Kehidupan Setelah Serangan Bom

By , Rabu, 22 Juli 2015 | 16:46 WIB

Selama beberapa hari di Plain of Jars, saya berusaha memotret, mencari metafora, memfokuskan pemikiran yang dapat mengekspresikan apa arti­nya bagi Laos, dengan menjadi salah satu negara yang paling sering dibom sepanjang sejarah dan, entah bagaimana caranya ber­hasil bangkit dan menemukan masa depan.

Akhirnya, tepat di jalan utama yang hiruk pikuk di Phonsavan, ibu kota provinsi, saya menemukannya: tumpukan raksasa selongsong bom sisa dari pengeboman pasukan Amerika di Laos. Dan tepat di luar gundukan sampah senjata itu, tampak sebuah mesin ATM baru. Setelah mengamati selongsong bom, saya berjalan menghampiri ATM, memasukkan kartu debit, dan mengeluarkan satu juta kip, sekitar Rp1,6 juta. Semua lembaran uang senilai 50.000 kip yang berhamburan keluar dari mesin itu menceritakan kisah baru tentang Laos, perubahan dari zaman yang ditandai hujan bom menjadi zaman yang ditandai uang.

Dahulu, di Provinsi Xiangkhouang ini, orang hidup bersembunyi di dalam gua dan terowongan. Kini, suasana di Phonsavan sangat sibuk. Sebagaimana halnya dengan guci zaman megalitikum yang terkenal dari Plain of Jars, puing-puing sisa perang udara Amerika yang berlangsung antara 1964 hingga 1973 telah menjadi bagian dari kampanye untuk menarik wisatawan: Tumpukan selongsong bom dipajang di depan kantor pariwisata setempat.

Dengan perbukitan bergelombang dan dataran rendah berumput, Plain of Jars di beberapa tempat menyerupai lapangan golf raksasa. Pasir yang terperangkap di tempat ini tercipta akibat bom yang dijatuhkan dari udara. Jutaan di antaranya meledak. Jutaan lainnya tidak, menciptakan bahaya permanen, terutama bagi wirausahawan Laos yang mencari uang dengan mengumpulkan logam berharga dari bom yang tak meledak.

“Welcome to Mr. Phet Napia Making the Spoon and Bracelet,” demikian yang tertulis di rumah Phet Napia di desa Ban Naphia. Di tempat pengecoran di halaman belakang rumahnya, Phet melelehkan aluminium dari cangkang amunisi dan logam yang dikumpul­kan dari daerah sekitarnya. Kemudian ia me­nuang­kan lelehan itu ke cetakan untuk mem­buat gantungan kunci berbentuk bom serta peralatan makan. Semua restoran lokal tampaknya me­miliki garpu, sendok, dan sumpit dari besi tua peninggalan zaman perang.

 !break!

Laos, dengan penduduk kurang dari tujuh juta orang, kini memiliki hampir lima juta ponsel. Di Ban Pak-Ou, desa di utara Sungai Mekong, para nelayan berdiri tak bergerak di dalam kano, menampilkan siluet dalam cahaya kuning. Kita seolah-olah sedang mengintip ke dalam suasana sekian abad yang lalu, tetapi sekarang setiap orang sedang mengobrol menggunakan ponselnya sambil memancing.

Vientiane, ibu kota Laos, dahulu kota kecil yang berantakan. Kini, tetap berantakan. Dahu­lu suasananya sunyi se­nyap, diselingi suara rintik hujan, bayi menangis, biksu melantunkan pujian. Sekarang semua berlangsung ditingkahi berisiknya AC, dengungan generator, lengkingan klakson mobil.

Perekonomian negara itu tumbuh hampir delapan persen per tahun. Bendera Partai Revolusioner Rakyat Laos, bergambar palu arit ala Soviet, masih berkibar di samping bendera nasional. Namun, kini pimpinan pemerintahan memainkan peran yang berbeda: mempermulus penciptaan zona pasar bebas Asia Tenggara.

