Inikah Gunung Tertinggi di Myanmar?

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 15:05 WIB

 !break!

Saya, Renan, dan Cory mengoper-oper sendok, masing-masing mereguk sup panas, sementara angin memukuli tenda seperti petinju berlatih di samsak. Setelah panci mendingin, kami mengedarkannya dan menenggak sisa cairan itu. Kami memadatkan salju di dalam panci, menjerangnya kembali di kompor, dan terus melelehkan salju sampai setiap orang memiliki sebotol penuh air panas, yang akan ditaruh di atas dada selama kami tidur. Udara begitu dingin, kami pun merasa lebih suka terkurung bersama-sama sepanjang malam, mengelilingi kompor yang mendengkur—peduli amat soal asap beracun—tetapi bahan bakar tidak cukup.

Kami mengatur tali dan ransel di bawah tubuh dan berusaha mencari cara agar kami semua dapat meluruskan tubuh. Kalau kami berbaring miring, itu bisa dilakukan.

“Paling seru itu tidur berdempetan dengan dua cowok bau,” celetuk Cory.

Kami begitu berimpitan sehingga kalau bergerak, sikut atau lutut pasti menyenggol teman. Kami tidak berharap bisa tidur. Kami tahu akan menderita. Kami menurunkan topeng ski ke muka, ibarat kesatria menurunkan topeng besi saat bersiap bertempur. Kami meletakkan sarung tangan di bawah pinggul sebagai isolator terhadap salju. Pada jam tergelap dan terdingin, saya mulai membayangkan orang menemukan tubuh bertulang kami berjejer di dalam salju bak balok kayu. Akhirnya, akhirnya, fajar tiba.

 !break!

Kembali di rimba, dua hari sebelum mencapai kemah induk, kami bertemu dengan tim Jepang yang kelelahan yang sedang turun dari Hkakabo. Mereka seakan baru pulang dari garis depan pertempuran akbar. Kami sudah mendengar tentang mereka dan sempat cemas bahwa mereka mencapai puncak sebelum kami, sehingga seluruh upaya kami sia-sia. Tetapi, perjalanan mereka tertunda akibat penyelamatan pendaki Myanmar.

Pemimpin tim mereka, Hiro Kuraoka, cedera. Dia tergelincir di antara batu besar dan bokongnya memar parah. Hiro bersemangat dan murah hati, menjelaskan jalur mereka secara terperinci dan menunjukkan banyak foto topografi dari berbagai kemah. Dia berkata bahwa mereka terhenti oleh jembatan salju setajam pisau dan puncak-puncak runcing tak terdaki sekitar seratus meter lebih dari puncak.

Setelah hampir dua minggu berjalan kaki, kami akhirnya keluar dari rimba bau ke lereng selatan Hkakabo. Kelembapan tropis berganti menjadi kabut gunung menyegarkan, dan kami merogoh kantong untuk mengeluarkan jaket bulu domba dan jaket bulu burung. Kami semua sudah turun berat badan dan kelelahan dari perjalanan yang sukar itu. 

Selama seminggu berikutnya, kami mendirikan tiga kemah di punggung gigir barat, namun dengan tekanan waktu dan kesulitan medan, hubungan antara anggota tim tergerus. Saya cemas saat Hilaree sampai di kemah 2 dengan hipotermia yang mengancam nyawa. Kami berhasil menghangatkan tubuhnya, tetapi kejadian itu membuat kami waspada. Hari berikutnya, saat mendaki ke kemah 3, Emily maupun Hilaree tampak tidak nyaman di muka es dan salju yang terjal dan terbuka, bergerak lamban.

!break!

Jika direnungkan lagi sekarang, semestinya kami sudah memperkirakan kelambatan ini. Emily seorang juara pendaki-olahraga nasional, tetapi tidak berpengalaman mendaki di medan yang beragam seperti ini. Hilaree seorang pendaki-ski terkenal yang sudah mengikuti beberapa ekspedisi pendakian gunung yang menantang. Tetapi saya, Cory, dan Renan memiliki latar belakang yang lebih mendalam di lingkungan jenis ini. Cory adalah orang Amerika pertama yang mencapai puncak Gasherbrum II setinggi 8.035 meter di Pakistan pada musim dingin. Renan adalah anggota tim yang mencapai puncak Meru Tengah setinggi 6.310 meter di India melalui jalur Sirip Hiu, pendakian brutal. Dan selama 35 tahun mendaki, saya pernah melakukan pendakian perdana di Antarktika serta Pegunungan Rockies, Alpen, dan Himalaya. Pengalaman seperti ini tidak mengubah bahaya yang melekat pada kegiatan ini, tetapi ini berarti kami bertiga dapat bergerak lebih cepat dan saling memercayakan hidup tanpa ragu dalam upaya mencapai puncak ini.

