Pesta Pora Orca

By , Kamis, 25 Juni 2015 | 10:54 WIB

Tak ada orca atau paus pembunuh, yang memegang peran penting dalam sastra Barat. Meski seperti makhluk gaib dengan tubuh hidrodinamis, warna mirip panda, dan gigi runcing, orca tak pernah menjadi tokoh novel terkenal. Tak ada orca yang seterkenal Mobi Dick, si paus putih besar.

Namun, banyak di antara kita yang me­ngenal sosoknya, mungkin dari film atraksi di gelanggang pertunjukan—melompat untuk menghibur penonton. Ada yang berpendapat bahwa orca yang hidup terkurung menderita trauma psikologis parah.

Memilukan, karena di alam liar, kita bisa menyaksikan hal yang tak terlihat di pertunjukan: semangat dan ke­a­rifan, ke­gembiraan dan kecerdikan, cinta terhadap laut terbuka, berburu, dan kehidupan.

Pada suatu hari di Januari nan dingin, saya dikelilingi ratusan paus pembunuh hitam-putih—Orcinus orca, sebenarnya bukan paus, melainkan lumba-lumba terbesar—yang meluncur melintasi perairan Andfjorden Norwegia, 320 kilometer di utara Lingkar Arktika. Punggung serta sirip yang menjulang tampak berkilauan disinari matahari senja saat berenang timbul-tenggelam dan bekerja sama mengepung, melumpuhkan, dan me­nyantap ikan haring atlantik keperakan.

Sesekali, seekor orca menepuk permukaan air dengan ekornya. Orca melakukan tepukan ekor yang sama di dalam air, kata Tiu Similä, ahli biologi cetacea yang ikut me­rintis penelitian orca di Norwegia, dan pakar metode berburu orca yang disebut pusar­an makan. Sabetan ekor itu tidak selalu mem­bunuh ikan haring atlantik, katanya, tetapi banyak yang kelengar sehingga mudah dimakan. “Yang kita lihat di permukaan hanya gambaran sekilas dari yang terjadi di bawah,” katanya. “Setiap paus pembunuh memiliki peran. Seperti halnya pertunjukan balet, orca harus bergerak selaras, sambil berkomunikasi untuk memutuskan tindakan selanjutnya.”

Walaupun ikan haring banyak, tak mudah bagi orca untuk menangkap ikan itu, yang berenang lebih cepat dan membentuk formasi pertahanan berkerumun bagai dinding. Orca tak bisa menyerang ikan haring begitu saja, lalu meneguk ikan beserta air laut seperti yang dilakukan paus balin. Sebaliknya, orca menggiring kawanan mangsanya hingga membentuk lingkaran kecil. “Orca harus mencegah mangsanya menyelam,” kata Similä, “dia memaksa kawanan haring naik ke permukaan, lalu berenang mengitarinya agar kawanan itu tetap berkumpul di sana.”

Anggota kelompok orca bergantian me­nyelam di bawah kawanan haring, lalu mengitarinya—pusaran paus pembunuh—sambil meniupkan gelembung, mengeluarkan bunyi, dan memperlihatkan perut putihnya untuk menakuti. Kawanan haring semakin merapat. Saat pusaran mencapai kecepatan penuh, haring berlompatan ke atas air, berusaha melarikan diri. “Laut seperti mendidih,” kata Similä.

Seekor orca menghantam tepi kawanan itu dengan ekornya—hidangan pun tersaji.

Namun, orca yang kami amati tidak me­lakukan pusaran biasa. Hewan itu berenang dan menyelam di depan dan belakang kawanan mangsanya, tetapi tidak berputar di bawahnya. Meski permukaan laut tak mendidih oleh ikan berlompatan, kawanan orca itu jelas sedang berpesta. Similä mengetahui hal itu dari hempasan ekor, adanya haring yang pingsan atau mati, serta sisik ikan yang putih berserakan di air.

!break!

Pusaran makan adalah satu di antara beberapa taktik berburu orca yang menurut beberapa ilmuwan, termasuk Similä, merupakan salah satu aspek “budaya” spesies ini. Di Argentina, orca mendamparkan diri untuk menangkap anak singa laut yang tidak waspada. Di Antartika, anggota kawanan bekerja sama menciptakan gelombang besar yang menghanyutkan anjing laut dari bongkahan es. Paus pembunuh muda belajar teknik ini dari yang lebih tua.

