Tragedi Laut Aral

By , Kamis, 21 Mei 2015 | 17:57 WIB

“Beginilah rupa kiamat,” kata Yusup Kamalov, sambil me­ngibaskan tangannya ke arah gurun bersemak kerdil yang mem­bentang di depan kami. “Saat Israfil meniup sangkakala, cuma orang Karakalpakstan yang selamat, karena kami sudah terbiasa menghadapinya.”

Dari tempat kami di atas sebuah tebing berpasir di Uzbekistan utara, pemandangannya nyaris tidak berbeda dengan gurun lainnya—kalau tidak ada gundukan cangkang kerang dan beberapa perahu nelayan berkarat yang terdampar di tengah pasir. Dahulu, tempat ini merupakan ujung tanjung yang menjorok ke Laut Aral, yang sampai 1960-an merupakan danau air tawar terbesar keempat di dunia, dengan luas sekitar 67.000 kilometer persegi—hampir sebesar Provinsi Sumatra Utara. Di belakang kami terletak desa Muynoq, dulunya kampung nelayan yang makmur dengan jajaran pabrik pengalengan, yang sampai 1980-an masih mengolah ribuan ton ikan per tahun. Lima puluh tahun lalu, pantai selatan Aral tepat berada di tempat kami berdiri; sekarang pantai terdekat berjarak 90 kilometer ke arah barat laut.

Kamalov mengajak saya ke sini untuk melihat nasib Laut Aral yang dulu berlimpah hasilnya. Pria berusia 64 tahun itu adalah peneliti senior energi angin di O’zbekiston Respublikasi Fanlar Akademiyasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Uzbekistan. Dia juga aktivis lingkungan, memimpin LSM UDASA (Union for Defense of the Aral Sea and Amudarya). Pria bertubuh gemuk dengan rambut putih terurai ini berasal dari keluarga Uzbek berpengaruh.

Negaranya tidak memiliki satu pun kawas­an energi angin, tetapi hal itu tidak me­nyurut­kan semangat Kamalov menggeluti pro­fesi pilihannya. Obsesinya terhadap angin membuat dia merakit dua pesawat gantole.

“Saya ingin mengenal angin seperti burung,” katanya. Namun, minatnya meliputi semua aspek lingkungan, dan dia cuti dari penelitiannya untuk menunjukkan sisa danau raksasa yang dahulu berlimpah kehidupan dan, yang mungkin lebih menakutkan, kondisinya setelah air mengering.

 !break!

Laut Aral terletak di perbatasan Kazakhstan dan Uzbekistan, dan selama ribuan tahun menjadi muara dua sungai besar, Amu Darya dan Syr Darya. Karena tidak ada aliran keluar, permukaan air laut itu ditentukan oleh keseimbangan alami antara air yang masuk dan menguap.

Selama berabad-abad, Laut Aral dan deltanya yang luas menopang kehidupan berbagai per­mukiman di sepanjang Jalur Sutra yang meng­hubungkan Tiongkok dengan Eropa. Masyarakat Tajik, Uzbek, Kazakh, serta suku lainnya, hidup makmur sebagai petani, nelayan, penggembala, pedagang, dan perajin.

Keadaan berubah setelah R.S.S Uzbek menjadi bagian Uni Soviet, yang baru terbentuk pada awal 1920-an dan Stalin memutuskan untuk mengubah beberapa republik Asia Tengahnya menjadi pertanian kapas raksasa. Karena iklim kering di kawasan tersebut tidak cocok untuk menanam kapas yang haus air, Soviet meluncurkan salah satu proyek infra­struktur paling ambisius dalam sejarah dunia; menggali ribuan kilometer saluran irigasi secara manual, untuk menyalurkan air dari Amu Darya dan Syr Darya ke gurun di sekitarnya.

“Sampai awal 1960-an, sistem ini cukup stabil,” kata Philip Micklin, ketika saya hubungi lewat telepon. Micklin, profesor geografi di Western Michigan University, sepanjang karier­nya meneliti masalah pengelolaan air di wilayah bekas Uni Soviet, dan telah me­lawat ke Asia Tengah sekitar 25 kali. Selama bertahun-tahun, dia me­nyaksikan sendiri kerusakan Laut Aral. “Saat mereka menambah saluran irigasi lagi tahun 1960-an, pasokan air sungai tidak mampu lagi mengimbangi penguapan air di laut ini,” katanya. “Tiba-tiba sistem ini tidak lagi berkelanjutan. Mereka tahu yang mereka lakukan, yang tidak mereka sadari saat itu adalah besarnya konsekuensi ekologi—serta kecepatan surut laut tersebut.”

Pada 1987, permukaan Laut Aral yang turun drastis membuatnya terbelah menjadi dua: laut utara di Kazakhstan, dan laut selatan yang lebih luas di Karakalpakstan. Pada 2002, laut selatan demikian surutnya, sehingga kembali terpisah menjadi laut timur dan barat. Pada Juli lalu, laut timur akhirnya benar-benar mengering.

