Jejak Buddha di Afganistan

By , Senin, 31 Agustus 2015 | 15:17 WIB

Sekitar satu jam perjalanan mobil menyusuri jalan raya Gardez di sebelah selatan Kabul, ada tikungan tajam ke kiri menuju se­ruas jalan tak beraspal. Di sebuah distrik Pro­vinsi Logar yang ramah Taliban, wilayah se­kitar­nya telah luluh lantak akibat bom pinggir jalan, se­sekali serangan roket, penculikan, dan pem­bunuhan. Jalan itu terus membentang melewati sungai kering, desa-desa kecil, peng­halang-penghalang jalan paramiliter, menara-menara pen­jagaan, dan sebuah kompon beratap biru ber­pagar kawat bersilet.

Agak jauh dari sana, terdapat sebuah lembah tak berpohon dengan deretan parit dan tembok kuno terbuka. Selama tujuh tahun terakhir, se­kelompok arkeolog Afgan dan internasional, dibantu sekitar 650 pekerja, telah menemukan ribuan patung, manuskrip, koin, dan monumen suci Buddha. Seluruh biara dan benteng itu telah digali, dan kemungkinan berasal dari abad ketiga Masehi. Lebih dari seratus pos pemeriksaan mengelilingi situs itu, yang dijaga siang dan malam oleh sekitar 1.700 polisi.

Ini adalah penggalian paling ambisius dalam sejarah Afganistan hingga kini. Namun, tenaga ke­amanan tidak ditempatkan di sana semata-mata untuk melindungi beberapa ilmuwan dan pekerja setempat. Di bawah reruntuhan kuno itu, terkubur simpanan bijih tembaga yang men­dominasi situs ini, membentang hingga empat kilometer dan menembus hingga satu setengah kilometer bahkan lebih ke dalam perut Gunung Baba Wali. Deposit tembaga mentah ini disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di dunia, dengan bobot sekitar 11,4 juta ton. Dahulu, tembaga memperkaya para biarawan Buddha di sini; endapan terak logam berwarna ungu, biru, dan hijau, residu padat dari kegiatan peleburan mereka, terlihat di lereng Baba Wali, men­jadi bukti adanya produksi berskala nyaris industrial. Pemerintah Afgan berharap, tembaga membuat negara mereka kaya lagi, atau se­tidaknya bisa mencukupi kebutuhan mereka sendiri.

 !break!

Nama tempat ini kurang menggambarkan ke­adaan yang sesungguhnya: Mes Aynak berarti ‘sumur tembaga kecil’. Mes Aynak sama sekali tidak kecil. Pada 2007, China Metallurgical Group Corporation (MCC) yang berbasis di Beijing memimpin konsorsium yang didukung negara, merebut hak ekstraksi tembaga di sini untuk jangka waktu 30 tahun. MCC memenangi lelang senilai lebih dari tiga miliar dolar dan berjanji untuk menyediakan infrastruktur bagi distrik terpencil dan terbelakang ini, termasuk jalan raya, rel kereta api, dan pembangkit listrik berdaya 400 megawatt. Para pejabat Afgan memperkirakan tambang ini akan memberikan suntikan dana sebesar $1,2 miliar pada ekonomi Afganistan yang rapuh, yang tergantung pada bantuan asing sejak 2002 dan kini menghadapi defisit sebesar tujuh miliar dolar per tahun.

Potensi arkeologis Mes Aynak sudah di­ke­­tahu­i selama puluhan tahun. Ketika ke­sepakat­an dengan Tiongkok diumumkan, para aktivis warisan budaya Afgan menuntut agar harta karun purba di tempat itu diangkat dan didokumentasikan dengan baik sebelum dikalah­kan oleh kegiatan penambangan. Namun se­sungguhnya ada bahaya lain yang mengancam artefak-artefak di sana: bukan perusakan oleh Taliban melainkan pencurian sepotong demi sepotong artefak oleh para penjarah sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk kepentingan pengetahuan. “Kalau bukan penambangan, pen­jarah­an yang akan merusaknya,” ujar arkeolog Prancis, Phillippe Marquis, yang memimpin peng­galian di situs itu sejak 2009 hingga 2014.