Malam itu, di kemah 3, Renan maupun Cory masing-masing menyampaikan kekhawatiran secara pribadi soal mendaki lebih jauh bersama seluruh tim. Kami melakukan aklimatisasi di tenda sehari berikutnya, dan percakapan menyakitkan ini tidak terhindarkan. Dengan gaya bicara lembut, Renan berkomentar bahwa pendakian akan semakin berbahaya. Diingatkan pula bahwa tiga orang yang bergerak cepat memiliki peluang terbesar mencapai puncak dalam waktu singkat yang kami miliki. Emily langsung sepakat bahwa situasi ini terlalu sulit baginya. Tetapi, Hilaree sangat tersinggung dan bersikeras dirinya harus mencoba ke puncak. Saya menjelaskan bahwa ini masalah keselamatan seluruh tim, tetapi Hilaree terluka.

Tak ada yang lebih berbahaya di gunung selain kepongahan, tetapi justru kepongahan itu penting dalam mendaki gunung. Semua pendaki serius memiliki ego besar. Orang tanpa ego tak mungkin mau mengambil risiko dan menderita berkepanjangan di pegunungan besar. Cara bi­cara kami mungkin seperti orang Buddha, tapi jangan tertipu, kami sebenarnya orang narsis—orang narsis yang berambisi, gigih, masokhis.

Kami semua lelah, pening akibat udara tipis, dan mencemaskan perjalanan ke depan. Percakapan selama beberapa jam kemudian me­runcing menjadi saling membentak, menuduh, dan menuding. Akhirnya, Cory tak tahan lagi dengan suasana itu dan berkata Hilaree boleh menggantikan dirinya dalam tim puncak. Saya dan Renan cemas, tetapi dengan enggan menyepakati rencana baru itu.

Pada pukul tiga dini hari esoknya, angin Tibet beku melolong, Hilaree mengambil keputusan yang tepat. Dia berkata bahwa udara terlalu dingin baginya, berpikir bahwa jika dia terkena hipotermia lagi, dia dapat membahayakan tim. Dia menyuruh Cory saja yang berangkat.

!break!

“Mengapa kita melakukan ini?” tanya Cory, sembari mengenakan sepatu bot di dalam tenda mungil itu. “Serius! Mengapa?” Tangannya terlalu kebas, tak dapat mengikat tali sepatu. “Karena ini sangat menyenangkan,” kata Renan kering, menekankan sikutnya pada dinding tenda yang mengepak-ngepak.

Setelah 39 hari naik perahu dan kereta api, ular dan lintah; setelah merangkak menaiki muka terjal gigir barat Hkakabo; hari ini hari mencapai puncak. Kami masing-masing meneguk teh mengepul sampai panci kosong, lalu dengan enggan merangkak keluar tenda, ke te­ngah angin yang menampar-nampar. Matahari bak bola dingin di kejauhan. Tangan dan kaki kami kebas, tetapi bergerak lebih baik daripada menggigil di tenda. Darah kami mulai memompa, dan kehangatan perlahan kembali ke tubuh.

Bersama-sama kami menyusuri bukit batu besar pertama dari sederet menara. Di kedua sisi bukit itu, lebih dari satu kilometer di bawah kami, terdapat lautan awan. Kami berkumpul di petak salju kecil untuk mengevaluasi situasi. “Saya takut,” kata Cory. “Saya benar-benar takut [umpatan]. Saya rasa sebaiknya kita kembali.”

Kejujurannya yang tak ditutupi itu aneh­nya terasa nyaman. Dia menyuarakan perasaan kami semua. Tetapi, saya dan Renan belum siap kembali. Saya memimpin menuruni balok berpuncak salju, menaiki lorong sempit di antara dua lempeng batu, lalu tiba-tiba seluruh jalur ke puncak tampak di depan saya. Saya terperanjat.

!break!

Kami tahu ada satu ceruk-dalam lagi di gigir depan, tetapi saya lihat sekarang bahwa ceruk itu penuh dengan gigi batu besar, seperti tulang rahang dinosaurus. Perlu waktu berjam-jam, hingga larut malam, untuk mendaki moncong yang dilumat angin ini. Untuk mencapai puncak, diperlukan satu malam lagi di gunung, tetapi kali ini tanpa tenda, kompor, makanan, atau air. Kami akan bertengger di sembir di sisi gunung, tertiup angin dalam gelap, dan kami akan mati beku. Ini titik penentuan.

Saya pun menyadari, kami tidak akan mencapai puncak. Kami tidak akan mengukur ketinggian Hkakabo Razi. Kami tidak akan memecahkan misteri gunung tertinggi Myanmar. Saya membawa foto Mike Moe dan Keith Spencer sepanjang ekspedisi ini. Dalam foto itu, Mike dan Keith berdiri di atas gunung, mengenakan helm dan jaket bulu burung, sambil menyeringai lebar. Saya begitu ingin menempatkan foto ini di puncak. Tetapi, takdir berkata lain. Saya menggali lubang kecil dengan tangan, lalu meletakkan foto itu di dalam salju. Saya mengambil bacaan GPS pada titik tinggi kami, 5.743 meter, lalu perlahan menyusuri gigir kembali ke Renan dan Cory. Mereka sudah tahu ekspedisi kami berakhir. Kini kami hanya ingin turun hidup-hidup. 

---

Ekspedisi ini didanai dengan hibah Expeditions Council dari National Geographic dan The North Face.