Namun, belum pernah ada yang men­dokumen­tasikan orca berburu bersama paus sejati. Malah orca memangsa paus sperma (koteklema), paus abu-abu, paus sirip, paus bungkuk, dan banyak jenis paus lainnya. Itulah sebabnya para pemburu paus menyebut hewan ini sebagai pembunuh paus. Ini juga yang membuat Similä bingung. Biasanya orca di sini menangkap ikan ber­sama kelompoknya saja, tetapi kali ini paus bungkuk dan paus sirip berenang di antara kawanan orca dan ikut pesta haring.

“Saya belum pernah melihat kejadian seperti ini,” katanya. “Apakah mereka semua bekerja sama menangkap ikan?”

Karena paus bungkuk menggunakan metode mirip pusaran makan, Similä menduga spesies itu mungkin bekerja sama dengan orca. Atau orca dan paus mungkin “makan sambil jalan”, mengepung kawanan mangsanya sehingga merapat, lalu menampar bagian tepi untuk mendapat kudapan sebelum berenang menjauh. “Namun, makan sambil jalan membutuhkan lebih banyak energi daripada pusaran makan,” kata Similä. “Dan mengingat banyaknya ikan haring di sini, seharusnya orca melakukan pusaran makan.”

Tetapi orca itu tak tinggal cukup lama untuk melakukan pusaran. Orca, paus bungkuk, dan paus sirip meluncur melintasi kami sesekali berhenti untuk menyantap camilan.

!break!

Orca, anggota famili delphinidae, lumba-lumba laut, adalah spesies cetacea yang paling luas penyebarannya. Meski ditemukan di setiap samudra—dan di semua lintang dari Kutub Utara hingga Antartika—ia tetap menjadi misteri. Kita bahkan tak tahu berapa spesies dan subspesies orca, yang populasinya diperkirakan lebih dari 50.000 ekor.

Apakah jumlah ini cukup besar? Atau apakah spesies ini terancam punah? Tidak ada yang tahu, karena peneliti baru mulai melakukan sensus pada 1970-an dan tidak tahu pasti berapa populasi setiap ekotipe yang diakui. Di Atlantik Utara mungkin ada beberapa ekotipe; saya bersama Similä sedang mengamati orca yang mengkhususkan diri makan ikan haring.

Kawasan orca ini meliputi Laut Norwegia dan Barents, jumlahnya diperkirakan sekitar 3.000 pada 1990. Sekitar seribu ekor orca jenis ini—Similä dan koleganya menyebutnya orca norwegia—mengikuti haring hingga masuk ke fyord. Namun, populasi haring selalu berubah dan berpindah. Jumlahnya bisa berubah secara dramatis dari tahun ke tahun, dan tidak tinggal di fyord sepanjang tahun.

Penangkapan ikan berlebihan oleh manusia pada awal 1960-an mengganggu pola ini, dan untuk sementara waktu paus pembunuh menghilang dari fyord Norwegia. Pada awal 1980-an populasi ikan haring mulai pulih, dan paus pembunuh kembali terlihat di fyord di selatan Andfjorden. Similä, yang berasal dari Finlandia, saat itu mahasiswi pascasarjana yang sedang meneliti plankton di danau-danau Finlandia. Saat mendapat kabar bahwa para ahli biologi Norwegia hendak melakukan safari orca, dia mengajukan diri untuk bekerja di kapal penelitian tersebut. Pada hari kerja pertamanya, sirip-punggung orca jantan mencuat di air di samping perahu karetnya. Pemandangan itu membuatnya terkesima—dan menyingkirkan plankton dari benaknya.

Selama 20 tahun berikutnya setiap musim dingin dia mengikuti orca mengejar haring hingga ke fyord. Dia dan koleganya memotret orca sebanyak mungkin agar bisa mengenali setiap individu, dan mereka menyelam serta memfilmkan proses makan kawanan orca.

“Pada masa itu, tak banyak yang diketahui soal orca,” kata Similä. “Kata orang, ikan ini adalah hama dan berbahaya:  paus pembunuh menghabisi semua ikan di laut kami.”

Nelayan menembak setiap orca yang ter­lihat, menewaskan 346 ekor antara tahun 1978, sampai 1981 ketika pembasmian resmi itu dihentikan. Banyak orang Norwegia tetap menganggap paus pembunuh sebagai pe­makan ikan haring yang rakus sampai 1992. Tahun itu, sebuah stasiun televisi me­nayangkan rekaman penelitian Similä yang menunjukkan, orca makan ikan satu demi satu alih-alih menelan seluruh kawanan.

