Paus Fransiskus dan Vatikan

By , Rabu, 22 Juli 2015 | 16:59 WIB

Bergoglio yang pemalu—menggambarkan diri sebagai callejero, atau pengembara jalanan—lebih suka berteman dengan kaum miskin daripada kaum berada. Kegemarannya sendiri tidak banyak: sastra, sepak bola, musik tango, dan pasta gnocchi. Meski sangat sederhana, ia makhluk kota, pengamat sosial yang tajam, dan dengan gayanya yang tenang, pemimpin alami. Dia juga pandai memanfaatkan momen—baik pada 2004, mengecam korupsi dalam pidato yang dihadiri presiden Argentina, atau di Luna Park pada 2006, turun berlutut. Seperti kata Pastor Carlos Accaputo, penasihat yang akrab dengan Bergoglio sejak bekerja untuknya pada 1992, “Menurut saya, Tuhan telah mempersiapkannya, sepanjang pelayanan kepastorannya, untuk saat ini.”

!break!

Lebih dari itu, pemilihannya sebagai paus bukanlah kebetulan. Seperti yang dijelaskan penulis Roma, Massimo Franco, “Pemilihannya muncul dari trauma”—dari pengunduran diri mendadak dari paus yang menjabat, Benediktus XVI, dan dari menguatnya pendapat di kalangan kardinal progresif bahwa suasana pemikiran Takhta Suci yang kolot dan Eropa-sentris sedang menggerogoti Gereja Katolik dari dalam.

Saat duduk di ruang tamu apartemennya pagi itu, sang paus mengakui kepada teman-teman lamanya tentang tantangan menggentarkan yang menantinya. Kesemrawutan keuangan di Institute for the Works of Religion (yang secara tidak sopan dijuluki bank Vatikan). Ketamakan birokratis yang menggoda administrasi pusat, yang dinamai Kuria Roma. Terus terungkapnya kasus pastor paedofil yang dilindungi pejabat gereja dari keadilan.

Norberto Saracco, temannya yang pendeta Pantekosta dan cendekiawan, masih ingat dia mengungkapkan kekhawatirannya tentang keberanian sang paus. “Jorge, kita tahu kau tidak memakai rompi antipeluru,” katanya. “Di luar sana banyak orang gila.”

Fransiskus menjawab dengan tenang, “Tuhan menempatkan saya di sini. Dia akan menjaga saya.” Meskipun dia tidak pernah ingin menjadi paus, dia berkata bahwa begitu namanya disebutkan di konklaf, dia merasakan kedamaian yang besar. Dan meski dia mungkin akan menimbulkan kebencian yang besar, dia menenangkan teman-temannya, “Saya masih merasakan kedamaian itu.”

Saat Federico Wals, yang pernah menjadi asisten pers untuk Bergoglio, berkunjung ke Roma tahun lalu untuk menemui sang paus, dia mengunjungi dulu Pastor Federico Lombardi, pejabat komunikasi Vatikan yang memiliki tugas yang sama seperti Wals terdahulu, tetapi pada skala yang jauh lebih besar. “Jadi, Bapa,” tanya si orang Argentina, “bagaimana perasaan Anda tentang mantan atasan saya?”  Berhasil tersenyum, Lombardi menjawab, “Bingung.”

!break!

Lombardi pernah menjadi juru bicara Benediktus, yang sebelumnya bernama Joseph Ratzinger, seorang lelaki dengan ketelitian khas Jerman. Setelah bertemu dengan pemimpin negara, mantan paus itu biasanya datang dan menyampaikan ringkasan tajam dengan cepat. Lombardi bercerita dengan kerinduan yang terasa nyata: “Luar biasa. Benediktus begitu jelas. Dia biasa berkata, ‘Kami membicarakan hal-hal ini, saya sepakat dengan hal-hal ini, saya mendebat hal-hal lain, tujuan pertemuan kami berikutnya adalah ini’—dua menit dan saya memahami isi pertemuan tersebut. Dengan Fransiskus—‘Orang ini bijak; dia memiliki pengalaman menarik ini-ini-ini.’ ”

Terkekeh pasrah, Lombardi menambahkan, “Diplomasi bagi Fransiskus bukan soal strategi, melainkan, ‘Saya bertemu dengan orang ini, sekarang kami memiliki hubungan pribadi, mari kita berbuat baik bagi masyarakat dan gereja.’ ”

Juru bicara sang paus menceritakan etos baru Vatikan sambil duduk di ruang rapat kecil di gedung Radio Vatikan. Lombardi berpakaian pastor kusut selaras dengan raut bingung dan lelah di wajahnya. Baru saja kemarin, katanya, sang paus mengadakan pertemuan di Casa Santa Marta bersama 40 pemimpin Yahudi—dan kantor berita Vatikan baru mengetahuinya setelah acara. “Tidak ada yang tahu semua kegiatannya,” kata Lombardi. “Sekretaris pribadinya pun tidak tahu.

Penampilan paus baru ini, dengan arloji plastik dan sepatu ortopedis besar, yang sarapan di kantin Vatikan, membutuhkan pembiasaan. Juga selera humornya, yang sangat informal. Setelah dikunjungi di Casa Santa Marta oleh teman lama sesama orang Argentina, Uskup Agung Claudio Maria Celli, Paus Fransiskus bersikeras mengantar tamunya ke lift.

“Buat apa ini?” tanya Celli. “Mau memastikan aku benar-benar pergi?”

Tanpa ragu, sang paus menceletuk, “Dan memastikan kau tidak mengambil apa-apa.”