Bahkan di daerah terpencil pun, di antara orang-orang yang hidupnya kekurangan, saya menemukan akses ke fasilitas dunia modern yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Di Laos tengah, dekat perbatasan Vietnam, saya melihat seorang pemuda pulang ke rumah sambil mengendarai motor dengan mengepit parabola. Saya juga melihat tempat ibadah yang telah diperbarui ke mana pun saya pergi. Tentu saja kuil Buddha, tetapi selain itu juga banyak kuil animisme dan beberapa gereja Kristen. Kita masih bisa melihat biksu mengenakan jubah safron di mana-mana, hanya saja sekarang mereka menjinjing tas laptop.

!break!

Bantaran Sungai Mekong kini berubah. Tempat yang dulu dipenuhi lumpur dan pasir, kini menjadi lapangan terbuka yang menggoda sepanjang tiga kilometer, lengkap dengan mesin olahraga dan jalur joging. Setiap malam, bantaran sungai ini selalu dipenuhi kerumunan orang. Para musisi menunjukkan keahlian mereka dan instruktur olahraga menawarkan jasa mengajar, dan keramaian diterangi lampu neon dari gerobak pedagang kaki lima dan sorotan lampu depan sepeda motor.

Seperti kebanyakan hal di Laos, taman di bantaran sungai di Vientiane ini menceritakan kisah yang lebih dalam. Sebuah kemenangan dalam perencanaan kota yang humanis, lapang­an terbuka itu sebenarnya adalah tanggul besar yang melindungi kota dari banjir. Cerita tentang pihak yang membangunnya juga menarik: Tanggul ini sebagian besar dibiayai oleh dana pinjaman dari Korea Selatan. Negara-negara Asia kini memberikan bantuan yang lebih ber­guna dibandingkan dengan negara-negara Barat.

Saat Prancis dan AS menguasai Laos, kedua negara itu tidak pernah membangun jembatan di atas sungai Mekong. Sekarang, enam jembatan besar terbentang di atasnya. Salah satu di antaranya di Thakhek. Di situ jarak transit melintasi Laos, antara perbatasan dengan Thailand dan dengan Vietnam yang pertumbuhan ekonominya cukup pesat, sangat pendek, hanya 145 kilometer. Di Thakhek, saya bisa melihat Thailand melalui jendela kamar saya sambil menonton Vietnam Idol di TV.

Pada suatu pagi di Vientiane, saya melihat sebuah klub motor memadati lobi hotel. “Kami sedang tur dari Malaysia,” ujar pengendara menjelaskan dengan sopan—perjalanan pulang pergi sejauh 4.200 kilometer. Pada pagi hari lainnya, di Louangphabang, saya terbangun dan melihat jalanan di luar penuh dengan mobil yang berdatangan. Setiap mobil memiliki plat Tiongkok. Warga Tiongkok yang kaya raya dari Kunming ini menuju selatan, juga untuk berlibur di Laos.

Era saling-terhubung secara damai yang baru ini menampilkan wajah manusia ke mana pun kita pergi. Konturnya pun terlihat dari udara. Saat terbang di atas sungai Mekong dari Savannakhet, kita dapat melihat salah satu jembatan yang dilintasi manusia dan produk yang keluar masuk Laos. Ke arah hulu dari jembatan itu, kita juga akan melihat tiang listrik mengalirkan lis­trik yang diekspor Laos ke seberang sungai.

 !break!

Puluhan tahun yang lalu, ketika saya berdiri di bantaran sungai di Vientiane, saya merenungkan pertanyaan yang saya tahu tidak akan pernah bisa saya jawab. Bagaimana orang-orang yang tampaknya rasional—orang Amerika seperti saya—mengira mereka bisa memenangi perang di Vietnam dengan memaksa Laos mengalami kehancuran seperti itu? Ketika saya menulis bahwa perang rahasia sedang terjadi di Laos, artikel itu menjadi berita utama di seluruh dunia.

