pesawat antariksa itu. “Alasan kita pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi adalah untuk melihat apa yang ada di sana,” kata Showalter. “Kita mencari kejutan, dan saya berharap saja bahwa kejutan itu tidak berbahaya.”

Mereka sudah tahu bahwa planet kerdil itu akan berwarna kemerahan (karena cahaya matahari bereaksi dengan molekul organik di permukaannya) dan diliputi beberapa jenis es. Foto samar dari Hubble mengungkapkan daerah-daerah di Pluto yang sangat gelap maupun sangat terang, dan sebagian ilmuwan menduga bahwa senyawa organik mewarnai beberapa bagian planet kerdil itu menjadi gelap. Beberapa wilayah permukaan lain menyiratkan adanya es musiman yang terbentuk di medan warna-warni, dan para ilmuwan tidak akan heran jika ada asap meletus dari Pluto. Di atas­nya melayang atmosfer nitrogen besar, mungkin 350 kali lebih besar daripada Pluto sendiri.

“Saya menduga kita akan melihat kabut dan mungkin awan tebal,” kata anggota tim Fran Bagenal dari University of Colorado Boulder.

Namun, anggota tim menebak tentang segala macam hal, dari diameter Pluto hingga jumlah bulan baru hingga apakah akan ada kawah, lembah, atau gunung letus es di Pluto dan Charon. Sebagian anggota tim bahkan berpikir Charon mungkin lebih menarik. “Sistem ini sangat kaya untuk ukurannya yang kecil, dan mungkin banyak teori kita yang keliru,” kata John Spencer dari Southwest Research Institute.

Untuk benar-benar mengenal Pluto, kita harus ke sana dan menatap dunia itu. Perlu waktu 85 tahun, tetapi kita akhirnya akan bertemu dengan planet kecil Tombaugh yang selalu diperdebatkan itu. Dari segi tertentu, dia juga ikut: Di New Horizons tersimpan sebotol kecil abu Tombaugh, utusan simbolis yang akan melewati Pluto dan masuk lebih dalam ke sabuk Kuiper, mungkin mengejar dunia kecil lain untuk dijelajahi.