Para Dewi Cilik Nepal

By , Kamis, 21 Mei 2015 | 17:48 WIB

Ayah Unika, Ramesh, pemilik sebuah toko sepatu kecil, memiliki keresahan lain. “Saya memikirkan biayanya,” katanya.

Seorang kumari akan menjadi beban bagi seluruh keluarga, terlebih bagi Ramesh sebagai pencari nafkah utama. Kumari harus mengenakan busana khusus dan rias wajah setiap hari, dan dibuatkan pakaian festival baru dari bahan yang mahal setidaknya dua kali dalam setahun. Sebuah ruangan di rumah—hal yang mewah di kota yang sesak—harus disiapkan untuk ruang puja, atau pemujaan, dengan singgasana tempat sang dewi menerima pengikutnya. Seluruh keluarga harus menjalankan nitya puja—ritual pemujaan harian—di hadapannya setiap pagi. Dia dilarang keluar rumah kecuali untuk meng­hadiri festival. Itu pun harus diangkut, entah digendong atau ditandu, agar kakinya tidak menyentuh tanah.

!break!

Dia hanya boleh me­nyantap makanan tertentu dan memiliki banyak pantangan, seperti telur atau daging ayam. Segala sesuatu di dalam rumah harus dimurnikan. Siapa pun yang bersinggungan dengannya dilarang mengenakan pakaian ber­bahan kulit. Di atas semuanya, seorang kumari tidak boleh mengeluarkan darah. Roh sang dewi, shakti, yang merasuki raga si anak saat dia menjadi kumari diyakini akan pergi jika si anak berdarah. Lecet yang tidak disengaja sekalipun dapat mengakhiri masa baktinya. Seorang dewi akan diberhentikan begitu mendapatkan haid.

Ramesh juga mengkhawatirkan masa depan putrinya seandainya dia terpilih. Dia diharapkan untuk kembali hidup normal. Padahal, setelah bertahun-tahun dimanjakan dan dipingit, peralihan dari dewi menjadi manusia bisa adalah proses yang sulit. Lalu ada pula desas-desus miring tentang prospek pernikahan para mantan dewi. “Para pria masih meyakini takhayul tentang menikahi mantan kumari,” kata Ramesh. “Mereka percaya bahwa musibah akan menimpa siapa pun yang mencoba.” Konon roh dewi mungkin masih tersisa di dalam diri mantan kumari.

Di Patan, hanya anak-anak perempuan peng­anut Buddha dari garis keturunan Hakha Bahal yang memenuhi syarat untuk menjadi kumari. Pada akhirnya, kekuatan persuasif para tetua bahal dan kemauan untuk meneruskan tradisilah yang menentukan pemenangnya. “Kami harus melestarikan tradisi leluhur,” kata Sabita. “Mempersembahkan se­orang dewi dari komunitas kami adalah tugas kami.”

 !break!

Pada abad pertengahan, hampir semua kota di Lembah Kathmandu memiliki kumari. Di Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan terdapat satu kumari di hampir setiap wilayah, dan seorang kumari “kerajaan” khusus untuk dipuja oleh para mantan raja Hindu. Banyak tradisi telah punah, sebagian di antaranya terjadi hanya beberapa dekade silam. Di Mu Bahal, komunitas pelataran yang berjarak lima menit berjalan kaki dari Alun-Alun Durbar di Kathmandu, orang-orang memuja singgasana kosong sejak kumari terakhir mereka pensiun pada 1972. Kumari Patan adalah kumari kerajaan, perwujudan dari salah satu tradisi dewi hidup di lembah itu. Pada tahun-tahun terakhir, tradisi ini banyak dikritik oleh para aktivis hak asasi manusia yang menganggapnya sebagai salah satu bentuk penyiksaan anak-anak, yang menyulitkan anak perempuan mem­peroleh kebebasan dan pendidikan.

Tetapi, pada 2008, mahkamah agung Nepal, dengan alasan kebudayaan dan keagamaan, menolak petisi seorang wanita yang meng­gugat tradisi ini. Empat orang kumari di Kathmandu, Patan, Bhaktapur, dan Nuwakot menerima santunan pemerintah, berupa tunjangan bulan­an selama menjabat dan dana pensiun seumur hidup setelah turun jabatan. Tetapi nyatanya, nilai yang mereka terima bahkan tidak cukup untuk menutup biaya pakaian dan perlengkapan pemujaan.

Pelataran Hakha Bahal, dengan atap-atap pagoda menjulang, panggung-panggung kayu, dan altar perunggu berelief untuk memuja Buddha Akshobhya, telah ramai ketika Unika, Sabita, Biphasa, dan saya masuk. Di tengah-tengah keriuhan penonton dan pendukung, tampaklah Anjila Vajracharya yang berusia tiga tahun. Dialah satu-satunya kandidat kumari yang lain, dan dia mengenakan pakaian merah, mungkin sebagai lambang optimisme, selayaknya seorang kumari.

!break!

Ananta Jwalananda Rajopadhyaya, kepala pendeta Kuil Taleju, yang terletak di samping istana tua tempat para raja Patan biasa memuja kumari kerajaan sebagai dewi leluhur mereka, Taleju—telah menanti di pelataran. Inilah pertama kalinya, pendeta berusia 77 tahun itu bertutur pahit, hanya ada dua orang kandidat di tahap pemilihan akhir. Tiga kandidat tentu lebih menjanjikan. Dia menyalahkan pe­rencanaan keluarga atas semakin berkurang­nya jumlah anak perempuan yang memenuhi syarat untuk dipilih, selain orang tua yang juga semakin enggan.

Semua orang Newar memiliki horoskop, yang digambar pada hari kelahiran mereka oleh seorang ahli astrologi. Horoskop adalah gulungan berisi berbagai tabel dan diagram rumit, yang digambar dengan tangan dan disimpan di brankas di ruang peribadatan keluarga, memuat nama kelahiran pribadi se­seorang dan tanda-tanda astrologi yang di­yakini akan memengaruhi kehidupannya. Tanda yang paling dicari dari seorang kumari adalah burung merak—simbol tunggangan seorang dewi.

Rajopadhyaya membawa dua anak pe­rempuan itu ke balik pintu tertutup di salah satu sudut pelataran, untuk melaksanakan langkah pertama pemilihan yang berlangsung secara rahasia. Langkah ini diambil untuk menurunkan jumlah kandidat hingga men­capai tiga orang. Tetapi karena hanya ada dua orang kandidat, tahap ini menjadi formalitas yang selesai dalam hitungan menit.