Inikah Gunung Tertinggi di Myanmar?

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 15:05 WIB

Angin menghantam saya. Saya menggenggam kapak es erat-erat agar tidak terenggut dari muka gunung. Kemudian, saya menekankan kepala pada salju, menenangkan diri, dan melihat ke bawah. Di bawah crampon saya, terlihat jarak 1.500 meter ke tanah. Rasanya seperti melihat dari pintu pesawat yang terbuka. Saya terhubung dengan tali pada kedua teman saya, tetapi tidak tertambat sama sekali ke gunung. Kalau sampai jatuh di sini, kami bertiga akan meluncur menemui ajal.

Ketika angin reda, saya memalu pancang aluminium ke salju dan mencantolkan tali ke situ. Tidak akan kuat kalau saya jatuh, tetapi cukup memberi saya ketenangan psikologis untuk melanjutkan. Saya memusatkan pikiran, secara metodis mengayunkan peralatan es dan menancapkan crampon. Di benteng batu saya menempatkan jangkar dan menjaga tali untuk rekan-rekan saya, Cory Richards dan Renan Ozturk, yang sedang menyeberangi jurang.

“Pendakian perintis yang bagus, bung!” seru Cory mengatasi deru angin setelah dia sampai. Dia melanjutkan mendaki, menyerong ke kiri, mencari jalan naik melalui granit dan salju. Ketika Renan sampai ke tempat saya, tidak ada tempat di sembir saya, jadi dia mencari sembir sendiri. Cory dengan hati-hati berjinjit di atas duri crampon, menyusuri sembir sempit di atas kami dan menghilang dari pandangan.

Saya dan Renan menunggu, merunduk menghindari angin. Kami mengentakkan kaki dan menepukkan tangan bersarung sampai sakit. Jarak kami terlalu jauh untuk berbicara. Kami hanya berdiri, bersama-sama tetapi sendiri-sendiri, pada muka tebing berlapis salju, di ketinggian lima kilometer lebih di langit. Setelah setengah jam, kami mulai membeku. Setelah sejam, jari tangan dan kaki tak terasa lagi. “Saya tak tahan lagi,” teriak Renan melalui jenggotnya yang beku. “Kaki saya mati rasa. Saya harus mulai bergerak.”

!break!

Kami tidak tahu Cory sedang apa di atas kami, tetapi kami begitu kedinginan sehingga itu tak penting lagi. Renan mulai mendaki, lalu saya menyusul. Kami semua masih terhubung dengan tali, jadi tidak boleh ada yang jatuh. Tali ini semestinya ditambatkan ke gunung untuk menahan jatuh, tetapi dilema hidup-mati seperti ini sering terjadi dalam mendaki gunung. Ketika tidak ada jangkar yang baik, rekan kitalah yang menjadi jangkar, secara fisik maupun emosi. Kita harus memercayakan hidup pada pertimbangan dan keahlian mereka, dan mereka memercayakan hidup pada kita. Itulah aturan di gunung.

Saya dan Renan berhenti di relung batu kecil yang menghadap ke sisi utara gunung. Melalui tiupan salju kami melihat Cory melintasi hamparan salju lain. Terlalu berbahaya kalau saya dan Renan terus bergerak. Sekali lagi, kami harus menunggu. Kami membungkuk berdekatan, tetapi masih kedinginan. Angin berpusar di sekitar tubuh kami, melolong dan menggigiti kami bagai dubuk tak kasatmata. “Kaki saya sudah dingin ‘wajib pulang’,” kata Renan. Maksudnya, kakinya sudah hampir terkena radang dingin.

Saya bertanya-tanya, setidaknya kesepuluh kalinya dalam ekspedisi ini, apakah ini akhir misi kami mendaki puncak tertinggi di Myanmar—perjalanan yang telah mendesak kami ke batas fisik dan emosi. Jauh di bawah kami di gunung ini, anggota tim kami yang lain menyemangati kami dalam hati. Manajer kemah induk kami, Taylor Rees, berada di kaki gunung. Kemarin kami meninggalkan Hilaree O’Neill dan Emily Harrington di kemah 3, tenda yang bertengger di gigir bersalju, tempat tim kami yang kelelahan sempat bertengkar getir tentang siapa yang mencoba naik ke puncak.

