Pada hari pertama perjalanan di rimba, Hilaree hampir digigit ular. Dia melihat satwa itu bergelung di jalur dan melompatinya. Bersiap menyerang, kepala datar ular itu bergoyang-goyang ke samping, lidah hitamnya menjulur-julur. Kami semua menjaga jarak kecuali Cory, yang berlutut dan mulai memotret. “Ular bangkai laut,” dia memberi tahu.
Itu salah satu dari selusin ular yang diperingatkan oleh ahli toksinologi Zoltan Takacs sebelum kami datang ke Myanmar. Kalau ada yang tergigit, bisa ular dapat menyebabkan perdarahan dari hidung, mata, gusi, dan dubur, serta dapat merenggut nyawa.
!break!Ada pula lintah, yang tidak terlalu berbahaya. Sepanjang hari kami mencopot lintah penuh darah dari kulit, menyisakan bekas gigitan yang baru sembuh total berminggu kemudian.
Lalu, ada laba-laba. Kami selalu menembus sarang laba-laba sebesar jala. Ada yang dihuni laba-laba yang menampakkan taring begitu besar sehingga terlihat dari jarak satu meter.
Kami bermalam di rumah panggung milik orang Rawang. Mereka tidak kebal terhadap tingkah polah rimba. Di satu desa, seorang ibu yang kebingungan mendatangi kami dengan membawa anak yang menjerit-jerit, tubuh kecilnya bengkak akibat gigitan yang terinfeksi. Ketika saya bertanya bagaimana nasib anak itu, tetua suku berkata, “Semua orang di sini sembuh sendiri atau mati.”
Kaki salah seorang porter termuda kami, gadis sekolah sekitar 12 tahun, begitu berbilur-bilur akibat gigitan sampai-sampai kulitnya bergelombang seperti kulit kodok. Dia salah satu dari tiga gadis berumur sepantar, bersama saudara lelaki, orang tua, dan kakek-nenek mereka, yang terpaksa kami pekerjakan sebagai porter. Mereka semua mengangkut beban dengan efisiensi yang terlatih.
Sesungguhnya kami membawa terlalu banyak barang—peralatan kamera dan cahaya, laptop, baterai ekstra, bahkan dua drone untuk potret udara—pernak-pernik ekspedisi modern. Jadi, kami mulai meninggalkan tas perlengkapan sampai tersisa seperempat beban semula.
!break!Pada waktu lain, kami tentu menemukan banyak warga setempat di sepanjang jalur ini yang mau memperoleh $15 sehari, dua kali lipat upah setempat. Tetapi, saat kami tiba pada musim gugur 2014, Hkakabo Razi menjadi berita utama secara tak terduga.
Pada 10 September 2014, tiga minggu sebelum tim kami berangkat dari Amerika Serikat, judul berita Associated Press berbunyi: “Pencarian pendaki hilang dimulai di Myanmar.” Ekspedisi delapan orang berkebangsaan Myanmar berangkat ke Hkakabo untuk menempatkan salah satu warganya di puncak tertinggi di negara itu. Ini masalah kebanggaan bangsa.
Perhatian mendadak Myanmar pada gunung ini sebagian disebabkan oleh sebuah tim pendakian Amerika lain. Pada tahun sebelumnya, Andy Tyson, pemandu yang tinggal di Pegunungan Teton, memimpin ekspedisi Amerika-Myanmar ke puncak tetangga yang bernama Gamlang Razi. Setelah mempelajari peta topografi Rusia modern, serta citra dari Google Earth, Tyson menyimpulkan bahwa Gamlang mungkin sebenarnya lebih tinggi daripada Hkakabo.
“Tidak ada orang di Myanmar yang ingin percaya bahwa Gamlang lebih tinggi daripada Hkakabo,” kata Tyson kepada saya tahun lalu, menjelaskan bahwa Hkakabo adalah lambang kebanggaan bangsa yang dipuja sejak dulu. Kenyataan bahwa seorang asing mempertanyakan ketinggiannya membuat sebagian orang Myanmar merasa jengah. (Tragisnya, Andy Tyson tewas dalam kecelakaan pesawat pada bulan April.)
Gunung tertinggi di Myanmar akan terus menjadi misteri sampai ada yang berdiri di puncak Hkakabo dengan GPS.