Kehidupan Setelah Serangan Bom

By , Rabu, 22 Juli 2015 | 16:46 WIB

Pada suatu pagi di Vientiane, saya melihat sebuah klub motor memadati lobi hotel. “Kami sedang tur dari Malaysia,” ujar pengendara menjelaskan dengan sopan—perjalanan pulang pergi sejauh 4.200 kilometer. Pada pagi hari lainnya, di Louangphabang, saya terbangun dan melihat jalanan di luar penuh dengan mobil yang berdatangan. Setiap mobil memiliki plat Tiongkok. Warga Tiongkok yang kaya raya dari Kunming ini menuju selatan, juga untuk berlibur di Laos.

Era saling-terhubung secara damai yang baru ini menampilkan wajah manusia ke mana pun kita pergi. Konturnya pun terlihat dari udara. Saat terbang di atas sungai Mekong dari Savannakhet, kita dapat melihat salah satu jembatan yang dilintasi manusia dan produk yang keluar masuk Laos. Ke arah hulu dari jembatan itu, kita juga akan melihat tiang listrik mengalirkan lis­trik yang diekspor Laos ke seberang sungai.

 !break!

Puluhan tahun yang lalu, ketika saya berdiri di bantaran sungai di Vientiane, saya merenungkan pertanyaan yang saya tahu tidak akan pernah bisa saya jawab. Bagaimana orang-orang yang tampaknya rasional—orang Amerika seperti saya—mengira mereka bisa memenangi perang di Vietnam dengan memaksa Laos mengalami kehancuran seperti itu? Ketika saya menulis bahwa perang rahasia sedang terjadi di Laos, artikel itu menjadi berita utama di seluruh dunia.

Sebenarnya, intervensi militer AS di Laos, yang dimulai pada 1950-an dan berlangsung sampai 1974, tak pernah menjadi rahasia. Setiap wanita yang menjual bunga teratai di pasar pagi, setiap anak penarik becak—mereka tahu bukan hanya tentang Jalur Ho Chi Minh, melainkan juga pasukan rahasia CIA dan pengeboman rahasia AS terhadap penduduk sipil. Mereka juga tahu tentang keterlibatan rahasia AS dalam perdagangan opium.

Pada 1968, saya naik taksi umum dari dataran rendah Mekong ke Dataran Tinggi Boloven. Pesawat pengebom AS menjerit di udara. Di cakrawala, di sepanjang garis pepohonan, saya melihat beberapa orang berlarian mengenakan kamuflase. Itulah satu-satunya waktu selama perang saat saya benar-benar melihat tentara Vietnam Utara atau pesawat tempur AS menjatuhkan bom.

Di Pakxong, daerah bekas kekuasaan Prancis untuk para pekebun kopi, saya berjalan menuju bar telantar. Sebuah lukisan dinding menampilkan pemilik perkebunan Prancis sedang bersantai ditemani para wanita Laos yang molek. Saat itu hari sudah gelap dan satu-satunya tanda kehidupan berasal dari sebuah rumah kecil di sebelah gereja Prancis yang tua. Di dalam rumah itu, saya bertemu dengan seorang pendeta Prancis berkaki satu yang sedang minum wiski. Dia menuangkan segelas untuk saya. Dia sedang membaca terjemahan bahasa Prancis buku The Green Berets, kisah fiksi keberanian tentara Amerika di hutan. “Apakah Perang Vietnam itu seperti ini?” tanyanya.

!break!

Selama berpuluh tahun, saya ingin me­ngunjungi Pakxong lagi. Saya tahu pendeta itu pasti sudah tidak ada, tetapi saya tidak menduga bahwa Pakxong lama pun sudah lenyap. Setelah kedatangan saya pada 1968, pesawat pengebom B-52 telah meratakan tempat itu dua kali. Hanya sebuah sudut hangus sebuah bangunan saja yang masih tersisa.

Pakxong telah lenyap, jadi mengapa saat kembali ke sana dada saya dipenuhi perasaan gembira? Karena orang-orangnya—semuanya tampaknya begitu segar dan bahagia—sibuk membangun kehidupan yang lebih baik. Seperti Laos, Pakxong telah berubah dari medan perang menjadi pasar. Tempat barak Prancis dahulu berdiri kini telah menjadi pasar yang luas—semrawut, berlumpur, penuh plastik dan sampah organik, tetapi menyajikan apa pun yang ingin Anda jual atau beli. Yang paling membuat saya terpesona adalah kerbau besi.

Bayangkan Anda pengusaha Laos dan meng­inginkan segala sesuatu yang Anda lihat di TV, tetapi Anda hanya mampu membeli satu barang saja. Kerbau besi ini pilihan yang tepat. Tidak seperti kerbau biasa, kerbau besi dapat memompa air dan menarik bajak, dan bisa menerangi rumah Anda. Kerbau besi ini pada dasarnya adalah mesin pembakaran internal serbaguna dan portabel yang dapat digunakan untuk mengerjakan hampir semua hal. Hubungkan mesin dengan pompa air: Anda dapat menumbuhkan tanaman musim kemarau. Hubungkan dengan bajak: Anda dapat membudidayakan tanah hingga empat kali lipat.

Hubungkan kerbau besi Anda dengan gerobak, dan perjalanan dua hari bolak-balik ke pusat pasar besar terdekat hanya akan memakan waktu di pagi hari saja. Begitulah cara saya bertemu dengan Lan Keopanya. Dia sedang berusaha menyalakan truk bak terbuka buatannya sendiri ketika kami mulai mengobrol. Desanya, katanya, berjarak 20 kilometer dari pasar Pakxong. “Perjalanan itu saja menelan biaya empat liter solar, tetapi setimpal.” Karena dapat mencapai tempat itu dengan lebih cepat dan lebih sering, dia bisa menjual kopi, buah, dan sayuran yang ditanamnya dengan harga terbaik. Hari itu Lan pergi ke pasar membeli atap plastik untuk rumah barunya. Keenam anaknya sudah atau akan bersekolah, ceritanya bangga. Jalan baru sudah mencapai desanya. “Kami berharap listrik akan masuk dalam dua tahun,” katanya, saat dia mulai bergerak, bergegas memasang atap sebelum hujan turun.

Ketika berpisah, saya bertanya apa lagi yang dia inginkan. “Kami ingin lahan kami dibersih­kan dari bom,” katanya. “Jika bukan karena bom itu, saya pasti sudah melipatgandakan hasil kebun saya.”