Sebenarnya, intervensi militer AS di Laos, yang dimulai pada 1950-an dan berlangsung sampai 1974, tak pernah menjadi rahasia. Setiap wanita yang menjual bunga teratai di pasar pagi, setiap anak penarik becak—mereka tahu bukan hanya tentang Jalur Ho Chi Minh, melainkan juga pasukan rahasia CIA dan pengeboman rahasia AS terhadap penduduk sipil. Mereka juga tahu tentang keterlibatan rahasia AS dalam perdagangan opium.

Pada 1968, saya naik taksi umum dari dataran rendah Mekong ke Dataran Tinggi Boloven. Pesawat pengebom AS menjerit di udara. Di cakrawala, di sepanjang garis pepohonan, saya melihat beberapa orang berlarian mengenakan kamuflase. Itulah satu-satunya waktu selama perang saat saya benar-benar melihat tentara Vietnam Utara atau pesawat tempur AS menjatuhkan bom.

Di Pakxong, daerah bekas kekuasaan Prancis untuk para pekebun kopi, saya berjalan menuju bar telantar. Sebuah lukisan dinding menampilkan pemilik perkebunan Prancis sedang bersantai ditemani para wanita Laos yang molek. Saat itu hari sudah gelap dan satu-satunya tanda kehidupan berasal dari sebuah rumah kecil di sebelah gereja Prancis yang tua. Di dalam rumah itu, saya bertemu dengan seorang pendeta Prancis berkaki satu yang sedang minum wiski. Dia menuangkan segelas untuk saya. Dia sedang membaca terjemahan bahasa Prancis buku The Green Berets, kisah fiksi keberanian tentara Amerika di hutan. “Apakah Perang Vietnam itu seperti ini?” tanyanya.

!break!

Selama berpuluh tahun, saya ingin me­ngunjungi Pakxong lagi. Saya tahu pendeta itu pasti sudah tidak ada, tetapi saya tidak menduga bahwa Pakxong lama pun sudah lenyap. Setelah kedatangan saya pada 1968, pesawat pengebom B-52 telah meratakan tempat itu dua kali. Hanya sebuah sudut hangus sebuah bangunan saja yang masih tersisa.

Pakxong telah lenyap, jadi mengapa saat kembali ke sana dada saya dipenuhi perasaan gembira? Karena orang-orangnya—semuanya tampaknya begitu segar dan bahagia—sibuk membangun kehidupan yang lebih baik. Seperti Laos, Pakxong telah berubah dari medan perang menjadi pasar. Tempat barak Prancis dahulu berdiri kini telah menjadi pasar yang luas—semrawut, berlumpur, penuh plastik dan sampah organik, tetapi menyajikan apa pun yang ingin Anda jual atau beli. Yang paling membuat saya terpesona adalah kerbau besi.

Bayangkan Anda pengusaha Laos dan meng­inginkan segala sesuatu yang Anda lihat di TV, tetapi Anda hanya mampu membeli satu barang saja. Kerbau besi ini pilihan yang tepat. Tidak seperti kerbau biasa, kerbau besi dapat memompa air dan menarik bajak, dan bisa menerangi rumah Anda. Kerbau besi ini pada dasarnya adalah mesin pembakaran internal serbaguna dan portabel yang dapat digunakan untuk mengerjakan hampir semua hal. Hubungkan mesin dengan pompa air: Anda dapat menumbuhkan tanaman musim kemarau. Hubungkan dengan bajak: Anda dapat membudidayakan tanah hingga empat kali lipat.

Hubungkan kerbau besi Anda dengan gerobak, dan perjalanan dua hari bolak-balik ke pusat pasar besar terdekat hanya akan memakan waktu di pagi hari saja. Begitulah cara saya bertemu dengan Lan Keopanya. Dia sedang berusaha menyalakan truk bak terbuka buatannya sendiri ketika kami mulai mengobrol. Desanya, katanya, berjarak 20 kilometer dari pasar Pakxong. “Perjalanan itu saja menelan biaya empat liter solar, tetapi setimpal.” Karena dapat mencapai tempat itu dengan lebih cepat dan lebih sering, dia bisa menjual kopi, buah, dan sayuran yang ditanamnya dengan harga terbaik. Hari itu Lan pergi ke pasar membeli atap plastik untuk rumah barunya. Keenam anaknya sudah atau akan bersekolah, ceritanya bangga. Jalan baru sudah mencapai desanya. “Kami berharap listrik akan masuk dalam dua tahun,” katanya, saat dia mulai bergerak, bergegas memasang atap sebelum hujan turun.

