Para Dewi Cilik Nepal

By , Kamis, 21 Mei 2015 | 17:48 WIB

Unika Vajracharya bisa jadi tengah berdiri di ambang keilahian.

Gadis itu hendak dinobatkan sebagai salah satu sosok paling dipuja di Nepal. Dia berusia enam tahun, seorang anak sekolah biasa. Walaupun sikapnya malu-malu, matanya memancarkan rasa ingin tahu. Dia belum terbiasa menemui orang asing. Seulas senyumnya menghadirkan lesung pipit saat saya menanyakan apa yang akan dilakukannya jika, hari ini, dia terpilih menjadi kumari, atau dewi hidup, peran yang akan mendatangkan orang-orang untuk ber­lutut di hadapannya.

“Aku akan diam saja,” katanya. “Aku tidak akan boleh sekolah. Aku akan belajar di rumah dan menerima pemujaan setiap hari.”

Unika adalah penduduk Nepal dari kelompok etnik Newar. Dia tinggal di Patan, yang ber­nama resmi Lalitpur, kota berpenduduk 230.000 jiwa yang sebagian besarnya penganut Buddha di daerah subur Lembah Kathmandu, di kaki perbukitan Himalaya. Salah satu tradisi tertua mereka adalah pemujaan anak perempuan sebagai dewi hidup.

Proses pemilihannya melibatkan ritual raha­sia. Apakah dia gugup? “Tidak,” jawabnya, riang. “Cuma deg-degan.”

Ketika kami meninggalkan rumahnya—bangun­an tua beratap rendah dengan dinding bata dan kayu di wilayah bernama Thabu—Unika melompat-lompat di jalan yang sempit seraya menarik-narik tangan ibunya, Sabita, dan kakak perempuannya, Biphasa. Mereka menempuh perjalanan singkat menuju Hakha Bahal, pelataran yang telah berabad-abad diguna­kan oleh anggota keluarga besarnya untuk tinggal dan berkumpul saat melakukan ritual-ritual keagamaan dan merayakan ber­bagai festival, dan kini menjadi lokasi bagian pertama pemilihan. Unika mengenakan sweter bertudung kesukaannya. Kalau dia terpilih, ini akan menjadi kali terakhir dia mengenakan baju itu. Seorang dewi hanya diperkenankan menyandang warna merah—warna energi kreatif, yang biasanya dipakai oleh wanita yang telah bersuami.

!break!

Para kumari dijunjung tinggi di kalangan Newar. Mereka diyakini memiliki keahlian me­ramal dan kemampuan menyembuhkan orang sakit, mengabulkan keinginan ter­tentu, dan mem­berikan rahmat berupa perlindungan dan kekayaan. Di atas semuanya, mereka disebut-sebut dapat secara langsung menghubungkan dunia ini dengan dunia gaib dan menghadirkan maitri bhavana—rasa cinta terhadap semua makhluk di dalam diri para pengikut mereka.

Tradisi ini telah berlangsung setidaknya sejak sepuluh abad silam, ketika anak-anak pe­­rempuan dan lelaki di seluruh Asia Selatan dihadir­­kan dalam ritual-ritual Hindu dan Buddha sebagai perantara dengan dunia ke­ilahi­an. Hubungan mereka dengan alam ke­indra­an dan kemampuan untuk mem­prediksi masa depan merupakan sesuatu yang menarik, ter­utama bagi para pemimpin di Asia. Berabad-abad kemudian tradisi ini masih dijalankan oleh penduduk di wilayah Subbenua India—di Kashmir, Assam, Bengal, Tamil Nadu, dan Nepal—dan kalangan yang menganut agama-agama subversif yang menekankan kekuatan perempuan, atau shakti, dan perasukan tantra, keadaan yang disebabkan oleh pemanggilan arwah dan ritual-ritual yang diharapkan dapat mengubah manusia menjadi dewa.

Hanya di gunung yang terpencil di Nepal praktik pemuliaan gadis-gadis prapubertas (kata ‘kumari’ dalam bahasa Nepal bermakna ‘gadis perawan’) sebagai dewi yang hidup hingga bertahun-tahun menjadi kultus yang berakar kuat, dan hanya di Nepal tradisi ini lestari hingga kini. Bagi orang-orang Newar penganut Buddha, kumari dianggap sebagai perwujudan Dewi Vajradevi yang agung. Bagi penganut Hindu, dia adalah inkarnasi Dewi Taleju, versi Hindu dari Durga.

Saat ini, hanya ada sepuluh kumari di Nepal, sembilan di antaranya tinggal di Lembah Kathmandu. Mereka masih di­pilih hanya dari keluarga-keluarga yang memiliki hubungan erat dengan bahal—komu­nitas pelataran tradisional, semacam perkumpulan di alun-alun—tertentu dan semua leluhurnya berasal dari kasta atas. Terpilih untuk menduduki posisi itu di­anggap sebagai kehormatan tertinggi, yang dapat menghadirkan rahmat tiada terkira bagi keluarga sang kumari.

Meng­asuh seorang anak perempuan sebagai dewi hidup di dunia modern memberikan beban finansial dan mem­butuhkan pe­ngorban­an pribadi. Re­habilitasi setelah dia me­masuki masa puber dan harus hidup normal kembali juga merupakan tantangan. Meski demikian, keluarga-keluarga tertentu tetap mem­persiapkan putri-putri mereka untuk mengikuti pemilihan.

 !break!

Ini kali kedua Unika menjadi kandidat kumari. Pada kali pertama, dia masih berusia dua tahun, terlalu kecil untuk mengingat. Dia men­dambakan berdandan seperti kumari, dengan rambut dikundai di puncak kepala, celak tebal di sekeliling mata sampai pelipis, dan pada hari-hari festival, tika merah dipulaskan di keningnya dengan agni chakchuu perak—mata ketiga, yang dikenal sebagai mata api—yang membelalak di tengahnya. Keinginan untuk mengenakan ornamen-ornamen kuma­ri sen­diri dianggap sebagai sesuatu yang istime­wa, tanda bahwa takdir, atau karma, tengah menariknya. Nenek Unika, Masinu, khawatir gadis kecil itu akan kecewa jika tidak terpilih untuk kedua kalinya. “Harapan saya bersamanya. Saya tidak ingin dia bersedih.”