Para Dewi Cilik Nepal

By , Kamis, 21 Mei 2015 | 17:48 WIB

Tahap akhir pemilihan ditangani oleh istrinya, Maiya, di rumah mereka, bangunan berdinding beton yang masih dibangun di wilayah Pim Bahal, sebelah utara Hakha Bahal. Kami—arak-arakan yang terdiri dari sekitar 40 orang penonton dan pendukung yang mengikuti pendeta, kandidat kumari, dan keluarga mereka—membutuhkan sepuluh menit untuk tiba di sana, menembus lalu lintas di sepanjang jalan utama Patan.

Setelah mempersiapkan diri dengan ber­meditasi, Maiya menunggu di ruangan kosong di lantai atas bersama lampu, wadah air, rangkaian bunga, baki puja, mangkuk-mangkuk berisi dadih, piring-piring daun berisi beras tumbuk atau baji, dan berbagai macam perlengkapan ritual lainnya yang digelar di salah satu bagian lantai semen yang telah dipel dengan campuran pemurni dari lempung merah dan kotoran sapi. Kedua anak itu, yang telah dipisahkan dari ibu mereka, dipersilakan duduk di bantal-bantal merah di hadapannya. Anjila kecil dengan riang berpindah-pindah dari bantalnya ke bantal Unika, lalu kembali ke bantalnya lagi. Unika duduk mematung, namun matanya menatap ke sana kemari. Semua penonton, termasuk ibu kedua kandidat, diminta pergi. Hanya Maiya dan seorang asisten, menantu perempuannya, yang tetap berada di dalam bersama para kandidat.

Berjejalan di tangga temaram di luar, sementara hari semakin sore, kami mendengar gumaman mantra dan gemerincing lonceng, dan mencium aroma dupa yang menerobos keluar. Sesaat kemudian, kami mendengar Anjila mulai menangis. Ketika pintu ter­buka kembali, bocah itu dengan histeris meng­hambur ke pelukan ibunya. Unika tetap duduk dengan rapi di bantalnya. Ada kelegaan setelah ketegangan yang mencekam. Dengan rasa percaya diri yang semakin besar, kumari terpilih mulai menerima upeti dari para pen­dukungnya yang, satu per satu, berlutut dan menjura di hadapannya. Sejak saat ini, dia tidak akan lagi dikenal dengan nama Unika, tetapi Dya Maiju—Dewi Gadis Kecil. Bukan hanya sikap tenangnya yang menegaskan kehadiran dewi yang merasukinya. Horoskopnya, yang sudah dicermati sebelumnya, ternyata dengan jelas menunjukkan tanda burung merak. Ini membuat sang pendeta girang.

 !break!

Samita Vajracharya, kumari yang telah turun takhta, tidak hadir di tengah keramaian di Hakha Bahal. Walaupun rumahnya ber­hadapan dengan pelataran tempat ber­langsungnya acara, dia masih terlalu syok akibat pemecatannya lima pekan silam, setelah dia mendapatkan haid pertama, untuk tampil di depan umum.

Berbulan-bulan kemudian, saya menjumpai Samita, 12 tahun, di rumah kawannya, Chanira Vajracharya, hanya beberapa meter dari Hakha Bahal. Chanira adalah Kumari Patan sebelum Samita. Keluarga mereka sejak lama akrab, dan pengalaman yang sama sebagai dewi semakin mendekatkan Chanira dan Samita.

Kami duduk bersama di bantal-bantal datar di lantai, di bawah tatapan para mantan kumari yang fotonya terpasang di dinding. Mengenakan celana ketat hitam dan atasan oranye ber­gambar koala berbulu lembut, Samita, yang berbakat memainkan sarod—sejenis kecapi—baru saja pulang dari kursus musik. Dia ditemani oleh ibunya, karena keramaian, kemacetan lalu lintas, transportasi umum, bunyi berisik, dan jalanan yang tidak rata sangat meresahkannya. Orang asing juga membuatnya gelisah. Walaupun dia tersenyum ketika saya menanyainya, bibirnya tertutup.

“Sebagai kumari, kami dilarang berbicara kepada orang asing,” Chanira menjelaskan, se­mentara Samita terus menundukkan pandang­an. “Butuh waktu sekitar setahun sebelum saya berani berbicara dengan seseorang yang tidak saya kenal. Bahkan sekarang, setelah kuliah, saya masih kesulitan mempresentasikan hasil karya saya di depan kelas.”