!break!

Satu-satunya hal yang membangkitkan harapan dalam tragedi ini adalah mulai pulihnya laut utara. Pada 2005, dengan bantuan dana dari Bank Dunia, pemerintah Kazakhstan menyelesaikan pembangunan bendungan se­panjang 13 kilometer di tepi selatan laut utara, menciptakan danau yang terpisah, dengan pasok­an air dari Syr Darya. Sejak bendungan itu dibangun, laut utara serta kegiatan per­ikanannya pulih lebih cepat daripada yang di­per­kirakan. Sayangnya bendungan itu me­mutus salah satu pasokan air yang penting bagi laut selatan, ajalnya pun tak terelakkan lagi.

“Yang paling menyedihkan dan membuat geram dalam tragedi Laut Aral adalah bahwa para pejabat Departemen Perairan Soviet yang merancang saluran irigasi ini me­nyadari sepenuhnya bahwa mereka akan meng­hancurkan Aral,” kata Kamalov. Dari 1920-an hingga 1960-an, para pejabat perairan sering mengutip karya ahli klimatogi Rusia yang paling terkenal, Aleksandr Voeikov, yang pernah menyebut Laut Aral sebagai “evaporator tanpa guna” dan “kesalahan alam”. Singkat kata, saat itu pihak Soviet berpendapat bahwa tanaman lebih berharga daripada ikan.

Panen kapas masih bertahan hingga sekarang. Setiap musim gugur sekitar dua juta dari 29 juta warga Uzbekistan secara “sukarela” me­metik tiga miliar kilogram kapas negara itu. “Uzbekistan merupakan satu-satunya tempat di dunia yang pemerintahnya mengatur dan me­wajibkan kerja paksa, dan dipimpin langsung oleh presidennya,” kata Steve Swerdlow, direk­tur biro Asia Tengah LSM Human Rights Watch.

“Tidak terbayang,” kata Kamalov, sambil menoleh ke arah saya dari kursi depan Land Cruiser kami, “bahwa 40 tahun lalu tempat ini terendam air sedalam 30 meter.”

Sopir kami menunjuk ke depan, ke arah awan cokelat tebal yang bertiup melintasi padang pasir. Beberapa detik kemudian kami terbenam dalam debu berbahaya yang dengan cepat menyusup ke dalam kendaraan. Debu itu memerihkan mata, dan sangat terasa garamnya, yang langsung membuat saya mual.

!break!

Angin puyuh ini hanyalah salah satu dari banyak konsekuensi ekologi yang tidak diduga oleh para perencana Soviet. “Para ahli geo­kimia memperkirakan bahwa setelah laut kering, kerak natrium klorida yang keras akan ter­bentuk di permukaan dan tidak akan ada badai garam,” kata Micklin. “Mereka salah besar.”

Selain tingkat natrium klorida yang sangat tinggi, debu itu juga mengandung pestisida. Zat kimia itu sudah merasuk ke setiap tingkat piramida makanan. Kasus kanker kerongkongan yang terjadi di Karakalpakstan saat ini 25 kali lebih tinggi daripada rata-rata dunia. TB MDR, tuber­kulosis yang resistan terhadap banyak obat, me­njadi masalah utama, sementara penyakit pernapasan, kanker, cacat lahir, dan gangguan imunologi juga merebak.

Yang lebih menakutkan, ternyata Laut Aral dulu merupakan tempat fasilitas rahasia pengujian senjata biologi Soviet. Fasilitas di Pulau Vozrozhdeniya—yang dengan keringnya laut tidak lagi merupakan pulau—merupakan tempat pengujian utama bagi Grup Perang Mikrobiologi tentara Soviet. Ribuan hewan dikirim ke pulau ini, dijadikan kelinci percobaan terhadap antraks, cacar, pes, bruselosis, dan senjata biologi lainnya.

Departemen Luar Negeri AS mengirimkan tim pembersihan ke sana pada 2002. Sejak saat itu, tidak ditemukan mikroorganisme pembawa penyakit dalam debu, tetapi wilayah sekitarnya secara sporadis terjangkit wabah penyakit.

Dalam perjalanan menuju ke laut, kami melewati puluhan anjungan minyak dan gas alam yang bertaburan di gurun datar yang selebihnya berupa pasir terputihkan matahari. Menurut Kamalov, anjungan bermunculan tidak lama setelah laut mulai surut, dan bertambah setiap tahun. “Jelas ini menciptakan halangan besar bagi pemerintah untuk berupaya menaik­kan kembali permukaan lautnya,” katanya.

!break!