Ketika berpisah, saya bertanya apa lagi yang dia inginkan. “Kami ingin lahan kami dibersih­kan dari bom,” katanya. “Jika bukan karena bom itu, saya pasti sudah melipatgandakan hasil kebun saya.”

Selama pengeboman, minoritas warga Laos yang tinggal di pegunungan mengalami penderi­ta­an mengerikan. Saat pengeboman semakin gencar, kaum wanita menggunakan keahlian menyulam dan membuat selimut untuk menggambarkan bencana. Dengan gambar anak-anak bergelimang darah, ladang terbakar, dan hewan berlarian ketakutan, karya seni mereka yang sebesar dinding adalah karya seni Laos yang setara dengan “Guernica” milik Pablo Picasso.

Keay Tcha, yang mengaku berusia 58 tahun, telah tinggal selama lebih dari 17 tahun di Ban Na Oune, desa pengungsi Hmong yang terletak di dekat Louangphabang. Wanita itu membentangkan salah satu karyanya yang menampilkan masa damai. Selimut itu menggambarkan surga yang menampilkan sungai berkilau mengalir deras, tanaman tumbuh subur, dan beraneka ragam binatang eksotis berlarian di bawah sinar matahari kaya warna. Ketika saya ingin melihat lebih banyak lagi karyanya, dia mengatakan sudah tidak membuat karya sebesar itu lagi. “Para wisatawan tidak mau permadani besar,” katanya. “Mereka ingin bordir murah yang dapat dibawa pulang di dalam tas jinjing. Jadi, sekarang saya membuat karya berukuran kecil yang dapat saya jual dengan harga lebih rendah.” Dia tidak memberikan penilaian apa pun tentang transformasi terbaru ini. Dia mampu hidup melalui masa damai ini sebagaimana dia melalui masa peperangan dengan menyadari apa yang perlu dilakukan, kemudian melaksanakannya.

!break!

Satu hal tidak pernah berubah di Laos: panasnya perjalanan. Saat mencari minuman dingin, saya tiba di sebuah toko serba ada milik seorang wanita bernama Khenchan Khamsao, terletak di jalan ke Louangphabang yang membentang dari utara ke selatan. Sebuah mesin minuman dingin berpintu kaca menarik perhatian saya, tetapi tempat sampah berwarna hijau tualah yang membuat kami mengobrol. Dengan alas yang rupawan, tempat sampah yang luas, dan tutup yang rapat, tempat sampah Khenchan terlihat anggun sekaligus serbaguna. “Tempat sampah ini dibuat dari ban truk usang,” ujarnya menjelaskan. Seperti sendok dan gelang Phet Napia, tempat sampah ini adalah contoh kejeniusan warga Laos untuk mengubah barang bekas menjadi benda yang berguna.

Kehidupannya berakar dari reruntuhan. Dia berasal dari bagian Provinsi Khammouan yang hancur lebur di Laos tengah; di kawasan itu terdapat banyak tempat yang sampai sekarang masih dipenuhi bom yang tak meledak (UXO) sehingga mustahil dapat bertani di situ. Karena lahan mereka tidak dapat digunakan, ia dan suaminya pindah ke lokasi yang luas di tepi jalan ini; 12 tahun kemudian, mereka melambangkan kisah sukses warga Laos. Toko mereka menempati lantai dasar rumah baru. Suaminya bekerja sebagai pekerja bangunan di proyek irigasi di Vangviang, 105 kilometer di sebelah utara. Ketiga anak mereka belajar di sekolah negeri—anak-anak yang masih kecil di sekolah lokal, yang tertua di Vientiane.