!break!

Saya menyuruh Renan melepaskan sepatu bot dan menyusupkan kakinya ke dalam parka bulu saya, menempel ke dada saya. Dia masih berkaus kaki, dan dada saya tidak sepanas tungku, tetapi inilah satu-satunya yang dapat kami lakukan.

Setelah Cory mengitari tembok batu, kami mulai bergerak. Sejam kemudian barulah kami akhirnya berkumpul kembali di sembir sempit. Target kami berikutnya masih jauh di atas kami—puncak gigir barat, berkilap bagai mata pedang.

“Aku pertama,” kata Renan. Dia mulai mendaki, dengan kaku menancapkan crampon ke salju. Dia menghilang dalam sinar matahari. Tali mengencang, lalu Cory berangkat. Setelah dia menghilang, saya menyusul.

Saat saya mencapai gigir dan muka saya yang berkerak es menyeruak ke sinar matahari, rasanya seperti melongokkan kepala ke surga. Kehangatan mendadak itu memulihkan harapan saya. Saya menghela tubuh ke atas gigir itu, dan selimut sinar matahari melingkupi saya. Setelah dingin yang gelap dan menyedot sukma di sisi utara, rasanya seperti terlahir kembali.

Renan dan Cory sudah menuruni gigir di sisi seberang untuk menghindari angin dan menemukan panggung batu yang bertengger di atas sisi selatan. Matahari meliputi batu seperti madu. “Sembir makan siang!” seru saya, menamai sarang kami.

Dalam hitungan menit, kompor kecil sudah berkobar. Renan melepaskan sepatu bot dan mulai memijat jari kakinya. Cory mengeluarkan kamera dan mulai memotret. Setelah mendaki seminggu lebih, ini pertama kalinya kami bisa melihat puncaknya: piramida salju yang terjal berkilau. Namun, kami juga melihat jalur yang masih perlu didaki: gigir batu dan salju yang bergigi tajam mengancam, dijaga oleh belasan puncak setajam pisau.

!break!

“Mari kita mencari petualangan gaya lama,” kata Hilaree, “ekspedisi ke tempat yang masih terpencil dan tak dikenal.” Itu pada musim semi 2012, dan kami sedang menuruni Gunung Everest. Hilaree adalah perempuan paling tangguh yang saya kenal. Setelah mencapai puncak Everest, dia mendaki tetangganya, Lhotse, padahal dua ligamen di pergelangan kakinya cedera.

Kami memiliki banyak kesamaan. Kami berdua dibesarkan dengan mencintai gunung. Kami berdua sudah menikah dan punya dua anak, serta berusaha menyeimbangkan kehidupan keluarga dan ekspedisi. Dan kami berdua kecewa dengan komersialisme dan keramaian Everest. Kami perlu kembali ke hal yang semula mendorong kami menjadi pendaki.

Tetapi, menemukan tempat yang benar-benar terpencil itu sulit. Pesawat bisa mengantar kita ke Kutub Utara atau Selatan, kita bisa naik helikopter ke kemah induk Everest atau Makalu, perahu wisata menyusuri Sungai Nil dan Sungai Amazon. Keterpencilan sejati—tempat yang baru bisa dicapai setelah berjalan kaki berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu—sudah hampir lenyap dari bumi.

Namun, saya tahu satu tempat, satu gunung yang sudah lama menyihir saya. Tetapi, karena memiliki sejarah pribadi dengannya, saya enggan menyebutkannya. Akhirnya, setelah saling melempar ide—Pakistan, Papua Nugini, Kazakstan—antusiasme saya pun menang. “Bagaimana kalau,” saya ragu sebentar, “Hkakabo Razi?”

!break!