Selama berjam-jam, kami terpontang-panting di jalan tanah berlubang. Selain putih pasir dan biru langit, warna lain yang terlihat hanyalah hijau kusam semak saxaul dan sesekali merah dadu kembang tamariska.

Akhirnya tampaklah garis perak berkilau di cakrawala, yang kian bertambah besar sampai kami tiba di perkemahan orang Tiongkok yang terdiri atas beberapa yurt di tepi laut. Mereka berada di sini untuk memanen Artemia parthenogenetica, sejenis udang air laut yang merupakan satu-satunya makhluk hidup yang tersisa di danau ini. Saat Aral masih sehat, airnya payau, dengan tingkat salinitas 10 gram per liter (rentang salinitas lautan di dunia 33-37 gram per liter). Sekarang salinitasnya melebihi 110 gram per liter, sehingga mematikan bagi semua jenis ikan. Pasir berlumpur di tepinya terasa basah, seperti pantai yang airnya sedang surut. Padahal, di Aral tidak ada pasang naik—yang terjadi adalah penyusutan laut yang benar-benar kasatmata.

“Pokoknya jangan berhenti,” teriak Kamalov, saat dia berjalan mengarungi pasir isap sedalam lutut dengan hanya bercelana dalam. Saya ikut di belakangnya, tertatih-tatih sampai mencapai kedalaman air selutut. Saya mencoba berenang, tetapi kaki saya selalu terapung, sehingga sulit untuk maju. “Sudah, berbaring saja,” kata Kamalov. Saya menurut, dan rasanya seperti sedang berbaring di atas pelampung. Saya tidur berbantalkan air. Hampir seluruh badan saya berada di atas permukaan.

Malam itu kami berkemah di dataran tinggi dan memasak makanan dengan api dari ranting saxaul mati. Sambil duduk di atas karpet Persia menghadap ke laut, Kamalov menuangkan vodka ke gelas.

 !break!

Saat laut itu masih sehat dan nelayan berseliweran di perairan loh jinawi itu, air yang menguap dari danau membawa kelembapan. “Sekarang bukan uap air yang ada di atmosfer, melainkan debu beracun,” kata Kamalov, sambil menenggak minuman. Wajah keriputnya tampak muram.

Setelah Uni Soviet runtuh, “Panca-Stan” (Uzbekistan, Turkmenistan, Kazakhstan, Kirgizstan, dan Tajikistan) sering berselisih soal pengelolaan sumber daya yang paling berharga di wilayah itu. Yang memperumit masalah, Amu Darya dan Syr Darya mengalir melintasi beberapa negara, dan masing-masing mengaku berhak atas air yang mengalir di wilayahnya. Untuk memecahkan masalah kronis kekurangan air di Asia Tengah secara bersama-sama, pada 1992 Panca-Stan membentuk Komisi Koordinasi Air Antarnegara. Ada dua pokok perdebatan: Siapa yang memiliki air, dan apa tanggung jawab negara hulu dalam melindungi sumber daya air bagi negara di hilirnya?

Dalam kasus Laut Aral, penduduk Karakal­pakstan, salah satu daerah termiskin di Uzbek­istan, tampaknya hanya bisa pasrah soal nasib air di hulu Amu Darya, yang airnya diklaim oleh negara-negara lain. “Ini diskriminasi berdasarkan lokasi geografis,” kata Kamalov. “Air itu milik Aral.”

Semua pakar yang saya wawancarai mem­perkirakan bahwa bagian Laut Aral di Uzbekistan tidak akan pulih dalam beberapa generasi ke depan. Kamalov tampaknya pasrah menerima vonis tersebut.

!break!

Dia jengkel terhadap kebijakan yang meng­hancur­kan laut di tanah airnya. Namun, dia mengaku bahwa ketika panen kapas musim gugur tiba beberapa minggu lagi, dia tetap akan melakukan kerja bakti nasionalnya, seperti yang dilakukannya setiap musim gugur selama 50 tahun ini. (Menurut Swerdlow, yang memimpin LSM Human Rights Watch biro Uzbekistan sampai pemerintah mengusir LSM ini akhir 2010, jika Kamalov tidak menjadi “sukarelawan”, dia bisa dipecat dari pekerjaannya atau ditangkap.) “Tidak ada yang dikecualikan,” kata Kamalov. “Biarpun sudah berumur 90 tahun, mata pecak, dan kaki buntung satu, tetap saja wajib memetik kapas.”

Saya yang khawatir kalau komentar blak-blakan Kamalov menyulitkannya, ber­tanya sekali lagi untuk memastikan boleh mengutipnya. “Di Karakalpakstan kami semua takut kepada Tashkent,” jawabnya, merujuk pada ibu kota Uzbekistan. “Jujur saja, saya sudah bosan ketakutan.”

---

Mark Synnott membahas panjat tebing di Oman dalam edisi Januari 2014. Carolyn Drake memotret dukun untuk edisi Desember 2012.