Kehidupan Setelah Serangan Bom

By , Rabu, 22 Juli 2015 | 16:46 WIB

Selama pengeboman, minoritas warga Laos yang tinggal di pegunungan mengalami penderi­ta­an mengerikan. Saat pengeboman semakin gencar, kaum wanita menggunakan keahlian menyulam dan membuat selimut untuk menggambarkan bencana. Dengan gambar anak-anak bergelimang darah, ladang terbakar, dan hewan berlarian ketakutan, karya seni mereka yang sebesar dinding adalah karya seni Laos yang setara dengan “Guernica” milik Pablo Picasso.

Keay Tcha, yang mengaku berusia 58 tahun, telah tinggal selama lebih dari 17 tahun di Ban Na Oune, desa pengungsi Hmong yang terletak di dekat Louangphabang. Wanita itu membentangkan salah satu karyanya yang menampilkan masa damai. Selimut itu menggambarkan surga yang menampilkan sungai berkilau mengalir deras, tanaman tumbuh subur, dan beraneka ragam binatang eksotis berlarian di bawah sinar matahari kaya warna. Ketika saya ingin melihat lebih banyak lagi karyanya, dia mengatakan sudah tidak membuat karya sebesar itu lagi. “Para wisatawan tidak mau permadani besar,” katanya. “Mereka ingin bordir murah yang dapat dibawa pulang di dalam tas jinjing. Jadi, sekarang saya membuat karya berukuran kecil yang dapat saya jual dengan harga lebih rendah.” Dia tidak memberikan penilaian apa pun tentang transformasi terbaru ini. Dia mampu hidup melalui masa damai ini sebagaimana dia melalui masa peperangan dengan menyadari apa yang perlu dilakukan, kemudian melaksanakannya.

!break!

Satu hal tidak pernah berubah di Laos: panasnya perjalanan. Saat mencari minuman dingin, saya tiba di sebuah toko serba ada milik seorang wanita bernama Khenchan Khamsao, terletak di jalan ke Louangphabang yang membentang dari utara ke selatan. Sebuah mesin minuman dingin berpintu kaca menarik perhatian saya, tetapi tempat sampah berwarna hijau tualah yang membuat kami mengobrol. Dengan alas yang rupawan, tempat sampah yang luas, dan tutup yang rapat, tempat sampah Khenchan terlihat anggun sekaligus serbaguna. “Tempat sampah ini dibuat dari ban truk usang,” ujarnya menjelaskan. Seperti sendok dan gelang Phet Napia, tempat sampah ini adalah contoh kejeniusan warga Laos untuk mengubah barang bekas menjadi benda yang berguna.

Kehidupannya berakar dari reruntuhan. Dia berasal dari bagian Provinsi Khammouan yang hancur lebur di Laos tengah; di kawasan itu terdapat banyak tempat yang sampai sekarang masih dipenuhi bom yang tak meledak (UXO) sehingga mustahil dapat bertani di situ. Karena lahan mereka tidak dapat digunakan, ia dan suaminya pindah ke lokasi yang luas di tepi jalan ini; 12 tahun kemudian, mereka melambangkan kisah sukses warga Laos. Toko mereka menempati lantai dasar rumah baru. Suaminya bekerja sebagai pekerja bangunan di proyek irigasi di Vangviang, 105 kilometer di sebelah utara. Ketiga anak mereka belajar di sekolah negeri—anak-anak yang masih kecil di sekolah lokal, yang tertua di Vientiane.

Khenchan dan keluarganya pernah mengalami hujan bom dan sekarang mereka menikmati uang yang diperolehnya. Namun, ternyata uang pun mendatangkan bahaya. Ketika saya berkomentar bahwa anak sulungnya akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik di ibukota, dia menjawab, “Tidak, bukan itu alasan kami menyuruhnya pergi. Saya mengirimnya ke Vientiane untuk menjauhkannya dari para pengedar narkoba.” Perang melawan narkoba dimulai pada 1989 dengan pendanaan dari AS untuk memberantas opium. Pada 2006, Laos mendeklarasikan negaranya bebas dari opium, tetapi saat ekonomi tumbuh pesat, selera untuk metamfetamin dan narkoba lainnya mengambil alih. Negara ini menjadi pusat transit regional utama untuk metamfetamin, heroin, dan opium, yang kini kembali naik daun. Daerah pedesaan yang lebih terkena dampaknya.

!break!

Di Laos, ketika suhu turun hingga di bawah 20 derajat Celsius, orang mulai mengenakan mantel dan topi, lalu menyalakan api, yang memicu musim kematian. Menjelang malam Tahun Baru, tiga sahabat di Provinsi Xiang­khouang pergi berkemah. Malam itu terasa dingin sehingga mereka menyalakan api. Satu orang langsung tewas di tempat ketika bom di bawah perkemahan mereka meledak. Temannya yang lain cacat. Saya mengunjungi Yer Herr, korban ketiga, di rumahnya di desa. Pemuda berusia 18 tahun itu melepas kemejanya untuk menunjukkan 19 bekas luka di punggungnya.

Di desa yang ditinggali Yer, warga memiliki listrik, TV satelit, ponsel. Setiap ibu, istri, adik, dan anak pun tampaknya memiliki suami, saudara laki-laki, atau gadis kecil yang cacat atau tewas oleh bom Amerika, lama setelah perang berakhir. Di sekolah menengah setempat, aljabar sedang diajarkan di papan tulis. Saya tidak bisa menguraikan persamaannya: remaja Laos di desa terpencil ini sedang memelajari matematika yang lebih maju dari yang pernah diajarkan kepada saya sewaktu seusia mereka. Setelah pulang, saya menunjukkan foto papan tulis itu kepada seorang pakar matematika. “Persamaan ini menganalisis kecepatan benda jatuh, seperti bom,” katanya.