Hkakabo Razi (dilafalkan Ka-ka-bo Ra-zi) konon puncak tertinggi di Asia Tenggara. Gunung itu besar bergerigi, dari batu hitam dan gletser putih, menjulang tak terduga di tengah rimba hijau lembap di Myanmar utara. Terletak persis di luar tepi timur Pegunungan Himalaya, di perbatasan dengan Tibet, gunung ini pertama kali diukur oleh survei Inggris yang diterbitkan pada 1925 dengan ketinggian 5.881 meter. Puncak ini begitu terpencil, sehingga hanya sedikit pendaki yang pernah mendengarnya, bahkan pada zaman sekarang. Untuk mencapai gunung itu diperlukan perjalanan dua minggu menembus rimba lebat yang terbelah oleh jurang-jurang dalam. Hilaree langsung terpikat. Kami sudah mulai merencanakan ekspedisi sebelum meninggalkan Kathmandu.

Saya pertama tahu soal Hkakabo pada 1980-an, ketika membeli buku Burma’s Icy Mountains yang sudah menguning, karya penjelajah Inggris, Francis Kingdon-Ward. Buku itu menuturkan ekspedisinya pada 1937 ke wilayah itu, serta upaya beraninya untuk mendaki Hkakabo Razi sendirian. Dia mencapai lebih dari 4.500 meter sebelum terhalang oleh “tembok granit [tak terdaki] … di luar kuasa saya.”

“Kuasa” Kingdon-Ward, yang saya ketahui dari membaca banyak bukunya yang lain, sangat beragam.  Dia merupakan ahli botani cemerlang, penulis liris, pemburu tumbuhan tak kenal lelah, dan konon mata-mata Inggris. Kingdon-Ward termasuk petualang sekeras besi yang setipe dengan penjelajah kutub Roald Amundsen, atau penjelajah Amazon Percy Fawcett. Kingdon-Ward dapat mengarungi rimba berbulan-bulan hanya dengan makan nasi dan minum teh. Dari 1909 hingga 1956, dia melakukan lebih dari 20 ekspedisi ke Asia Tengah, pernah selamat saat jatuh dari tebing dan saat terjadi gempa bumi terburuk abad itu. Dia mengoleksi ratusan tumbuhan dan menamai banyak di antaranya, termasuk spesies rhododendron dan bakung.

!break!

Saya terpesona oleh perjalanan Kingdon-Ward dan bertekad menjadi pendaki pertama Hkakabo Razi. Jadi, pada musim gugur 1993, saya mengajak sobat pendakian saya, Steve Babits, Mike Moe, dan Keith Spencer. Kami menamai kelompok kami Wyoming Alpine Club.  Sejak itu, saya dan Mike menjadi pendaki pertama di beberapa tempat di Pegunungan Rockies dan orang pertama yang berkayak menuruni Sungai Niger di Afrika Barat.

Saat itu junta militer yang menguasai Burma—yang namanya kemudian diganti menjadi Myanmar—menyatakan daerah utara terlarang bagi orang asing. Dengan naif kami berencana mengelakkan rintangan ini dengan cara mendatangi gunung itu dari Tibet, menyeberangi perbatasan secara ilegal, berjalan tanpa porter.

Kami terbang ke Lhasa, dan menyelinap masuk ke Tibet timur—yang tertutup bagi orang asing. Perlu sebulan lebih untuk mendekati kaki gunung. Namun, kami kehabisan makanan di sisi utara Hkakabo dan terpaksa turun ke sebuah desa Tibet. Di sana kami ditangkap oleh militer Tiongkok, diinterogasi, dan dipenjarakan. Kami pun dideportasi.