Khenchan dan keluarganya pernah mengalami hujan bom dan sekarang mereka menikmati uang yang diperolehnya. Namun, ternyata uang pun mendatangkan bahaya. Ketika saya berkomentar bahwa anak sulungnya akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik di ibukota, dia menjawab, “Tidak, bukan itu alasan kami menyuruhnya pergi. Saya mengirimnya ke Vientiane untuk menjauhkannya dari para pengedar narkoba.” Perang melawan narkoba dimulai pada 1989 dengan pendanaan dari AS untuk memberantas opium. Pada 2006, Laos mendeklarasikan negaranya bebas dari opium, tetapi saat ekonomi tumbuh pesat, selera untuk metamfetamin dan narkoba lainnya mengambil alih. Negara ini menjadi pusat transit regional utama untuk metamfetamin, heroin, dan opium, yang kini kembali naik daun. Daerah pedesaan yang lebih terkena dampaknya.

!break!

Di Laos, ketika suhu turun hingga di bawah 20 derajat Celsius, orang mulai mengenakan mantel dan topi, lalu menyalakan api, yang memicu musim kematian. Menjelang malam Tahun Baru, tiga sahabat di Provinsi Xiang­khouang pergi berkemah. Malam itu terasa dingin sehingga mereka menyalakan api. Satu orang langsung tewas di tempat ketika bom di bawah perkemahan mereka meledak. Temannya yang lain cacat. Saya mengunjungi Yer Herr, korban ketiga, di rumahnya di desa. Pemuda berusia 18 tahun itu melepas kemejanya untuk menunjukkan 19 bekas luka di punggungnya.

Di desa yang ditinggali Yer, warga memiliki listrik, TV satelit, ponsel. Setiap ibu, istri, adik, dan anak pun tampaknya memiliki suami, saudara laki-laki, atau gadis kecil yang cacat atau tewas oleh bom Amerika, lama setelah perang berakhir. Di sekolah menengah setempat, aljabar sedang diajarkan di papan tulis. Saya tidak bisa menguraikan persamaannya: remaja Laos di desa terpencil ini sedang memelajari matematika yang lebih maju dari yang pernah diajarkan kepada saya sewaktu seusia mereka. Setelah pulang, saya menunjukkan foto papan tulis itu kepada seorang pakar matematika. “Persamaan ini menganalisis kecepatan benda jatuh, seperti bom,” katanya.

Bom jatuh pun masih muncul dalam mimpi mereka. “Bayangan itu tidak pernah hilang dari kehidupan saya,” begitu tutur seorang seniman bordir terkenal di dunia bernama Tiao Nithakhong Somsanith saat saya mengagumi penggunaan benang emas untuk menyulam sutra Laos dengan gambar pesawat pengebom. Tiao Nithakhong ikut menghidupkan kembali kesenian tradisional di negaranya: tarian klasik, merangkai bunga, desain kostum, musik orkestra, dan beraneka macam tenun.

Saat melihat-lihat karya indahnya di se­buah galeri seni Louangphabang, saya melihat sesuatu yang pernah saya lihat juga pada barang kerajinan desa. Terlepas apakah bahannya berupa bambu atau plastik, sutra atau serat sintetis, tenun adalah seni yang paling dikuasai warga Laos. Sebagai pakar yang mampu meng­ubah setiap jenis bahan menjadi sesuatu yang bermanfaat dan indah, mereka menenun daun palem menjadi keranjang, bambu menjadi tempat membendung ikan. Mereka menenun sutra dan benang emas menjadi rok wanita cantik yang disebut sin.

!break!

Jika dijumlahkan, pasukan AS menjatuhkan lebih dari 270 juta bom tandan, atau “bombies” di Laos—jumlahnya lebih dari satu bom untuk setiap pria, wanita, dan anak-anak di Amerika pada saat itu—serta empat juta bom besar. Berat total bom yang dijatuhkan itu sekian kali lebih besar daripada berat badan penduduk Laos, yang pada saat itu memiliki populasi mungkin sekitar dua juta orang.