Bom jatuh pun masih muncul dalam mimpi mereka. “Bayangan itu tidak pernah hilang dari kehidupan saya,” begitu tutur seorang seniman bordir terkenal di dunia bernama Tiao Nithakhong Somsanith saat saya mengagumi penggunaan benang emas untuk menyulam sutra Laos dengan gambar pesawat pengebom. Tiao Nithakhong ikut menghidupkan kembali kesenian tradisional di negaranya: tarian klasik, merangkai bunga, desain kostum, musik orkestra, dan beraneka macam tenun.

Saat melihat-lihat karya indahnya di se­buah galeri seni Louangphabang, saya melihat sesuatu yang pernah saya lihat juga pada barang kerajinan desa. Terlepas apakah bahannya berupa bambu atau plastik, sutra atau serat sintetis, tenun adalah seni yang paling dikuasai warga Laos. Sebagai pakar yang mampu meng­ubah setiap jenis bahan menjadi sesuatu yang bermanfaat dan indah, mereka menenun daun palem menjadi keranjang, bambu menjadi tempat membendung ikan. Mereka menenun sutra dan benang emas menjadi rok wanita cantik yang disebut sin.

!break!

Jika dijumlahkan, pasukan AS menjatuhkan lebih dari 270 juta bom tandan, atau “bombies” di Laos—jumlahnya lebih dari satu bom untuk setiap pria, wanita, dan anak-anak di Amerika pada saat itu—serta empat juta bom besar. Berat total bom yang dijatuhkan itu sekian kali lebih besar daripada berat badan penduduk Laos, yang pada saat itu memiliki populasi mungkin sekitar dua juta orang.

Selama perang itu, Washington secara berkala mengumumkan “penghentian pengeboman,” tetapi ban berjalan berisi amunisi yang mem­bentang dari persediaan bom di AS yang terletak 12.000 kilometer melintasi Samudera Pasifik tidak dapat dihidupkan dan dimatikan begitu saja. Bom yang tidak jatuh di Vietnam diarahkan ke Laos. Ini adalah perang pertama di seluruh dunia yang dipicu oleh pasokan amunisi. Amunisi yang bertumpuk selalu menggoda untuk digunakan. Produksi massal kematian dari udara ini tidak memiliki kontrol kualitas yang baik: Mungkin sekitar 80 juta dari bom tandan ini tidak meledak saat mendarat dan diperkirakan masih aktif. Sekitar 10 persen bom besar juga gagal meledak.

Warga Laos bersifat pemaaf, tetapi selama Laos tetap dipenuhi bahan peledak, tidak seorang pun bisa melupakannya, karena jika lupa, Anda dapat tewas. Tidak peduli seberapa indah pemandangan di Plain of Jars, janganlah melupakannya dan dakilah bukit di dekatnya untuk menikmati pemandangan yang lebih indah. Bom di tempat itu bisa membuat Anda cacat, seandainya Anda tidak sampai tewas. Tidak peduli berapa kali Anda memperingatkan anak-anak, jangan melupakannya dan jangan membiarkan mereka mengambil kapsul yang terlihat seperti mainan. Bom tandan berbentuk bulat kecil itu bisa saja membuat mereka cacat bahkan merenggut nyawa.

Ketika Mines Advisory Group yang ber­markas di Inggris menyelenggarakan kursus tentang bahaya UXO, murid sekolah menyimak para korban ledakan menjelaskan luka mereka—luka psikologis maupun fisik. Setelah itu, anak-anak ditanya apa yang akan mereka katakan jika kebetulan bertemu dengan orang yang menjatuhkan bom. Seorang anak kecil mengangkat tangannya. “Saya akan mengatakan kepadanya bahwa mereka harus membayar penderitaan kami dengan uang.”

Kongres AS menganggarkan dana sekitar Rp159 miliar pada 2014 untuk membersihkan UXO. Kedutaan AS yang baru di Laos me­nelan biaya Rp1,9 triliun. Perbedaan ini men­cerminkan prioritas AS: komitmen yang dapat dibenarkan untuk meningkatkan ke­amanan para diplomat, tetapi juga nyaris meng­abaikan tanggung jawab historis Amerika di Laos, padahal boleh dikatakan setiap bom yang tidak meledak itu dibuat di Amerika dan diletakkan di sana oleh pasukan Amerika.

Semangat warga Laos tidak pernah bisa dipadamkan—tidak oleh orang asing, tidak pula oleh penguasa negaranya sendiri. Di masa depan, warga Laos akan terus mengubah apa pun yang menimpa mereka menjadi karya seni sehari-hari yang praktis, karena mereka memiliki karunia besar untuk memahami manfaat dan keindahan pada benda yang dilihat orang lain sebagai kehancuran dan limbah. Selama perang udara, pengrajin Laos membuat kano ramping bermotor dari wadah bahan bakar yang dibuang pesawat pengebom B-52.

Di dekat bandara Louangphabang, saya me­­­nemu­­kan contoh lain tentang bagaimana kehidupan di Laos selalu menemukan cara untuk berkembang. Tanaman anggur tumbuh me­lilit kabel bekas antena CIA yang dahulu digunakan untuk mengirimkan berita rahasia. Namun, hal ini belum menghilangkan bahaya yang telah terjadi—dan masih terus terjadi.

---

Stephen Wilkes adalah juru foto peraih penghargaan; karyanya dimuat di New York Times Magazine, Vanity Fair, dan Time. Inilah fitur pertamanya untuk National Geographic.