Dua tahun kemudian, yang membuat saya masygul, pemerintah Myanmar mengizinkan pendaki Jepang, Takashi Ozaki, mendaki Hkakabo Razi. Ozaki adalah veteran Himalaya yang tak terhentikan, melakukan pendakian tuntas pertama di sisi utara Everest pada 1980. (Kemudian dia meninggal saat mendaki di sana pada 2011.) Dia gagal dua kali mendaki Hkakabo pada 1995, tetapi pada September 1996, setelah dua bulan mendaki, Ozaki mencapai puncak bersama pendaki kelahiran Tibet, Nyima Gyaltsen. Dia bercerita kepada surat kabar Asia Times, “Saya bisa berkata dengan tandas bahwa Hkakabo Razi adalah salah satu gunung tersulit dan paling berbahaya di dunia. Saya belum pernah takut seperti kali ini.”

!break!

Ozaki menerbitkan cerita terperinci tentang ekspedisi ini, tetapi tidak mengukur ketinggian puncak dengan GPS, sehingga ketinggian tepat gunung itu masih belum diketahui.

Karena yakin akan ketangguhan kami, saya, Mike, dan Keith membahas soal kembali ke Hkakabo. (Steve sudah beralih ke petualangan jenis lain.) Namun, takdir berkata lain. Mike tewas dalam ekspedisi pada 1995, bersama timnya. Paus menggulingkan perahu me­reka di Samudra Arktika, dan mereka tewas. Mike meninggalkan istri dan tiga anak.

Namun, saya dan Keith terus melakukan eks­pedisi dan sering mendaki es bersama. Pada 2 Januari 2009 kami sedang pada tahap kelima pendakian es terjun di Wyoming utara. Saya sedang menjaga tali untuknya dari relung kecil dalam es. Dia sedang mendaki dengan ceria lima meter di bawah saya ketika kami mendengar deru memekakkan. Satu bagian es di atas kami terlepas. Beberapa detik kemudian berton-ton es jatuh. Keith tewas, lehernya patah.

Dia tidak melakukan kesalahan, dan saya tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan diri. Tidak ada hikmah, selain kebenaran tak terhindarkan bahwa gunung itu berbahaya, dan sesekali mendatangkan ngeri dan duka pada mereka yang berani mendakinya.

!break!

Kami bersantai di sembir makan siang di bawah matahari Hkakabo Razi, menyeruput mi panas bersama Cory dan Renan. Saya pun teringat pada teman-teman yang telah tiada. Mike kocak seperti Cory, yang menyemangati kami dalam saat-saat terburuk perjalanan ini dengan lelucon. Keith pendiam seperti Renan, selalu menikmati kemegahan di sekelilingnya, selalu bersuara tenang di tengah krisis. Selama beberapa minggu terakhir yang saya lewatkan bersama Cory dan Renan, rasanya agak seperti menengok ke masa lalu, pada diri sendiri dan teman-teman yang telah tiada.

Setelah tekad kami pulih, kami mulai mempelajari gigir berkelok di depan kami yang menuju puncak. Karena gunung itu umumnya belum terjelajahi, kami mendaki dengan pengetahuan minim tentang medannya.

Gigir barat Hkakabo bagaikan mata gergaji sepanjang tiga kilometer—sederet menara batu yang dipisahkan oleh lembah tajam bersalju. Kami melihat ada ceruk yang tampaknya lokasi terbaik untuk berkemah malam nanti. Kami berkemas dan mulai bergerak, berusaha tetap berada di sisi gigir yang disinari matahari.

Perlu empat jam untuk sampai ke ceruk itu. Kami begitu lelah, hampir tak mampu lagi memadatkan tanah dengan kaki untuk alas tenda. Wajah kami dilapisi es akibat bernapas berat.

Kami tahu malam ini akan menyengsarakan. Di kemah 3 kami bisa melihat bahwa gigir ini berbahaya dan memerlukan keterampilan teknis. Jadi, kami mengurangi berat ransel tanpa ampun, berharap itu cukup sebagai bekal naik ke puncak dan turun lagi. Kami meninggalkan kantong tidur musim dingin dan hanya membawa bungkus kantong yang tipis. Kami punya satu kompor, satu botol bahan bakar, satu panci, satu sendok, dua santapan pasta instan, dan kami bertiga berjejal di dalam tenda untuk dua orang.

 !break!