Walaupun telah dijaga ketat, ancam­an bahaya ter­sebut tetap menghambat perkembangan tambang. Kompon beratap biru, yang didirikan oleh para teknisi Tiongkok, akhirnya dibiarkan terbengkalai setelah serangkaian serangan roket pada 2012 dan 2013. Ranjau-ranjau darat yang ditanam oleh Soviet pada 1980an dan bahan-bahan peledak yang kemudian ditinggalkan oleh Taliban dan Al Qaeda menjadi ancaman lainnya, terutama setelah delapan spesialis penyapu ranjau dibunuh oleh Taliban pada 2014.

!break!

Selain tantangan keamanan, terdapat pula kom­plikasi logistik—ketiadaan jalur kereta untuk me­ngirim tembaga keluar dan kelangkaan air—maka tidak heran jika operasi penambangan, yang mula-mula direncanakan untuk dimulai pada 2012, belum juga dijakankan hingga kini. Pada 2013 MCC mulai melanggar beberapa pasal dalam kontraknya, dan kedua belah pihak belum menegosiasi ulang kesepakatan mereka. Oleh karena itu, kegiatan penambangan kemungkinan tidak akan dijalankan sebelum 2018.

Penundaan ini memberikan waktu lebih leluasa bagi para arkeolog untuk melakukan lebih banyak penggalian daripada yang telah mereka perkirakan, kendati dengan tenaga kerja yang telah jauh berkurang. Peninggalan masa lalu yang berhasil mereka ungkapkan sangat bertolak belakang dengan kekerasan dan kericuhan saat ini. Dari abad ketiga hingga kedelapan Masehi, Mes Aynak menjadi pusat kegiatan spiritual yang berkembang dalam kondisi relatif damai.

Setidaknya terdapat tujuh kompleks wihara bertingkat, yang terdiri atas ruang per­ibadatan, pemondokan biarawan, dan ruangan-ruangan lainnya, yang membentuk lengkungan mengelilingi situs, dan masing-masing dilindungi oleh menara penjagaan kuno dan tembok tinggi. Di dalam kompleks dan permukiman tertutup ini para arkeolog telah menemukan hampir seratus batu tulis dan stupa tanah liat, relikui-relikui Buddhis yang penting. Ukuran stupa ber­variasi dari sebesar monumen hingga yang mudah dipindahkan.

Mes Aynak juga menjadi pusat ekonomi utama Gandhara, wilayah yang membentang dari timur Afganistan hingga barat laut Pakistan saat ini. Terletak di persimpangan, Gandhara menjadi pusat peradaban, tempat pertemuan agama-agama termasyhur saat itu, yakni Hinduisme, Buddhisme, dan Zoroastrianisme dan peleburan kebudayaan kuno Yunani, Persia, Asia Tengah, dan India. Tempat itu menjadi “pusat dunia,” menurut istilah Abdul Qadir Temory, arkeolog Afgan yang menjadi pimpinan proyek ini.

!break!

Pada abad pertama, para penganut Buddha di Gandhara merevolusi seni rupa di wilayah itu, memurnikan sensibilitas estetika yang telah mendarah daging sejak penaklukan berabad-abad sebelumnya. Mereka termasuk seniman pertama di dunia yang menampilkan Buddha dalam wujud manusia yang realistis—sebuah inovasi Hellenistik dari zaman Aleksander Agung, yang pertama melewati Afganistan pada 330 SM. Di Mes Aynak telah ditemukan ruang-ruang peribadatan dengan patung-patung Buddha sebesar dua kali ukuran asli yang masih mengenakan sisa-sisa jubah merah, biru, kuning, dan jingga mereka; cepuk-cepuk perhiasan emas; potongan-potongan manuskrip kuno; dan tembok-tembok berhias lukisan.