Kawanan orca yang anggotanya mati kena tembak atau terluka tampaknya tak pernah melupakan kejadian itu. “Ada beberapa paus pembunuh yang memiliki bekas luka tembak,” kata Similä. “Kami tak pernah bisa mendekati kawanan itu. Hingga kini. Begitu mendengar suara mesin, kawanan itu kabur.”

Kawanan orca dipimpin dalam sistem matriarkat, dan Similä menduga bahwa para “induk bijak” itu mengajari anaknya agar menjauhi kapal nelayan.

!break!

Suatu hari, setelah melihat orca menyemburkan air di seberang fyord, kami melintasi laut selebar tiga kilometer ke sebuah laguna yang tenang. Kawanan orca muncul di dekat kami, sementara paus bungkuk sibuk melahap ikan. Seekor anak orca mengikuti riak perahu kami. Meskipun kawanan paus pembunuh ini tidak sedang menjelajah, seperti yang dilakukannya pada hari pertama kami di sini, kawanan ini juga tidak membuat pusaran makan.

Similä mengagumi cara orca berbagi peran saat berburu. Dia menyaksikan paus dewasa membimbing paus muda, anak paus meniru induknya mengibaskan ekor, kawanan itu terkadang melakukan perjalanan panjang ke tempat pemijahan haring, mungkin untuk melacak keberadaan mangsanya. Dengan memasang pelacak satelit pada beberapa paus pembunuh, dia dan koleganya berhasil memetakan beberapa misi pengintaian. “Salah satu orca bergerak sangat jauh dan cepat—ratusan kilometer sehari—sampai kami mengira dia ditarik oleh kapal,” katanya.

Similä menceritakan kisah orca yang menunjukkan betapa sedikitnya yang kita ketahui soal hewan ini. Pada 1996, tim ini menemukan anak orca yang menderita cedera parah pada tulang belakang dan sirip punggungnya, mungkin tertabrak kapal. “Kami menamainya Stumpy karena sirip punggungnya rusak,” kata Similä. “Dia tidak seperti paus pembunuh lainnya. Dia tidak bisa berburu, tetapi orca lain mengurusnya.”

Alih-alih menetap bersama satu kawanan, Stumpy berenang bersama lima kawanan, yang semuanya memberinya makan.

“Stumpy adalah misteri terbesar bagi saya. Entah bagaimana nasibnya nanti ketika dia mencapai kematangan seksual,” kata Similä. “Namun, orca lain tahu bahwa dia perlu bantuan, jadi mereka pasti membantunya.”

Sebagian peneliti berpendapat bahwa kawanan paus pembunuh memiliki ikatan sosial yang sangat erat. Mungkin itulah sebabnya seluruh kawanan ikut “mendamparkan diri” saat ada satu anggota­nya yang sakit dan menuju ke pantai. Dan itu pula sebabnya beberapa jantan ikut mati setelah induknya tiada. Mungkin itu juga alasan banyak orca membantu Stumpy.

Jika kita menghabiskan banyak waktu bersama makhluk yang memiliki kebiasaan tolong-menolong, bisa mengingat masa lalu, dan mengurus anggota yang lemah, kita tidak akan kaget jika dia memiliki kemampuan lain. Jadi, tebersit di benak Similä, orca bergabung dengan paus bungkuk dan paus sirip berburu ikan. Dia kemudian berubah pikiran. “Tidak, mereka tidak bekerja sama,” katanya. “Paus bungkuk itu hanya merampok buruan orca. Setiap kali orca berhasil mengepung kawanan haring, paus bungkuk datang merecoki.”

Akan tetapi, tampaknya paus pembunuh tidak keberatan. Orca tidak pernah berusaha menghindari pendompleng tersebut, tidak pula melawan atau mengusirnya. Mungkin kebesaran hati ini hanya merupakan bukti berlimpahnya ikan haring di perairan Andfjorden pada musim dingin itu—lebih dari cukup untuk semua.

-

Paul Nicklen yang dibesarkan di Arktika Kanada biasa menghadapi suhu brutal. Ia menyelam hingga 50 kali sehari—hal yang berat karena pneumonia yang diidapnya.