Chanira, 19, tengah kuliah di jurusan administrasi bisnis di Fakultas Manajemen Universitas Kathmandu. Dia diajar di rumah oleh guru-guru yang bersedia mengajar secara cuma-cuma ketika dia masih menjabat sebagai kumari. Chanira mendapatkan “ijazah” yang menyatakan dirinya lulus dengan nilai bagus.

!break!

“Saya sudah berumur 15 saat mendapatkan haid pertama, jadi saya memang sudah me­nanti-nantinya,” ungkap Chanira, “tetapi Samita baru 12 tahun, jadi dia lebih syok. Ini masa yang sangat emosional. Ketika ornamen perdewian dan singgasana harus diserahkan kepada orang lain, rasanya seperti ada yang meninggal. Anda berduka.”

Saya bertanya, bagaimana perasaan Samita ketika dia diberhentikan? Chanira mengulang pertanyaan itu dengan lembut dalam bahasa Newari untuk temannya, kemudian dengan hati-hati menerjemahkan jawaban yang disampaikan Samita dalam bisikan.

Bagi Samita, minggu-minggu setelah pe­nunjukan penggantinya terasa sangat me­nyakit­kan. Idealnya, seorang kumari tinggal di dekat pelataran leluhurnya. Keluarga Unika tinggal bersama Samita selama sebulan sembari menunggu akomodasi disiapkan untuk mereka di rumah sebelah. Setiap hari, Samita menyaksikan para pengikut mengantre di ruang duduk keluarganya, sementara gadis kecil lain duduk di singgasana di ruang puja yang dahulu miliknya.

Kini Unika dan keluarganya—beserta singga­sana kumari—telah dipindahkan ke rumah sebelah. Samita bersekolah dan melanjutkan kehidupan. Dia mendapatkan banyak teman, beberapa di antaranya pernah menemuinya saat dia menjadi kumari selama tiga setengah tahun. Tetapi, dia kadang-kadang masih ber­mimpi menjadi kumari—dan terbangun dengan tamparan penyesalan.

Saya bertanya, apakah cita-citanya setelah dia lulus sekolah? Chanira menerjemahkan jawaban singkat Samita. “Dia ingin menjadi musisi.” Dan bagaimana dengan pernikahan—bukankah itu sesuatu yang tidak bisa dihindari? Saya teringat penjelasan Ramesh soal musibah yang menimpa suami para mantan kumari.

“Itu tidak benar, cerita-cerita tentang suami para mantan kumari yang sekarat itu hanya gosip,” kata Chanira. “Itu mitos yang selalu diulang-ulang oleh media.” Faktanya, hampir semua mantan kumari yang telah memasuki usia menikah, entah di Patan, Kathmandu, atau di tempat lainnya di lembah, sudah menikah.

!break!

“Menjadi kumari adalah berkah. Saya me­rasa diberkati karena pernah terpilih,” Chanira menambahkan. “Namun ada hal-hal yang harus diperbaiki demi kesejahteraan para kumari. Misalnya bantuan keuangan yang lebih besar dari pemerintah untuk mengganti pengeluaran ritual dan pendidikan sang dewi. Dan, konseling untuk menjelaskan bagaimana kehidupan akan berubah setelah jabatan kumari berakhir. Saya ingin melihat dukungan dari para mantan kumari untuk membantu kumari yang baru saja diberhentikan. Kalau tidak ada perubahan dalam hal itu, saya khawatir tradisi ini akan punah,” imbuh Chanira.

Chanira membawa saya menemui dewi baru Patan. Dia duduk di singgasana emas, tongkat perak di kedua sisinya, kanopi ular kobra emas memayungi kepalanya. Wajah Unika di hadapan saya tidak berubah, tetapi sulit untuk memercayai bahwa dia adalah gadis kecil yang saya temui sebelum pemilihan lima bulan yang lalu. Tatapannya sarat akan aura kewibawaan.

Saya berlutut di tikar di hadapannya, mem­persembahkan buku mewarnai, krayon, dan sedikit donasi rupee Nepal. Dia mencelupkan jemarinya ke piring berisi pasta sindoor. Saya pun memajukan kening saya untuk diberkati.

---

Isabella Tree melihat kumari untuk pertama kalinya pada 1980-an. Bukunya, The Living Goddess, adalah hasil riset selama 13 tahun. Karya Stephanie Sinclair berfokus pada wanita dan anak-anak perempuan di seluruh dunia.