Sampai ke kaki Hkakabo Razi saja perlu waktu sebulan. Hal yang didambakan oleh saya dan Hilaree di lereng Everest—keterpencilan—justru menjadi hal yang mengancam ekspedisi kami sejak awal.

Pertama-tama kami harus melintasi hampir seluruh wilayah Myanmar. Dari Yangon kami menumpang bus malam ke Bagan, lalu naik feri ke arah hulu Sungai Irawadi ke Mandalay, lalu naik kereta api yang berguncang dan berayun seolah dapat anjlok sewaktu-waktu. Di Myitkyina kami naik pesawat dengan penumpang yang membawa AK-47 sebagai bagasi kabin. Saat tiba di Putao, kota paling utara di negara bagian Kachin, kami “ditahan” selama lima hari sementara izin pendakian kami dipingpong di antara pejabat. Akhirnya kami memuat perlengkapan ke konvoi motor dan memulai perjalanan tiga hari. Kami mengarungi kali dan mengaduk lumpur sampai akhirnya jalur itu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Lalu, dimulailah perjalanan 243 kilometer ke kaki Hkakabo melalui rimba yang basah dan gelap. Tajuk hutan yang lebat membentuk pendar hijau temaram. Selama dua minggu kami menyusuri jalur yang mirip terowongan ini, selalu menanjak curam atau tiba-tiba menukik, dari desa terpencil ke desa terpencil, persis seperti yang dialami Francis Kingdon-Ward 77 tahun sebelumnya.

Pada hari pertama perjalanan di rimba, Hilaree hampir digigit ular. Dia melihat satwa itu bergelung di jalur dan melompatinya. Bersiap menyerang, kepala datar ular itu bergoyang-goyang ke samping, lidah hitamnya menjulur-julur. Kami semua menjaga jarak kecuali Cory, yang berlutut dan mulai memotret. “Ular bangkai laut,” dia memberi tahu.

Itu salah satu dari selusin ular yang diperingatkan oleh ahli toksinologi Zoltan Takacs sebelum kami datang ke Myanmar. Kalau ada yang tergigit, bisa ular dapat menyebabkan perdarahan dari hidung, mata, gusi, dan dubur, serta dapat merenggut nyawa.

!break!

Ada pula lintah, yang tidak terlalu berbahaya. Sepanjang hari kami mencopot lintah penuh darah dari kulit, menyisakan bekas gigitan yang baru sembuh total berminggu kemudian.

Lalu, ada laba-laba. Kami selalu menembus sarang laba-laba sebesar jala. Ada yang dihuni laba-laba yang menampakkan taring begitu besar sehingga terlihat dari jarak satu meter.

Kami bermalam di rumah panggung milik  orang Rawang. Mereka tidak kebal terhadap tingkah polah rimba. Di satu desa, seorang ibu yang kebingungan mendatangi kami dengan membawa anak yang menjerit-jerit, tubuh kecilnya bengkak akibat gigitan yang terinfeksi. Ketika saya bertanya bagaimana nasib anak itu, tetua suku berkata, “Semua orang di sini sembuh sendiri atau mati.”

Kaki salah seorang porter termuda kami, gadis sekolah sekitar 12 tahun, begitu berbilur-bilur akibat gigitan sampai-sampai kulitnya bergelombang seperti kulit kodok. Dia salah satu dari tiga gadis berumur sepantar, bersama saudara lelaki, orang tua, dan kakek-nenek mereka, yang terpaksa kami pekerjakan sebagai porter. Mereka semua mengangkut beban dengan efisiensi yang terlatih.

Sesungguhnya kami membawa terlalu ba­nyak barang—peralatan kamera dan cahaya, laptop, baterai ekstra, bahkan dua drone untuk potret udara—pernak-pernik ekspedisi modern. Jadi, kami mulai meninggalkan tas perlengkapan sampai tersisa seperempat beban semula.

!break!