Koin-koin tembaga dari abad ketiga hingga ketujuh Masehi juga mengalir deras dari situs itu, dikumpulkan dari kepingan-kepingan yang ditemukan di lantai tempat-tempat tinggal dan wadah-wadah penyimpanan yang menampung hingga ratusan koin. Banyak di antaranya menampilkan gambar pemimpin Kushan pada abad kedua, Kanishka yang Agung. Walaupun belum bisa dipastikan apakah dia menganut Buddhisme, dia menyambut hangat agama ini beserta tradisi-tradisi keagamaan lainnya di kerajaannya, yang didominasi oleh para pemuja api Zoroastrianisme, yang berasal dari Persia kuno. Sejumlah besar uang logam yang ditemukan di Mes Aynak menampilkan gambar Kanishka di satu sisi dan Buddha yang tengah duduk atau dewa Persia lainnya, misalnya Ardokhsha, dewi kekayaan, di sisi lainnya.

“Koin Kanishka berlaku di Roma hingga Tiongkok,” kata Nancy Hatch Dupree, 87, wanita kelahiran AS yang telah lama tinggal di Kabul dan menjadi pakar kajian kebudayaan Afgan. “Ada 23 dewa dan dewi di koin Kushan. Ini melambangkan toleransi. Ini adalah masa ketika manusia memperluas pemikiran mereka.”

Walaupun ada banyak bukti yang menunjuk­kan keterkaitan antara kebudayaan Buddhisme kuno dengan perdagangan, hanya ada sedikit pengetahuan mengenai hubungannya dengan industri. Di sinilah Mes Aynak mungkin akan berperan penting dalam mengisi kekosongan, dengan mengungkapkan tentang sistem ekonomi Buddhis yang lebih kompleks daripada yang sudah dipahami sebelumnya. Berbeda dengan Bamian—situs peziarahan Buddhis kuno dan pusat karavan Jalur Sutra yang berjarak 200 kilometer di barat lautnya, dahulu lokasi dua patung Buddha raksasa yang dipahat di sebuah tebing dan diledakkan hingga hancur oleh Taliban pada 2001—yang telah jauh lebih dikenal, Mes Aynak sepertinya lestari terutama karena perannya sebagai penghasil tembaga dan pusat produksi. Kompleks biara yang suci berdiri tepat di atas tumpukan deposit bijih tembaga.

 !break!

Memecahkan teka-teki mengenai makna sesungguhnya dari Mes Aynak berdasarkan penemuan-penemuan arkeologis di sana mem­butuhkan waktu puluhan tahun—dan generasi arkeolog baru. Setelah meraih gelarnya dari Kabul University, Sultan Masoud Muradi, 24, putra seorang buruh konstruksi dari Kabul, turut berkompetisi untuk ambil bagian dalam penggalian di situs ini. Dia bangga lantaran dirinya dan para koleganya berasal dari beragam latar etnik namun bisa bekerja sama dengan baik—bukan hal remeh di negeri yang pada 1990-an diobrak-abrik oleh perang sipil antar kelompok mujahidin yang terbagi berdasarkan latar belakang etnisnya.

“Kami memiliki sejarah yang telah berumur 5.000 tahun, dan penting bagi generasi baru Afganistan untuk memahaminya,” katanya sambil memegang cangkul kecil selama beristirahat dari penggalian. “Kalau tidak begitu, kami hanya akan terkenal dengan terorisme dan produksi opium.”

 !break!

Lanskap Mes Aynak sudah sepenuhnya gundul sekarang, dan bisa jadi ini disebabkan oleh aktivitas peleburan tembaga yang dilakukan di area itu pada masa silam—yang pada gilirannya mungkin mengakhiri produksi tembaga. Sangat banyak kayu harus dibakar untuk dijadikan arang, dan dibutuhkan hingga 9 kilogram arang untuk mengekstraksi hanya 0,45 kilogram tembaga dari bijih.

Thomas Eley, spesialis arkeometalurgi dari Inggris yang melakukan kerja lapangan di Mes Aynak pada 2012, mendeteksi pergeseran dalam produksi tembaga seiring waktu, dari bentuk peleburan yang relatif efisien menuju proses yang lebih lambat dan menyusahkan—berkebalikan dengan perkiraannya. Namun proses yang lebih efisien, atau yang dikenal dengan peleburan dengan penyadapan, ternyata lebih boros bahan bakar. Sejalan dengan menurunnya suplai pohon untuk dijadikan arang, para pelebur tembaga terpaksa berpaling ke metoda yang lebih lambat.

