Jejak Buddha di Afganistan

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 15:17 WIB

“Koin Kanishka berlaku di Roma hingga Tiongkok,” kata Nancy Hatch Dupree, 87, wanita kelahiran AS yang telah lama tinggal di Kabul dan menjadi pakar kajian kebudayaan Afgan. “Ada 23 dewa dan dewi di koin Kushan. Ini melambangkan toleransi. Ini adalah masa ketika manusia memperluas pemikiran mereka.”

Walaupun ada banyak bukti yang menunjuk­kan keterkaitan antara kebudayaan Buddhisme kuno dengan perdagangan, hanya ada sedikit pengetahuan mengenai hubungannya dengan industri. Di sinilah Mes Aynak mungkin akan berperan penting dalam mengisi kekosongan, dengan mengungkapkan tentang sistem ekonomi Buddhis yang lebih kompleks daripada yang sudah dipahami sebelumnya. Berbeda dengan Bamian—situs peziarahan Buddhis kuno dan pusat karavan Jalur Sutra yang berjarak 200 kilometer di barat lautnya, dahulu lokasi dua patung Buddha raksasa yang dipahat di sebuah tebing dan diledakkan hingga hancur oleh Taliban pada 2001—yang telah jauh lebih dikenal, Mes Aynak sepertinya lestari terutama karena perannya sebagai penghasil tembaga dan pusat produksi. Kompleks biara yang suci berdiri tepat di atas tumpukan deposit bijih tembaga.

 !break!

Memecahkan teka-teki mengenai makna sesungguhnya dari Mes Aynak berdasarkan penemuan-penemuan arkeologis di sana mem­butuhkan waktu puluhan tahun—dan generasi arkeolog baru. Setelah meraih gelarnya dari Kabul University, Sultan Masoud Muradi, 24, putra seorang buruh konstruksi dari Kabul, turut berkompetisi untuk ambil bagian dalam penggalian di situs ini. Dia bangga lantaran dirinya dan para koleganya berasal dari beragam latar etnik namun bisa bekerja sama dengan baik—bukan hal remeh di negeri yang pada 1990-an diobrak-abrik oleh perang sipil antar kelompok mujahidin yang terbagi berdasarkan latar belakang etnisnya.

“Kami memiliki sejarah yang telah berumur 5.000 tahun, dan penting bagi generasi baru Afganistan untuk memahaminya,” katanya sambil memegang cangkul kecil selama beristirahat dari penggalian. “Kalau tidak begitu, kami hanya akan terkenal dengan terorisme dan produksi opium.”

 !break!

Lanskap Mes Aynak sudah sepenuhnya gundul sekarang, dan bisa jadi ini disebabkan oleh aktivitas peleburan tembaga yang dilakukan di area itu pada masa silam—yang pada gilirannya mungkin mengakhiri produksi tembaga. Sangat banyak kayu harus dibakar untuk dijadikan arang, dan dibutuhkan hingga 9 kilogram arang untuk mengekstraksi hanya 0,45 kilogram tembaga dari bijih.

Thomas Eley, spesialis arkeometalurgi dari Inggris yang melakukan kerja lapangan di Mes Aynak pada 2012, mendeteksi pergeseran dalam produksi tembaga seiring waktu, dari bentuk peleburan yang relatif efisien menuju proses yang lebih lambat dan menyusahkan—berkebalikan dengan perkiraannya. Namun proses yang lebih efisien, atau yang dikenal dengan peleburan dengan penyadapan, ternyata lebih boros bahan bakar. Sejalan dengan menurunnya suplai pohon untuk dijadikan arang, para pelebur tembaga terpaksa berpaling ke metoda yang lebih lambat.

Persediaan air yang besar juga dibutuhkan untuk memproses sangat banyak tembaga, terutama untuk mencuci bijih tembaga dan merendam batang logam yang panas membara. Air mungkin diperoleh dari mata air pegunungan, sungai dangkal, dan saluran irigasi bawah tanah kuno atau karez, yang hingga kini masih digunakan di sejumlah wilayah di Afganistan. Karez sepanjang 9 meter telah ditemukan di bagian utara situs, dan kemungkinan merupakan bagian dari jaringan saluran air yang lebih besar. Deforestasi yang terus berlanjut telah menurunkan curah hujan, menjadikan air semakin langka.

 !break!

Bukan masalah kelangkaan yang harus diatasi para arkeolog, melainkan kelebihan: Kecepatan penggalian berisiko melampaui kemampuan menyimpan dan melindungi semua yang ditemukan dari dalam tanah. “Menggali itu mudah,” kata Omar Sultan, mantan deputi kementrian kebudayaan Afganistan dan arkeolog berpendidikan Yunani. “Yang sulit adalah menyimpan hasil penggalian.”

Lebih dari seribu artefak terpenting langsung dikirim ke National Museum of Afghanistan di Kabul. “Sayangnya kami tidak bisa menerima semua artefak,” kata Omara Khan Massoudi, yang telah bertahun-tahun menjabat sebagai direktur museum itu.