Pada waktu lain, kami tentu menemukan banyak warga setempat di sepanjang jalur ini yang mau memperoleh $15 sehari, dua kali lipat upah setempat. Tetapi, saat kami tiba pada musim gugur 2014, Hkakabo Razi menjadi berita utama secara tak terduga.

Pada 10 September 2014, tiga minggu sebelum tim kami berangkat dari Amerika Serikat, judul berita Associated Press berbunyi: “Pencarian pendaki hilang dimulai di Myanmar.” Ekspedisi delapan orang berkebangsaan Myanmar berangkat ke Hkakabo untuk menempatkan salah satu warganya di puncak tertinggi di negara itu. Ini masalah kebanggaan bangsa.

Perhatian mendadak Myanmar pada gunung ini sebagian disebabkan oleh sebuah tim pendakian Amerika lain. Pada tahun sebelumnya, Andy Tyson, pemandu yang tinggal di Pegunungan Teton, memimpin ekspedisi Amerika-Myanmar ke puncak tetangga yang bernama Gamlang Razi. Setelah mempelajari peta topografi Rusia modern, serta citra dari Google Earth, Tyson menyimpulkan bahwa Gamlang mungkin sebenarnya lebih tinggi daripada Hkakabo.

“Tidak ada orang di Myanmar yang ingin percaya bahwa Gamlang lebih tinggi daripada Hkakabo,” kata Tyson kepada saya tahun lalu, menjelaskan bahwa Hkakabo adalah lambang kebanggaan bangsa yang dipuja sejak dulu. Kenyataan bahwa seorang asing mempertanyakan ketinggiannya membuat sebagian orang Myanmar merasa jengah. (Tragisnya, Andy Tyson tewas dalam kecelakaan pesawat pada bulan April.)

Gunung tertinggi di Myanmar akan terus menjadi misteri sampai ada yang berdiri di puncak Hkakabo dengan GPS.

 !break!

Saya, Renan, dan Cory mengoper-oper sendok, masing-masing mereguk sup panas, sementara angin memukuli tenda seperti petinju berlatih di samsak. Setelah panci mendingin, kami mengedarkannya dan menenggak sisa cairan itu. Kami memadatkan salju di dalam panci, menjerangnya kembali di kompor, dan terus melelehkan salju sampai setiap orang memiliki sebotol penuh air panas, yang akan ditaruh di atas dada selama kami tidur. Udara begitu dingin, kami pun merasa lebih suka terkurung bersama-sama sepanjang malam, mengelilingi kompor yang mendengkur—peduli amat soal asap beracun—tetapi bahan bakar tidak cukup.

Kami mengatur tali dan ransel di bawah tubuh dan berusaha mencari cara agar kami semua dapat meluruskan tubuh. Kalau kami berbaring miring, itu bisa dilakukan.

“Paling seru itu tidur berdempetan dengan dua cowok bau,” celetuk Cory.

Kami begitu berimpitan sehingga kalau bergerak, sikut atau lutut pasti menyenggol teman. Kami tidak berharap bisa tidur. Kami tahu akan menderita. Kami menurunkan topeng ski ke muka, ibarat kesatria menurunkan topeng besi saat bersiap bertempur. Kami meletakkan sarung tangan di bawah pinggul sebagai isolator terhadap salju. Pada jam tergelap dan terdingin, saya mulai membayangkan orang menemukan tubuh bertulang kami berjejer di dalam salju bak balok kayu. Akhirnya, akhirnya, fajar tiba.

 !break!

Kembali di rimba, dua hari sebelum mencapai kemah induk, kami bertemu dengan tim Jepang yang kelelahan yang sedang turun dari Hkakabo. Mereka seakan baru pulang dari garis depan pertempuran akbar. Kami sudah mendengar tentang mereka dan sempat cemas bahwa mereka mencapai puncak sebelum kami, sehingga seluruh upaya kami sia-sia. Tetapi, perjalanan mereka tertunda akibat penyelamatan pendaki Myanmar.