Persediaan air yang besar juga dibutuhkan untuk memproses sangat banyak tembaga, terutama untuk mencuci bijih tembaga dan merendam batang logam yang panas membara. Air mungkin diperoleh dari mata air pegunungan, sungai dangkal, dan saluran irigasi bawah tanah kuno atau karez, yang hingga kini masih digunakan di sejumlah wilayah di Afganistan. Karez sepanjang 9 meter telah ditemukan di bagian utara situs, dan kemungkinan merupakan bagian dari jaringan saluran air yang lebih besar. Deforestasi yang terus berlanjut telah menurunkan curah hujan, menjadikan air semakin langka.

 !break!

Bukan masalah kelangkaan yang harus diatasi para arkeolog, melainkan kelebihan: Kecepatan penggalian berisiko melampaui kemampuan menyimpan dan melindungi semua yang ditemukan dari dalam tanah. “Menggali itu mudah,” kata Omar Sultan, mantan deputi kementrian kebudayaan Afganistan dan arkeolog berpendidikan Yunani. “Yang sulit adalah menyimpan hasil penggalian.”

Lebih dari seribu artefak terpenting langsung dikirim ke National Museum of Afghanistan di Kabul. “Sayangnya kami tidak bisa menerima semua artefak,” kata Omara Khan Massoudi, yang telah bertahun-tahun menjabat sebagai direktur museum itu.

Hingga saat ini, ribuan artefak dari Mes Aynak yang tidak bisa diterima oleh museum berada di tempat penyimpanan sementara di dalam atau dekat situs. Sebagian besarnya belum dianalisis maupun dikaji. Massoudi dan Sultan berbicara tentang pendirian sebuah museum lokal suatu hari nanti.

Tetapi, pertama-tama, tantangan di bidang keamanan harus dijawab. Dan dalam jangka panjang penundaan penambangan justru mem­berikan ancaman lebih besar. Keamanan Mes Aynak sebagian besar bergantung pada memastikan bahwa tenaga kerja dari penduduk setempat, yang rentan terhadap bujukan atau paksaan Taliban, untuk tetap dipekerjakan dengan upah mencukupi. Banyak di antara mereka yang marah karena harus angkat kaki dari desa mereka akibat kegiatan penambangan yang dilakukan di sana. World Bank, yang mendukung upaya arkeologi melalui proyek kerja sama dengan Kementerian Pertambangan dan Perminyakan Afgan, memperkirakan bahwa tambang pada akhirnya akan menghasilkan 4.500 pekerjaan langsung dan beribu-ribu lagi pekerjaan tidak langsung.

Selama bertahun-tahun, beberapa ratus tenaga kerja telah menerima upah dengan jumlah besar menurut standar setempat untuk mengayun kapak dan cangkul, atau melakukan pekerjaan kasar di situs arkeologi. Tetapi “jika Anda tidak punya makanan atau penghasilan, sementara anak-anak Anda kelaparan, Anda akan rela melakukan apa pun,” kata Habib Rahman, 42 tahun.

Kekerasan hidup yang dialami penduduk setempat seperti Rahman sepertinya tidak akan banyak berubah di masa mendatang. Ancaman Taliban kepada sebagian pekerja, dengan menuduh mereka mempromosikan Buddhisme, juga tidak membantu. Tetap saja, ada kekaguman terhadap pencapaian bangsa mereka di masa lalu. “Leluhur saya Muslim,” kata Javed, seorang buruh berusia 36 tahun. “Tetapi kami tahu, banyak generasi yang hidup di tanah ini sebelum kami. Saat bekerja, saya membayangkan bahwa di tempat ini terdapat peradaban, pabrik, kota, bahkan raja. Ya, ini juga Afganistan.”

---

Fotografer yang berbasis di Inggris Simon Norfolk mengambil spesialisasi fotografi lanskap. Lewat karyanya, dia mengeksplorasi makna frasa “medan perang” dan berbagai interpretasinya.