Selama perang itu, Washington secara berkala mengumumkan “penghentian pengeboman,” tetapi ban berjalan berisi amunisi yang mem­bentang dari persediaan bom di AS yang terletak 12.000 kilometer melintasi Samudera Pasifik tidak dapat dihidupkan dan dimatikan begitu saja. Bom yang tidak jatuh di Vietnam diarahkan ke Laos. Ini adalah perang pertama di seluruh dunia yang dipicu oleh pasokan amunisi. Amunisi yang bertumpuk selalu menggoda untuk digunakan. Produksi massal kematian dari udara ini tidak memiliki kontrol kualitas yang baik: Mungkin sekitar 80 juta dari bom tandan ini tidak meledak saat mendarat dan diperkirakan masih aktif. Sekitar 10 persen bom besar juga gagal meledak.

Warga Laos bersifat pemaaf, tetapi selama Laos tetap dipenuhi bahan peledak, tidak seorang pun bisa melupakannya, karena jika lupa, Anda dapat tewas. Tidak peduli seberapa indah pemandangan di Plain of Jars, janganlah melupakannya dan dakilah bukit di dekatnya untuk menikmati pemandangan yang lebih indah. Bom di tempat itu bisa membuat Anda cacat, seandainya Anda tidak sampai tewas. Tidak peduli berapa kali Anda memperingatkan anak-anak, jangan melupakannya dan jangan membiarkan mereka mengambil kapsul yang terlihat seperti mainan. Bom tandan berbentuk bulat kecil itu bisa saja membuat mereka cacat bahkan merenggut nyawa.

Ketika Mines Advisory Group yang ber­markas di Inggris menyelenggarakan kursus tentang bahaya UXO, murid sekolah menyimak para korban ledakan menjelaskan luka mereka—luka psikologis maupun fisik. Setelah itu, anak-anak ditanya apa yang akan mereka katakan jika kebetulan bertemu dengan orang yang menjatuhkan bom. Seorang anak kecil mengangkat tangannya. “Saya akan mengatakan kepadanya bahwa mereka harus membayar penderitaan kami dengan uang.”

Kongres AS menganggarkan dana sekitar Rp159 miliar pada 2014 untuk membersihkan UXO. Kedutaan AS yang baru di Laos me­nelan biaya Rp1,9 triliun. Perbedaan ini men­cerminkan prioritas AS: komitmen yang dapat dibenarkan untuk meningkatkan ke­amanan para diplomat, tetapi juga nyaris meng­abaikan tanggung jawab historis Amerika di Laos, padahal boleh dikatakan setiap bom yang tidak meledak itu dibuat di Amerika dan diletakkan di sana oleh pasukan Amerika.

Semangat warga Laos tidak pernah bisa dipadamkan—tidak oleh orang asing, tidak pula oleh penguasa negaranya sendiri. Di masa depan, warga Laos akan terus mengubah apa pun yang menimpa mereka menjadi karya seni sehari-hari yang praktis, karena mereka memiliki karunia besar untuk memahami manfaat dan keindahan pada benda yang dilihat orang lain sebagai kehancuran dan limbah. Selama perang udara, pengrajin Laos membuat kano ramping bermotor dari wadah bahan bakar yang dibuang pesawat pengebom B-52.

Di dekat bandara Louangphabang, saya me­­­nemu­­kan contoh lain tentang bagaimana kehidupan di Laos selalu menemukan cara untuk berkembang. Tanaman anggur tumbuh me­lilit kabel bekas antena CIA yang dahulu digunakan untuk mengirimkan berita rahasia. Namun, hal ini belum menghilangkan bahaya yang telah terjadi—dan masih terus terjadi.

---

Stephen Wilkes adalah juru foto peraih penghargaan; karyanya dimuat di New York Times Magazine, Vanity Fair, dan Time. Inilah fitur pertamanya untuk National Geographic.