Pemimpin tim mereka, Hiro Kuraoka, cedera. Dia tergelincir di antara batu besar dan bokongnya memar parah. Hiro bersemangat dan murah hati, menjelaskan jalur mereka secara terperinci dan menunjukkan banyak foto topografi dari berbagai kemah. Dia berkata bahwa mereka terhenti oleh jembatan salju setajam pisau dan puncak-puncak runcing tak terdaki sekitar seratus meter lebih dari puncak.

Setelah hampir dua minggu berjalan kaki, kami akhirnya keluar dari rimba bau ke lereng selatan Hkakabo. Kelembapan tropis berganti menjadi kabut gunung menyegarkan, dan kami merogoh kantong untuk mengeluarkan jaket bulu domba dan jaket bulu burung. Kami semua sudah turun berat badan dan kelelahan dari perjalanan yang sukar itu. 

Selama seminggu berikutnya, kami mendirikan tiga kemah di punggung gigir barat, namun dengan tekanan waktu dan kesulitan medan, hubungan antara anggota tim tergerus. Saya cemas saat Hilaree sampai di kemah 2 dengan hipotermia yang mengancam nyawa. Kami berhasil menghangatkan tubuhnya, tetapi kejadian itu membuat kami waspada. Hari berikutnya, saat mendaki ke kemah 3, Emily maupun Hilaree tampak tidak nyaman di muka es dan salju yang terjal dan terbuka, bergerak lamban.

!break!

Jika direnungkan lagi sekarang, semestinya kami sudah memperkirakan kelambatan ini. Emily seorang juara pendaki-olahraga nasional, tetapi tidak berpengalaman mendaki di medan yang beragam seperti ini. Hilaree seorang pendaki-ski terkenal yang sudah mengikuti beberapa ekspedisi pendakian gunung yang menantang. Tetapi saya, Cory, dan Renan memiliki latar belakang yang lebih mendalam di lingkungan jenis ini. Cory adalah orang Amerika pertama yang mencapai puncak Gasherbrum II setinggi 8.035 meter di Pakistan pada musim dingin. Renan adalah anggota tim yang mencapai puncak Meru Tengah setinggi 6.310 meter di India melalui jalur Sirip Hiu, pendakian brutal. Dan selama 35 tahun mendaki, saya pernah melakukan pendakian perdana di Antarktika serta Pegunungan Rockies, Alpen, dan Himalaya. Pengalaman seperti ini tidak mengubah bahaya yang melekat pada kegiatan ini, tetapi ini berarti kami bertiga dapat bergerak lebih cepat dan saling memercayakan hidup tanpa ragu dalam upaya mencapai puncak ini.

Malam itu, di kemah 3, Renan maupun Cory masing-masing menyampaikan kekhawatiran secara pribadi soal mendaki lebih jauh bersama seluruh tim. Kami melakukan aklimatisasi di tenda sehari berikutnya, dan percakapan menyakitkan ini tidak terhindarkan. Dengan gaya bicara lembut, Renan berkomentar bahwa pendakian akan semakin berbahaya. Diingatkan pula bahwa tiga orang yang bergerak cepat memiliki peluang terbesar mencapai puncak dalam waktu singkat yang kami miliki. Emily langsung sepakat bahwa situasi ini terlalu sulit baginya. Tetapi, Hilaree sangat tersinggung dan bersikeras dirinya harus mencoba ke puncak. Saya menjelaskan bahwa ini masalah keselamatan seluruh tim, tetapi Hilaree terluka.

Tak ada yang lebih berbahaya di gunung selain kepongahan, tetapi justru kepongahan itu penting dalam mendaki gunung. Semua pendaki serius memiliki ego besar. Orang tanpa ego tak mungkin mau mengambil risiko dan menderita berkepanjangan di pegunungan besar. Cara bi­cara kami mungkin seperti orang Buddha, tapi jangan tertipu, kami sebenarnya orang narsis—orang narsis yang berambisi, gigih, masokhis.

