Paus Fransiskus dan Vatikan

By , Rabu, 22 Juli 2015 | 16:59 WIB
!break!

Seperti banyak lembaga, Vatikan tidak mudah menerima perubahan, dan mencurigai orang yang hendak membawanya. Sejak abad ke-14, episentrum Katolik ini adalah negara-kota bertembok seluas 44,5 hektare di dalam kota Roma. Vatican City sudah lama menjadi magnet bagi wisatawan, berkat Kapel Sistina dan Basilika Santo Petrus. Tempat ini pun menjadi tujuan ziarah bagi 1,2 miliar penganut Katolik di bumi—yang berarti dunia datang ke sini dan bukan sebaliknya. Birokrasi diplomasinya, dengan kekhasan birokrasi, menghadiahi uskup yang disukai dengan jabatan empuk sementara menugaskan uskup yang kurang disukai ke wilayah dunia yang relatif suram. Selama berabad-abad kota ini selamat menghadapi penaklukan, wabah, kelaparan, fasisme, dan skandal. Temboknya bertahan.

Sekarang datang Paus Fransiskus, lelaki yang membenci tembok dan pernah berkata kepada seorang teman saat melewati Casa Rosada, kediaman presiden Argentina: “Bagaimana mereka bisa tahu keinginan rakyat jika mem­bangun pagar di sekeliling diri mereka?” Dia ingin menjadi sosok yang disebut Franco, yang menulis buku tentang Paus Fransiskus dan Vatikan, sebagai “paus yang mudah didekati umatnya—suatu hal yang biasanya tak terjadi.”  Membayangkan itu saja sepertinya sudah membuat pucat wajah buram Vatikan.

Para pejabat Vatikan masih berusaha me­nimbang-nimbang lelaki itu. Mereka mungkin tergoda untuk melihat reaksi tulus sang paus sebagai bukti bahwa dia makhluk yang dikuasai naluri murni. “Benar-benar spontan,” kata Lombardi tentang tindakan Paus Fransiskus yang menuai banyak komentar selama kunjungannya ke Timur Tengah—antara lain, memeluk seorang imam, Omar Abboud, dan seorang rabi, temannya Skorka, setelah berdoa bersama mereka di Tembok Barat. Tetapi sebenarnya, kata Skorka, “Saya membicarakan itu dengannya sebelum kami berangkat ke Tanah Suci—saya berkata, ‘Ini mimpi saya, berpelukan dengan Anda dan Omar di samping tembok.’”

Bahwa Paus Fransiskus sudah menyanggupi permintaan rabi itu sebelumnya, menyiratkan kesadaran bahwa setiap tindakan dan suku katanya akan dianalisa arti simbolisnya. Kehati-hatian seperti itu sangat sesuai dengan sosok Jorge Bergoglio yang dikenal teman-temannya, yang menepiskan pemikiran bahwa dia tak bersiasat. Mereka menggambarkannya sebagai “pemain catur,” yang “mengatur dengan sempurna” setiap hari yang dijalani, “memikirkan matang-matang setiap langkah yang hendak diambilnya.”

!break!

Bahkan dalam perubahan gaya hidup yang tampak drastis, dia mau menyesuaikan diri secara wajar dengan realitas hidup di Vatikan. Dia sempat mengusulkan bahwa Garda Swiss-nya tidak perlu mengikutinya ke mana-mana, tetapi sejak itu pasrah dengan kehadiran mereka yang hampir tak pernah putus. Meski dia menolak mobil paus berlapis kaca antipeluru yang sering digunakan sejak upaya pembunuhan Paus Yohanes Paulus II pada 1981, dia menyadari bahwa dia tidak dapat lagi naik kereta bawah tanah dan membaur di kampung kumuh, yang terkenal sering dilakukannya di Buenos Aires.

Menurut teman-temannya, sebagai pemimpin Vatikan dan orang Argentina, dia merasa wajib menyambut presiden negaranya, Cristina Fernández de Kirchner, sekalipun dia menyadari bahwa sang presiden memanfaatkan kunjungan itu untuk meraih keuntungan politik. “Saat Bergoglio menyambut sang presiden dengan ramah, itu benar-benar karena belas kasihnya,” kata pendeta Injili dari Buenos Aires, Juan Pablo Bongarrá. “Presiden itu tidak layak menerimanya. Tetapi, demikianlah Tuhan mengasihi kita, dengan belas kasih murni.”

