Paus Fransiskus dan Vatikan

By , Rabu, 22 Juli 2015 | 16:59 WIB

Tindakan seperti itu merupakan pertanda perubahan—tetapi sulit menentukan akan ke mana ujungnya nanti. Beberapa tindakannya menggiur kaum reformis maupun kaum Katolik yang lebih tradisional. Sinode Keluarga awal yang diadakan Fransiskus pada Oktober lalu tidak menghasilkan perubahan doktrin yang meluas, menenangkan kaum Katolik konservatif yang memang mencemaskan hal itu.

!break!

Tetapi, sinode sebenarnya pada Oktober ini dapat membuahkan hasil yang berbeda. Soal penghapusan pelarangan Komuni bagi orang Katolik yang bercerai dan pernikahannya tidak dibatalkan, Scannone, teman dan mantan dosen sang paus, berkata,  “Dia memberi tahu saya, ‘Saya ingin mendengar semua orang.’ Dia akan menunggu sampai sinode kedua, dan dia akan mendengar pendapat semua orang, tetapi dia jelas terbuka terhadap perubahan.”

Demikian pula, Saracco, sang pendeta Pantekosta, membahas dengan sang paus kemungkinan menghapuskan persyaratan kehidupan selibat untuk menjadi pastor. “Jika dia dapat bertahan terhadap tekanan gereja saat ini dan hasil Sinode Keluarga pada bulan Oktober,” katanya, “saya rasa setelah itu dia siap berbicara tentang selibat.”  Ketika saya bertanya apakah sang paus mengatakan hal ini atau Saracco mengandalkan firasat, Saracco tersenyum penuh rahasia dan berkata, “Ini lebih dari sekadar intuisi.”

Namun, kata dan perbuatan sang paus kini bagaikan bercak tinta Rorschach yang dapat ditafsirkan pemirsanya sesuai keinginan masing-masing. Bagi lelaki yang kata dan kebiasaannya begitu sederhana, ini terkesan ironis.

Pada 2010, Yayo Grassi, pengusaha jasa boga di Washington, D.C., mengirim surel kepada mantan gurunya, sang uskup agung Buenos Aires. Grassi, seorang homoseksual, membaca bahwa mentor yang disayanginya mengecam undang-undang yang akan melegalkan pernikahan sesama jenis. “Selama ini Anda menjadi pemandu saya, terus menampakkan cakrawala baru bagi saya—Anda membentuk aspek pandangan saya yang paling progresif,” tulis Grassi. “Dan mendengar ini dari Anda sangatlah mengecewakan.”

!break!

Sang uskup agung membalas melalui surel—meski tentu memberi draf dengan tulisan tangan kecil kepada sekretarisnya, karena Paus Fransiskus, saat itu maupun sekarang, belum pernah membuka Internet, menggunakan komputer, atau bahkan memiliki ponsel. Dalam tulisan awalnya, ia menyatakan bahwa dia menganggap serius kata-kata Grassi. Pendirian Gereja Katolik tentang pernikahan memang demikian. Tetapi, Bergoglio merasa sedih karena menyebabkan muridnya kecewa. Mantan maestrillo Grassi itu meyakinkannya bahwa media salah menafsirkan pendiriannya. Terutama, dalam pelayanannya sebagai pastor, tidak ada tempat bagi homofobia.

Korespondensi surel ini memberi gambaran sekilas tentang apa yang dapat, dan tidak dapat diharapkan dari kepausannya. Pada akhirnya, Bergoglio tidak meninggalkan pendiriannya yang menentang pernikahan sesama jenis, yang dipandangnya sebagai ancaman terhadap “identitas dan keselamatan keluarga: ayah, ibu, dan anak-anak.”  Di antara belasan teman yang saya wawancarai, tidak ada yang meyakini bahwa Fransiskus akan menilai ulang pendirian gereja tentang masalah ini.

Hal yang kini memukau orang ramai di Lapangan Santo Petrus: putih menyilaukan dari pakaian pausnya, kini melambangkan kesederhanaan yang mudah didekati umatnya. Selain itu, ada pula kedekatannya dengan jalanan, yang diperkuat pandangan Yesuit yang mementingkan keterlibatan dengan masyarakat—el encuentro, pertemuan, kegiatan yang jelas jauh lebih berat daripada penerbitan doktrin yang tidak bersifat pribadi. Karena hal ini memerlukan keberanian merendahkan diri.

Itulah yang mendorong Bergoglio turun berlutut dan meminta doa ribuan orang Kristen Injili. Itulah yang menyebabkan air matanya berlinang saat mengunjungi perkampungan kumuh di Buenos Aires ketika seorang lelaki menyatakan dia tahu sang uskup agung adalah bagian dari masyarakat karena pernah melihatnya duduk di kursi belakang bus. Dan itulah yang mengguncang jutaan orang ketika dua tahun lalu, ketika dalam momen retorika kepausannya, Paus Fransiskus mengucapkan kata-kata sederhana dan mencengangkan, yang diucapkan sebagai pertanyaan lembut untuk menjawab pertanyaan soal pastor homoseksual: “Siapa saya sehingga berhak menghakimi?”

!break!

Tampaknya inilah misi sang paus: menyulut revolusi di dalam Vatikan dan di luar temboknya, tanpa menjungkirbalikkan segudang ajaran yang sudah lama dianut. “Dia tidak akan mengubah doktrin,” kata de la Serna, teman Argentina­nya, bersikeras. “Yang akan dilakukannya adalah mengambilkan gereja ke doktrin sejatinya—doktrin yang telah dilupakan gereja, yang menempatkan manusia kembali di pusatnya. Sudah terlalu lama gereja menempatkan dosa di pusat.”

Tetapi, lelaki yang memberi tahu teman-temannya bahwa dia perlu “mulai melakukan perubahan sekarang” tak punya banyak waktu. Komentarnya pada musim semi ini bahwa kepausannya mungkin hanya “empat atau lima tahun” tak mengejutkan teman-temannya, yang tahu bahwa dia ingin menjalani sisa hidupnya di kampung halaman. Tetapi, kata-kata itu tentu menenangkan golongan garis keras di Vatikan yang akan berupaya memperlambat upaya Fransiskus mereformasi gereja dan berharap bahwa penerusnya bukan lawan yang tangguh.

Tetap saja, revolusi ini, baik berhasil atau tidak, tetap lain dari yang lain, setidaknya karena dikerahkan dengan kegembiraan yang tak kenal lelah. Ketika uskup agung baru Buenos Aires, Kardinal Mario Poli, mengunjungi Kota Vatikan dan berkomentar kepada Fransiskus, betapa luar biasanya melihat temannya yang dulu muram kini selalu tersenyum, sang paus mempertimbangkan kata-kata itu dengan cermat, seperti biasa.

Lalu Fransiskus, pastinya sambil tersenyum, berkata, “Menjadi paus itu sangat menghibur.”

---

Fotografer Dave Yoder dan pe­nulis Robert Draper bekerja sama menyusun buku National Geographic yang segera terbit, Pope Francis and the New Vatican.