Kami semua lelah, pening akibat udara tipis, dan mencemaskan perjalanan ke depan. Percakapan selama beberapa jam kemudian me­runcing menjadi saling membentak, menuduh, dan menuding. Akhirnya, Cory tak tahan lagi dengan suasana itu dan berkata Hilaree boleh menggantikan dirinya dalam tim puncak. Saya dan Renan cemas, tetapi dengan enggan menyepakati rencana baru itu.

Pada pukul tiga dini hari esoknya, angin Tibet beku melolong, Hilaree mengambil keputusan yang tepat. Dia berkata bahwa udara terlalu dingin baginya, berpikir bahwa jika dia terkena hipotermia lagi, dia dapat membahayakan tim. Dia menyuruh Cory saja yang berangkat.

!break!

“Mengapa kita melakukan ini?” tanya Cory, sembari mengenakan sepatu bot di dalam tenda mungil itu. “Serius! Mengapa?” Tangannya terlalu kebas, tak dapat mengikat tali sepatu. “Karena ini sangat menyenangkan,” kata Renan kering, menekankan sikutnya pada dinding tenda yang mengepak-ngepak.

Setelah 39 hari naik perahu dan kereta api, ular dan lintah; setelah merangkak menaiki muka terjal gigir barat Hkakabo; hari ini hari mencapai puncak. Kami masing-masing meneguk teh mengepul sampai panci kosong, lalu dengan enggan merangkak keluar tenda, ke te­ngah angin yang menampar-nampar. Matahari bak bola dingin di kejauhan. Tangan dan kaki kami kebas, tetapi bergerak lebih baik daripada menggigil di tenda. Darah kami mulai memompa, dan kehangatan perlahan kembali ke tubuh.

Bersama-sama kami menyusuri bukit batu besar pertama dari sederet menara. Di kedua sisi bukit itu, lebih dari satu kilometer di bawah kami, terdapat lautan awan. Kami berkumpul di petak salju kecil untuk mengevaluasi situasi. “Saya takut,” kata Cory. “Saya benar-benar takut [umpatan]. Saya rasa sebaiknya kita kembali.”

Kejujurannya yang tak ditutupi itu aneh­nya terasa nyaman. Dia menyuarakan perasaan kami semua. Tetapi, saya dan Renan belum siap kembali. Saya memimpin menuruni balok berpuncak salju, menaiki lorong sempit di antara dua lempeng batu, lalu tiba-tiba seluruh jalur ke puncak tampak di depan saya. Saya terperanjat.

!break!

Kami tahu ada satu ceruk-dalam lagi di gigir depan, tetapi saya lihat sekarang bahwa ceruk itu penuh dengan gigi batu besar, seperti tulang rahang dinosaurus. Perlu waktu berjam-jam, hingga larut malam, untuk mendaki moncong yang dilumat angin ini. Untuk mencapai puncak, diperlukan satu malam lagi di gunung, tetapi kali ini tanpa tenda, kompor, makanan, atau air. Kami akan bertengger di sembir di sisi gunung, tertiup angin dalam gelap, dan kami akan mati beku. Ini titik penentuan.

Saya pun menyadari, kami tidak akan mencapai puncak. Kami tidak akan mengukur ketinggian Hkakabo Razi. Kami tidak akan memecahkan misteri gunung tertinggi Myanmar. Saya membawa foto Mike Moe dan Keith Spencer sepanjang ekspedisi ini. Dalam foto itu, Mike dan Keith berdiri di atas gunung, mengenakan helm dan jaket bulu burung, sambil menyeringai lebar. Saya begitu ingin menempatkan foto ini di puncak. Tetapi, takdir berkata lain. Saya menggali lubang kecil dengan tangan, lalu meletakkan foto itu di dalam salju. Saya mengambil bacaan GPS pada titik tinggi kami, 5.743 meter, lalu perlahan menyusuri gigir kembali ke Renan dan Cory. Mereka sudah tahu ekspedisi kami berakhir. Kini kami hanya ingin turun hidup-hidup. 

---

Ekspedisi ini didanai dengan hibah Expeditions Council dari National Geographic dan The North Face.