Meski tampak tenang, Paus Fransiskus tetap mendekati tanggung jawab barunya dengan keseriusan yang dilembutkan oleh kerendah-hatian khas dirinya. Seperti yang dikatakannya tahun lalu kepada mantan muridnya, penulis Argentina, Jorge Milia, “Saya mencari-cari di perpustakaan Benediktus, tetapi tidak berhasil menemukan buku petunjuk. Jadi, saya berusaha sebaik yang saya bisa.”

Dia, menurut media, seorang reformator. Radikal. Revolusioner. Dan dia juga bukan semua itu. Dampak yang ditimbulkannya sejauh ini tak mungkin luput dari perhatian, tak mungkin pula diukur. Fransiskus telah menyulut percik spiritual tak hanya di tengah umat Katolik, tetapi juga umat Kristiani lain, umat agama lain, dan bahkan orang tidak beragama. Seperti kata Skorka, “Dia tengah mengubah religiositas di seluruh dunia.”  Sang pemimpin Gereja Katolik dipandang luas sebagai kabar baik untuk lembaga yang bertahun-tahun sebelum kedatangannya hanya mengenal kabar buruk.

Bagi sebagian pejabat, popularitas sang paus juga mengancam. Ini menegaskan mandat yang diberikan kepadanya oleh para kardinal yang menginginkan pemimpin yang dapat menanggalkan keberjarakan gereja dan mendekatkan diri pada pengikutnya secara spiritual. Salah seorangnya, Kardinal Peter Turkson dari Ghana, mengenang, “Menjelang konklaf, saat semua kardinal berkumpul, kami berbagi pandangan. Ada suasana tertentu: Mari kita usahakan perubahan. Suasana seperti itu terasa kuat di dalam.”

!break!

“Kardinal Bergoglio tidak terlalu dikenal oleh orang-orang yang berkumpul di sana,” Turkson melanjutkan. “Tetapi, lalu dia berbicara—semacam manifesto darinya. Dia menasihati hadirin bahwa kami perlu memikirkan gereja yang menjangkau ke pinggiran—tidak hanya secara geografis tetapi ke pinggiran keberadaan manusia. Menurutnya, Injil mengajak kami semua untuk memiliki kepekaan seperti itu. Itulah sumbangsihnya. Dan itu membawa semacam kesegaran untuk pelaksanaan pelayanan pastoral, pengalaman yang berbeda dalam melayani umat Tuhan.”

Bagi orang seperti Turkson yang meng­inginkan perubahan, Fransiskus tidak mengecewakan. Dalam dua tahun dia menunjuk 39 kardinal, 24 di antaranya berasal dari luar Eropa. Sebelum menyampaikan pidato yang menyengat pada Desember lalu ketika dia menyebutkan satu per satu “penyakit” yang menjangkiti kuria (di antaranya, “membanggakan diri,” “bergunjing,” dan “laba duniawi”), sang paus menugasi sembilan kardinal—semua kecuali dua adalah orang luar di kuria—untuk mereformasi lembaga itu. Menyebut penganiayaan seksual di gereja sebagai “kultus asusila,” dia membentuk Pontifical Commission for the Protection fo Minors yang dipimpin Seán Patrick O’Malley, uskup agung Boston.

Untuk menjadikan keuangan Vatikan lebih transparan, sang paus mendatangkan mantan pemain rugbi yang tangguh, Kardinal George Pell dari Sydney, Australia, dan mengangkatnya sebagai pejabat pimpinan Sekretariat Ekonomi—jabatan yang menempatkan Pell sejajar dengan sekretaris negara. Di tengah semua penunjukan ini, sang paus melakukan tindakan yang menghormati pemerintahan lama: Dia mempertahankan jabatan Kardinal Gerhard Müller, orang garis keras yang ditunjuk oleh Paus Benediktus, sebagai kepala Kongregasi Ajaran Iman, yang menegakkan keyakinan gereja.