Tragedi Laut Aral

By , Kamis, 21 Mei 2015 | 17:57 WIB

 !break!

Saat laut itu masih sehat dan nelayan berseliweran di perairan loh jinawi itu, air yang menguap dari danau membawa kelembapan. “Sekarang bukan uap air yang ada di atmosfer, melainkan debu beracun,” kata Kamalov, sambil menenggak minuman. Wajah keriputnya tampak muram.

Setelah Uni Soviet runtuh, “Panca-Stan” (Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakhstan, Kirgizstan, dan Tajikistan) sering berselisih soal pengelolaan sumber daya yang paling berharga di wilayah itu. Yang memperumit masalah, Amu Darya dan Syr Darya mengalir melintasi beberapa negara, dan masing-masing mengaku berhak atas air yang mengalir di wilayahnya. Untuk memecahkan masalah kronis kekurangan air di Asia Tengah secara bersama-sama, pada 1992 Panca-Stan membentuk Komisi Koordinasi Air Antarnegara. Ada dua pokok perdebatan: Siapa yang memiliki air, dan apa tanggung jawab negara hulu dalam melindungi sumber daya air bagi negara di hilirnya?

Dalam kasus Laut Aral, penduduk Karakal­pakstan, salah satu daerah termiskin di Uzbek­istan, tampaknya hanya bisa pasrah soal nasib air di hulu Amu Darya, yang airnya diklaim oleh negara-negara lain. “Ini diskriminasi berdasarkan lokasi geografis,” kata Kamalov. “Air itu milik Aral.”

Semua pakar yang saya wawancarai mem­perkirakan bahwa bagian Laut Aral di Uzbekistan tidak akan pulih dalam beberapa generasi ke depan. Kamalov tampaknya pasrah menerima vonis tersebut.

!break!

Dia jengkel terhadap kebijakan yang meng­hancur­kan laut di tanah airnya. Namun, dia mengaku bahwa ketika panen kapas musim gugur tiba beberapa minggu lagi, dia tetap akan melakukan kerja bakti nasionalnya, seperti yang dilakukannya setiap musim gugur selama 50 tahun ini. (Menurut Swerdlow, yang memimpin LSM Human Rights Watch biro Uzbekistan sampai pemerintah mengusir LSM ini akhir 2010, jika Kamalov tidak menjadi “sukarelawan”, dia bisa dipecat dari pekerjaannya atau ditangkap.) “Tidak ada yang dikecualikan,” kata Kamalov. “Biarpun sudah berumur 90 tahun, mata pecak, dan kaki buntung satu, tetap saja wajib memetik kapas.”

Saya yang khawatir kalau komentar blak-blakan Kamalov menyulitkannya, ber­tanya sekali lagi untuk memastikan boleh mengutipnya. “Di Karakalpakstan kami semua takut kepada Tashkent,” jawabnya, merujuk pada ibu kota Uzbekistan. “Jujur saja, saya sudah bosan ketakutan.”

---

Mark Synnott membahas panjat tebing di Oman dalam edisi Januari 2014. Carolyn Drake memotret dukun untuk edisi Desember 2012.